Lika-liku Pemilu Indonesia dari Masa ke Masa
Pemilu Indonesia telah melewati tiga masa periode pemerintahan, yakni era Orde Lama, Orde Baru, dan kini Orde Reformasi.
Pemilihan umum pada 14 Februari 2024 esok merupakan pesta demokrasi Indonesia yang ke-13. Peristiwa bersejarah ini menghadapi berbagai tantangan dalam melewati tiga era besar di Indonesia, yakni masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Besar harapan pemilu tahun ini berjalan sesuai marwah demokrasi demi mewujudkan keadilan dan kedaulatan rakyat Indonesia.
Sejak merdeka, Indonesia telah ditetapkan sebagai negara demokrasi. Artinya, rakyat memegang kekuasaan tertinggi serta memiliki mandat kepada para wakil rakyat yang dipilihnya untuk menjalankan pemerintahan. Oleh karena itu, pemilu menjadi hajatan besar masyarakat Indonesia untuk menentukan arah perjalanan bangsa di masa selanjutnya.
Sejak pemilu pertama pada tahun 1955, Indonesia telah menyelenggarakan 13 kali pemilu. Berbagai tantangan telah dihadapi dalam pelaksanaan pesta demokrasi itu.
Saat awal kemerdekaan, pemerintah sebenarnya telah merencanakan pemilu pada Januari 1946. Hanya saja, situasi dan kondisi saat itu belum stabil sehingga pemilu belum dapat dilaksanakan. Meski demikian, Arsip Nasional Republik Indonesia dalam buku berjudul Jejak Demokrasi Pemilu 1955 mencatat semangat demokrasi bangsa Indonesia telah membara. Indikasinya ada banyak partai politik dan organisasi massa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan berbagai warna dan corak arah politiknya.
Pada masa awal penyelenggaraan pemilu terjadi ketegangan antara pemerintah dan oposisi serta perseteruan politisi di parlemen dengan Angkatan Darat. Muncul desakan untuk segera mengadakan pemilu lantaran ketidakpercayaan pada parlemen yang tidak dipilih melalui mekanisme pemilu.
Alhasil, Pemilu 1955 dilaksanakan dalam dua kali pelaksanaan berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pemilihan pertama pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR, dan yang kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante.
Baca juga: Menjaga Marwah Demokrasi Penyelenggara Pemilu di Indonesia
Pemilu tersebut berlangsung berdasarkan asas jujur, umum, berkesamaan, rahasia, bebas, dan langsung. Asas ini kurang lebih sama dengan asas pemilu hingga saat ini, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil. Asas tersebut kini juga dikenal dengan sebutan ”Luber dan Jurdil”.
Pada pemilu pertama tahun 1955, jumlah partai dan organisasi yang mengikuti kontestasi adalah yang terbanyak sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Totalnya ada 118 partai politik, organisasi massa, dan individu. Jumlah tersebut terdiri dari 36 parpol, 34 ormas, dan 48 perseorangan yang memperebutkan kursi DPR. Sementara itu, pemilu konstituante diikuti oleh 91 parpol, ormas, dan perorangan. Pemilu kala itu dimenangkan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI).
Meskipun baru dilaksanakan pertama kali di Indonesia, pemilu tersebut menuai kesuksesan besar. Bahkan, ada sejumlah pihak yang menilai bahwa pemilu saat itu adalah salah satu yang paling sehat dan ideal. Sebab, kompetisi berlangsung fair dan para petahana yang ikut berlaga bersaing dengan adil.
Orde Baru
Memasuki Orde Baru, muncul sejumlah kendala dalam pelaksanaan pemilu. Pemilu yang dijadwalkan paling lambat 5 Juli 1968 harus diundur hingga 5 Juli 1971 dengan pertimbangan pembahasan UU Pemilu belum selesai.
Selain itu, pemilu pertama di era Orde Baru ini menjadi sangat penting karena menunjukkan bahwa rezim penguasa saat itu juga mampu menyelenggarakan pemilu. Agenda demokrasi tersebut menjadi alat untuk membangun kekuatan politik nasional di mana tahun-tahun sebelumnya terjadi gejolak politik yang besar.
Pemilu pertama masa Orde Baru akhirnya dilaksanakan pada 3 Juli 1971 dengan peserta sebanyak 10 parpol. Yakni, Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, dan Murba. Jumlah partai yang mengikuti pemilu memang jauh lebih sedikit dibanding pemilu sebelumnya karena penyederhanaan partai politik pada tahun 1960. Sejak pemilu 1971 itu, Golkar mendominasi dan memenangi setiap pemilu-pemilu berikutnya.
