logo Kompas.id
RisetMeneropong Arah Angin Politik ...
Iklan

Meneropong Arah Angin Politik Global 2024

Sejumlah negara akan menggelar pemilu pada tahun 2024. Hasil pemilu akan berpotensi memengaruhi wajah politik global.

Oleh
RANGGA EKA SAKTI
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/WanOq96N44FfDVsNvk-GuGIryJk=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F14%2F077d30da-ff8c-4f2a-ae32-0b2291af70d7_jpg.jpg

Tahun 2024 bukan hanya menjadi tahun penting bagi Indonesia. Puluhan negara di dunia pun turut menghelat pemilihan umum. Tak ayal, apa yang terjadi di tahun mendatang mungkin akan membentuk dunia selama satu dekade ke depan.

Dalam masa setahun, tidak kurang dari 40 negara di dunia akan menyelenggarakan pemilihan umum. Jika dijumlah, lebih dari 4 miliar orang populasi dunia akan menyalurkan suaranya di bilik suara dalam kurun waktu tersebut.

Besarnya jumlah masyarakat dunia yang akan menyalurkan suaranya di bilik suara tak lepas dari fakta bahwa negara-negara bebas memiliki jatuh tempo politik yang kebetulan bersamaan.

Sebagai gambarannya, dari 10 negara dengan jumlah populasi paling besar di dunia, tujuh di antaranya akan menyelenggarakan pemilihan umum di 2024. Ketujuh negara tersebut ialah India, Amerika Serikat (AS), Indonesia, Pakistan, Bangladesh, Rusia, dan Meksiko.

https://cdn-assetd.kompas.id/aT5eaBG_ZsIlXEdgiDHG0ZfsC-0=/1024x1064/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F01%2Fc6e03f76-8ac9-4df6-9239-70722aace771_png.png

Hajatan ini tidak hanya akan membawa pengaruh pada iklim politik dunia, tetapi juga akan berdampak pada situasi ekonomi global. Secara kumulatif, negara-negara yang nantinya akan menyelenggarakan pemilu merepresentasikan lebih dari separuh PDB dunia. Perubahan yang nantinya dicanangkan oleh pemimpin baru pun sedikit banyak akan menggeser tatanan yang kini ada.

Hal ini salah satunya tecermin dari forum G20 yang berisikan 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Di forum ini, tujuh anggotanya, Indonesia, AS, Meksiko, India, Rusia, Korea Selatan, dan Afrika Selatan, akan melangsungkan pemilihan umum tahun 2024 ini. Jika ditotal, ketujuh negara ini menyumbangkan sekitar 36 persen terhadap PDB global di 2022.

Baca Juga: Dunia Bersiap Sambut Tahun 2024

Pemilu paling berpengaruh

Dari banyaknya pemilu yang diselenggarakan di 2024, tak dapat dimungkiri bahwa pemilu AS yang paling banyak menyita perhatian. Pasalnya, siapa pun pemenangnya, ia akan menakhodai kapal besar yang menentukan arah arus politik dan ekonomi global.

Tak jauh berbeda dengan situasi di 2020, konstelasi politik AS tampaknya akan diwarnai dengan duel antara petahana, Joe Biden, dengan rivalnya Donald Trump. Pasalnya, belum ada tokoh, baik dari Partai Demokrat maupun Republikan, yang mampu menandingi pamor kedua sosok tersebut.

Di sisi Partai Republikan, misalnya, elektabilitas Trump sangat jauh meninggalkan para pesaingnya. Hasil agregasi survei elektabilitas yang dilakukan lembaga FiveThirtyEight terhadap ratusan lembaga survei menunjukkan bahwa tingkat elektabilitas Donald Trump berada di sekitar angka 61 persen. Tingkat keterpilihan tersebut jauh meninggalkan pesaingnya Ron DeSantis dan Nikki Halley dengan elektabilitas di kisaran 11 persen.

Hal serupa terjadi di Partai Demokrat. Per 26 Desember 2023, tingkat elektabilitas Joe Biden yang sebesar 68 persen jauh lebih besar dibandingkan kandidat Demokrat lainnya.

Antrean warga yang akan memberikan suara di tempat pemungutan suara yang berada di Lyndon B Johnson School of Public Affairs di Austin, Texas, Amerika Serikat, Selasa (8/11/2022).
AUSTIN AMERICAN-STATESMAN/AP/JAY JANNER

Antrean warga yang akan memberikan suara di tempat pemungutan suara yang berada di Lyndon B Johnson School of Public Affairs di Austin, Texas, Amerika Serikat, Selasa (8/11/2022).

Dengan elektabilitas sekitar 7 persen, Marianne Williamson sebagai pesaing Biden harus bekerja keras untuk bisa mengurangi selisih besar tersebut. Sama halnya dengan Dean Phillips yang memiliki tingkat keterpilihan lebih rendah di angka 3,8 persen.

Meski pada pemilu sebelumnya Biden mampu mengunci kemenangan dengan cukup telak, potensi Trump untuk merebut tampuk kepemimpinan patut diwaspadai. Pasalnya, tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Biden menjelang pemilu justru menurun. Hal ini tecermin dari tingkat kepuasan publik yang tak sampai 40 persen di pengujung 2023 ini.

