logo Kompas.id
RisetPemilih Bimbang Turut...
Iklan

Pemilih Bimbang Turut Menentukan Hasil Pemilu 2024

Menjelang hari pemungutan suara, potensi pemilih bimbang relatif masih cukup tinggi, terutama untuk pemilihan presiden pada Pemilu 2024. Mereka turut menentukan konstelasi politik pada hari pemungutan suara nanti.

Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
· 5 menit baca
Pesan ajakan untuk tidak golput pada Pemilu 2024 dipasang di sebuah balai warga di Pondok Benda, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (14/12/2023). Survei Litbang <i>Kompas</i> pada 29 November-4 Desember 2023 memotret adanya peningkatan pemilih bimbang (<i>undecided voters</i>) yang signifikan, mencapai 28,7 persen. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan survei sebelumnya pada Agustus 2023 sebesar 15,4 persen.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Pesan ajakan untuk tidak golput pada Pemilu 2024 dipasang di sebuah balai warga di Pondok Benda, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (14/12/2023). Survei Litbang Kompas pada 29 November-4 Desember 2023 memotret adanya peningkatan pemilih bimbang (undecided voters) yang signifikan, mencapai 28,7 persen. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan survei sebelumnya pada Agustus 2023 sebesar 15,4 persen.

Keberadaan pemilih bimbang atau undecided voters merupakan fenomena yang umum menjelang pemilu. Meski demikian, populasi pemilih bimbang yang relatif tinggi bisa menjadi cerminan sikap publik yang tidak mudah memberikan suaranya bagi para capres-cawapres.

Mendekati hari pemungutan suara Pemilu 2024, tingkat keyakinan pemilih yang makin yakin dengan pilihannya belum tergambar dari hasil survei. Survei periodik Kompas pada Desember 2023 menunjukkan, masih ada 28,7 persen responden yang belum menentukan pilihannya dari tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ada.

Proporsi pemilih bimbang ini relatif senada jika dibandingkan dengan tren elektabilitas sosok capres atau di luar pasangan capres-cawapres. Proporsi pemilih bimbang untuk tiga nama capres, yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, pada survei Desember 2023 tercatat 24,9 persen.

Dengan kata lain, resminya pendaftaran capres-cawapres ke KPU beserta koalisi partai pengusungnya dan dimulainya masa kampanye pilpres tidak serta-merta membuat pemilih segera menjatuhkan pilihan kepada capres dan cawapres.

Jika pemilih makin memantapkan pilihan, batasan tiga pilihan pasangan semestinya membuat pemilih bimbang menyempit. Akan tetapi, hasil survei belum membuktikan asumsi tersebut.

Baca juga: Pemilih Lebih Bimbang Memilih Capres

Alasan pemilih bimbang

Merujuk pada penelitian-penelitian sebelumnya terkait politik elektoral, fenomena pemilih bimbang yang muncul mendekati pemilu merupakan hal wajar.

Psikolog sosial politik dari Italia, Luciano Arcuri, mengutip Mannheimer dalam jurnal Predicting the Vote: Implicit Attitudes as Predictors of the Future Behavior of Decided and Undecided Voters (2008) menyebutkan, dalam beberapa bulan menjelang pemilu, angka 20 persen atau lebih pemilih bimbang bukan hal yang luar biasa.

Bahkan, pada 2006, dua minggu sebelum pemilu di Italia, masih ada sekitar 10 persen responden yang menyatakan belum mampu menyebutkan siapa yang akan dipilih dalam pemilu.

Dalam situasi ini, besar kemungkinan pemilih bimbang baru akan menentukan pilihannya beberapa hari menjelang pemilu, memutuskan pada hari yang sama saat pemilu, atau bahkan saat berada di bilik suara.

Dalam artikel jurnal lain, pakar psikologi sosial dari University of North Carolina, Amerika Serikat, Kristjen Lundberg menyebutkan sejumlah sikap mereka yang berada dalam posisi pemilih bimbang.

Pertama, pemilih bimbang adalah mereka yang sudah memperhatikan dinamika politik, tetapi belum memiliki preferensi siapa yang akan dipilih dalam pemilu.

https://cdn-assetd.kompas.id/TD_VOuaa8lldHDmjb27RESywVok=/1024x2725/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F03%2Fdb37ccee-da18-43c6-9701-e4ee1858e245_png.png

Kedua, pemilih bimbang bisa saja sebenarnya sudah memiliki preferensi politik yang jelas, tetapi mereka masih menimbang segenap informasi terkait kandidat yang akan berkontestasi dalam pemilu.

Terakhir, pemilih bimbang adalah mereka yang cenderung apatis terhadap politik dan dinamika yang terjadi sehingga benar-benar tidak memiliki preferensi politik.

Baik berhadapan dengan publik yang abai maupun yang mempunyai perhatian terhadap dinamika politik, kampanye politik secara masif akan membuat calon pemilih terpapar narasi yang dibangun para kandidat.

Bagi rakyat yang memang apatis, mereka tidak memperhitungkan iklan-iklan politik yang persuasif. Sebaliknya, mereka yang memiliki perhatian terhadap kampanye politik, tetapi masih berada dalam posisi bimbang, ada dua kemungkinan penyebabnya.

Pertama, pesan dan kampanye politik yang disampaikan oleh kandidat dianggap sama-sama lemah dan tidak menarik sehingga belum ada kandidat yang dipandang layak dipilih.

Atau sebaliknya, hal yang kedua, kampanye politik para kandidat dipandang sama-sama kuat pesannya sehingga pemilih masih bimbang untuk menentukan siapa kandidat yang lebih sesuai dengan preferensi politiknya.