Baca juga: Tidak Lagi seperti Memilih Kucing dalam Karung
Selama Orde Baru, dilaksanakan enam kali pemilu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Selama itu, pemilu cenderung diatur pemerintah agar partai-partai besar tidak menang. Di sisi lain, Golkar sebagai pendatang baru mendapat dukungan yang terus menguat.
Sejak tahun 1977 dan seterusnya, partai politik peserta pemilu dikerucutkan hanya menjadi tiga, yakni Golkar, PDI, dan PPP. PDI merupakan hasil penggabungan partai PNI, Parkindo, Murba, IPKI, dan Partai Katolik. Sementara itu, PPP adalah hasil penggabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
Pasca-Reformasi
Memasuki periode pasca-Reformasi, pemilu di Indonesia mengalami banyak perombakan dan keterbaruan. Salah satunya adalah jumlah parpol peserta pemilu yang kembali beragam. Pada tahun 1999, pemilu yang diselenggarakan kurang dari 1,5 tahun sejak keruntuhan rezim sebelumnya diikuti 48 partai politik.
Melonjaknya jumlah parpol peserta tersebut menunjukkan tingginya antusiasme masyarakat setelah 32 tahun terkungkung dalam ruang demokrasi yang ”semu”. Pada pemilu 1999 itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraup suara massa terbanyak.
Pada masa awal era Reformasi itu ada sejumlah pembaruan dalam ajang pemilu. Pada tahun 2004, untuk pertama kalinya, Indonesia menyelenggarakan pemilu untuk memilih presiden-wakil presiden dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pada masa sebelumnya, pemilu hanya dilakukan untuk memilih DPR dan DPRD.
Pada tahun 2004 tersebut, pemilu dilaksanakan tiga kali. Pertama, untuk memilih anggota legislatif dari 24 partai politik dan dua pemilu lainnya untuk memilih presiden-wakil presiden yang berlangsung selama dua putaran. Putaran pertama diikuti lima capres-cawapres. Selanjutnya, putaran kedua menyisakan persaingan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla serta Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi.
Baca juga: Tidak Tenang di Masa Tenang Pemilu
Sejarah lainnya yang muncul dalam masa Reformasi ini adalah penyelenggaraan pemilu secara serentak. Pada Pemilu 2019 diselenggarakan pemilihan secara bersamaan untuk memilih presiden-wakil presiden, anggota DPD, DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Jumlah surat suara yang dicoblos setiap pemilih berjumlah lima buah sesuai dengan kategori pemilihan.
Masifnya agenda pemilihan pada tahun 2019 itu menyebabkan beban kerja penyelenggara pemilu bertambah karena pemilihan dilakukan bersamaan. Dalam pelaksanannya, banyak permasalahan di sejumlah daerah. Banyak TPS yang kekurangan alat-alat pemilu, surat suara tertukar antardaerah, serta kotak suara yang tidak tersegel. Bahkan, ironisnya, banyak petugas KPPS yang jatuh sakit hingga meninggal akibat beban kerja yang berat.
Meskipun penuh dengan dinamika dalam sejarah perjalanannya, antusiasme masyarakat untuk mengikuti ajang pemilu diperkirakan akan tetap tinggi. Pada Pemilu 2024 ini, jumlah partai yang berkontestasi mencapai 24 parpol dan melibatkan jumlah pemilih yang mencapai 204,8 juta orang.
Dengan pengalaman hampir tujuh dekade penyelenggaraan pemilu di Indonesia, harapannya pelaksanaan pemilihan langsung pada Rabu (14/2/2024) esok dapat terselenggara dengan lancar. Marwah demokrasi yang mengedepankan asas Luber dan Jurdil dapat terjaga demi menciptakan para pemimpin yang mampu menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Kembali pada esensi pemilu sesungguhnya, biarlah momen ini menjadi ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan haknya. Sesuai dengan perkataan Murray Eldeman, ilmuwan politik Amerika Serikat, pemilu adalah satu-satunya wujud masyarakat pernah berpartisipasi langsung dalam pemerintahan.
Pemilu memberikan orang kesempatan untuk mengekspresikan ketidakpuasan ataupun antusiasme serta rasa kepemilikan terhadap pemerintahan di negerinya. Oleh karena itu, pemilu esok kembali menjadi momen yang mewadahi masyarakat Indonesia untuk turut serta terlibat dalam menetukan arah pembangunan bangsa di masa depan. (LITBANG KOMPAS)