Tak ayal, keputusan Biden di beberapa isu krusial bisa menentukan nasibnya di pemilihan nanti. Selain isu ekonomi, termasuk inflasi dan pembangunan, hasil survei dariTimes/Sienna menunjukkan bahwa isu keterlibatan AS di konflik Israel-Palestina juga turut memengaruhi persepsi publik di Pemilu 2024.

Bahkan, hasil survei lembaga ini pada 10-14 Desember 2023 menyatakan bahwa warga justru lebih percaya terhadap Trump dibandingkan dengan Biden pada isu tersebut.

Iklan

Pada survei tersebut, 46 persen responden merasa Trump akan lebih baik dalam menangani konflik Israel-Palestina. Sementara sebanyak 32 persen responden lainnya menyatakan Biden lebih baik dalam hal tersebut.

Baca Juga: Mengamati Pemilihan Presiden AS 2024

Konservatisme dan otoritarianisme

Masa pemilihan nanti akan menjadi ajang pertarungan antara rezim lama dan baru untuk berebut pengaruh. Di satu sisi, rezim-rezim yang sebelumnya telah berkuasa tentu tak ingin kehilangan genggamannya. Justru, momentum pemilihan kali ini akan digunakan untuk terus mengokohkan dominasi politiknya.

Salah satunya dapat terlihat pada dinamika politik di India. Pemerintahan Narendra Modi dengan partainya Bharatiya Janata (BJP) masih mengandalkan narasi supremasi masyarakat Hindu untuk bisa menggaet suara di pemilu.

Selain di Asia Selatan, gelagat otoritarianisme juga ditunjukkan oleh Vladimir Putin di Rusia. Di usia yang telah menginjak 78 tahun, Putin masih menjadi kandidat kuat pemenang pemilu di negara tersebut. Pasalnya, lawan satu-satunya di pemilihan nanti, Alexei Nechaev, masih merupakan mitra di koalisi pemerintahannya.

Sepanjang 2024 nanti, tidak kurang dari 40 negara di dunia akan menyelenggarakan pemilihan umum.

Gelagat konservatisme di pemilu pada 2024 juga mulai terasa berembus di Benua Biru. Dalam pemilu parlemen Uni Eropa yang pertama setelah peristiwa Brexit, kelompok sayap kanan justru telah berhasil membangun momentum.

Dengan 24 dari 27 negara anggota UE dipimpin oleh partai terafiliasi gerakan kanan, parlemen Uni Eropa pun kemungkinan besar akan didominasi gerakan tersebut.

Menguatnya pengaruh konservatisme ini bisa membawa konsekuensi yang besar terhadap iklim geopolitik Eropa dan sekitarnya.

Pasalnya, kelompok konservatif yang tergabung dalam koalisi European Conservatives and Reformists (ECR) ini memiliki gagasan yang cukup berbeda dengan tatanan Uni Eropa saat ini. Beberapa di antaranya termasuk membatasi peran institusi, restriksi imigran, hingga upaya mendorong federalisasi institusi tersebut.

Baca Juga: Isu Usia dalam Pemilu AS

Angin perubahan

Namun, di sisi lain, tak sedikit pula dorongan masyarakat akan munculnya gelombang politik baru. Hal ini terlihat di Afrika Selatan.

Setelah berkuasa selama hampir tiga dekade, untuk pertama kalinya Partai ANC yang didirikan oleh Nelson Mandela terancam kalah dalam pemilu. Tren ini ditandai dengan menurunnya suara mereka di pemilihan kepala daerah di 2022, dengan rerata perolehan daerah di bawah 50 persen.

Melemahnya posisi ANC ini dipengaruhi oleh bobroknya pemerintahan negara dan kader-kader partai pascakepemimpinan Mandela. Dugaan skandal korupsi ”Farmgate” yang menyangkut Presiden Cyril Ramaphosa berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap sang partai penguasa.

Pengendara melintasi bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dan calon legislatif yang dipasang di sekitar Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (1/1/2024).
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pengendara melintasi bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dan calon legislatif yang dipasang di sekitar Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (1/1/2024).

Selain itu, perkembangan menarik juga tampak di kawasan Amerika Utara. Dengan naiknya dua sosok perempuan di Meksiko, Claudia Sheinbaum dari Partai MORENA dan Xochitl Gslvez dari Partai Aksi Nasional, bisa dipastikan Meksiko akan melantik perempuan sebagai presiden pertamanya di tahun depan. Hal ini menjadi pertanda baik atas ruang bagi perempuan di gelanggang politik di tengah dekadensi demokrasi.

Lebih lanjut, di tengah gejolak perang, tidak menutup kemungkinan jika Pemerintah Ukraina akan tetap melangsungkan pemilu di 2024. Meskipun menurut konstitusi pemerintah tidak diwajibkan mengadakan pemilihan di masa darurat militer, pemilihan bisa dilakukan untuk menunjukkan bahwa demokrasi tak lekang meski dihantam perang.

Tak hanya itu, pemilihan ini juga bisa menjadi jalan untuk meningkatkan legitimasi pemerintah. Tak pelak, angin politik global di 2024 ini akan diramaikan dengan kontestasi politik yang hasilnya nanti akan mempengaruhi wajah politik dunia. (LITBANG KOMPAS)

Baca Juga: Masa Puncak Kampanye Pemilu 2024

Editor:
YOHAN WAHYU
Bagikan