Iklan

Baca juga: Adu Strategi Capres-Cawapres Meyakinkan Pemilih Bimbang

Profil pemilih bimbang

Kembali pada hasil survei, hal yang menarik untuk dicermati adalah karakteristik pemilih bimbang dilihat dari latar belakang responden.

Dari sisi jenis kelamin responden, pemilih perempuan menunjukkan proporsi pemilih bimbang lebih tinggi daripada pemilih laki-laki. Persentase pemilih bimbang dalam kelompok responden perempuan sebesar 31,1 persen, sementara sebesar 26,2 persen terekam di kelompok responden laki-laki.

Bergeser ke tingkat pendidikan responden, tidak ada perbedaan mencolok antara mereka yang berpendidikan dasar dan tinggi. Proporsi responden yang belum menentukan pilihan presiden dengan pendidikan tinggi sebesar 28 persen.

Baik berhadapan dengan publik yang abai maupun yang mempunyai perhatian terhadap dinamika politik, kampanye politik secara masif akan membuat calon pemilih terpapar narasi yang dibangun para kandidat.

Dengan angka sedikit di atas itu, sebanyak 30,4 persen responden berpendidikan dasar berada dalam posisi belum menentukan pilihan pasangan presiden dan wakilnya. Sementara itu, sebesar 25,8 persen responden berpendidikan menengah berada dalam posisi pemilih bimbang.

Pekerja menyortir dan melipat surat suara Pemilu 2024 di gudang logistik KPU Jakarta Timur di kawasan Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP), Jakarta Timur, Rabu (3/1/2024).
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pekerja menyortir dan melipat surat suara Pemilu 2024 di gudang logistik KPU Jakarta Timur di kawasan Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP), Jakarta Timur, Rabu (3/1/2024).

Kecenderungan berbeda tampak ketika melihat pemilih bimbang dari sisi kategori usia. Hasil survei Kompas memperlihatkan, semakin senior usia responden, semakin tinggi proporsi pemilih bimbang yang ditunjukkan. Keterbelahan sikap bimbang reponden terjadi pada garis usia 40 tahun.

Responden berusia kurang dari 23 tahun yang belum menentukan pilihan presiden sebanyak 21,0 persen. Proporsi ini sekaligus menempatkan kelompok responden pemilih pemula ini dengan pemilih bimbang terkecil. Beranjak ke usia di atasnya, terdapat 25,5 persen responden berusia 24-40 tahun yang berada dalam posisi pemilih bimbang.

Berikutnya dalam responden kelompok usia 41-60 tahun tampak adanya peningkatan proporsi pemilih bimbang yang signifikan. Dalam rentang usia ini terdapat 34,7 persen responden yang belum menentukan pilihan presiden. Sedikit lebih tinggi dari itu, sebanyak 36 persen responden berusia di atas 60 tahun masih berada dalam posisi pemilih bimbang.

Relatif rendahnya pemilih bimbang dalam responden yang relatif muda usianya menunjukkan adanya gairah politik. Pemilih muda dan mungkin sebagian baru akan menjalani pemilu pertamanya merasa bersemangat untuk memberikan suaranya terhadap kandidat yang diidolakan.

Di sisi lain, pemilih senior dengan proporsi pemilih bimbang yang tinggi menunjukkan pertimbangan yang lebih dalam untuk memilih presiden.

Baca juga: Pemilih Bimbang Cenderung Tentukan Pilihan pada 14 Februari 2024

Suara rakyat

Dalam konteks idealisme demokrasi dengan kedaulatan tertinggi politik di tangan rakyat, meningkatnya pemilih bimbang dapat dimaknai sebagai hal positif.

Ada kesakralan dalam pemilu sebagai puncak tertinggi demokrasi yang tidak dapat dijalani dengan main-main. Kecermatan, kerasionalan, dan kehati-hatian sangat mungkin masih dipegang publik meskipun pemilu makin dekat.

Relatif tingginya angka pemilih bimbang juga menunjukkan orkestrasi yang dilakukan para elite politik dalam membentuk koalisi hingga memasangkan capres dan cawapres tidak serta-merta membuat pemilih dengan mudah memberikan suaranya.

https://cdn-assetd.kompas.id/-VzzKpo4_1fLhlO-MXE8DZ6dGms=/1024x1772/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F05%2F21%2F20200521-HKT-Pemilu-Legislatif-mumed-01_1590076314_jpg.jpg

Sebaliknya, gerak-gerik politik para elite mungkin saja dipandang secara kritis oleh publik, terutama menyangkut apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh setiap kandidat.

Kembali pada hipotesis yang diajukan Lundberg, pada Pilpres AS tahun 2012 ada sekitar 5 persen pemilih yang masih bimbang menjelang dua bulan pemilihan presiden AS. Menurut dia, angka ini sangat cukup untuk mengubah hasil akhir sebuah pemilu. Hal yang sama tentu berpeluang sama di Indonesia.

Dengan tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan berkontestasi dalam Pemilu 2024 dan angka pemilih bimbang sebesar 28,7 persen, apakah pemilu akan berlangsung satu atau dua putaran, masih sangat mungkin ditentukan oleh para pemilih bimbang.

Harapannya, sekalipun manuver politik akan dikerahkan untuk memberikan persuasi terhadap pemilih bimbang, hasil pemilu akan tetap berada di tangan rakyat. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: ”Undecided Voters” Penentu

Editor:
YOHAN WAHYU
Bagikan