logo Kompas.id
โ€บ
Risetโ€บTransformasi Identitas...
Iklan

Transformasi Identitas Perempuan Tionghoa

Perempuan Tionghoa di Indonesia seiring waktu mengalami transformasi identitas. Pergulatan menghadapi budaya patriarki dan represi politik dijawab melalui karya di ranah publik. Tepat di situlah pendidikan jadi kunci.

Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO
ยท 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/Hsoxoh-3sYTJBInnzKXVMphIYWc=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F04%2F20190421_140807_1555847790-1.jpg
KOMPAS/PANDU WIYOGA

Linayanti (50) saat Lomba Kebaya Nasional di Kota Medan, Sumatera Utara, Minggu (21/4/2019). Kompetisi peragaan busana itu diselenggarakan Perempuan Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI) Sumatera Utara untuk memperingati Hari Kartini.

Keberadaan perempuan Tionghoa di Indonesia meninggalkan catatan kontribusi  di berbagai bidang pengabdian di Nusantara. Yang paling awal tercatat ialah Liem Titie Nio, seorang perempuan Tionghoa yang mencatatkan namanya sebagai redaktur di surat kabar Melayu, Tiong Hwa Wi Sien Po (1905).

Selain Liem Titie Nio, Indonesian Cross Cultural Society juga merekam nama-nama lainnya dalam karya Indonesia Chinese Peranakan (2012). Pada 1930-an ada dua perempuan yang memiliki majalah sendiri. Pertama ialah Tjoa Hin Hoey dengan majalahnya bernama Istri dan kedua adalah Ong Pik Hwa yang mendirikan majalah Fu Len. Sayang, keduanya tidak muncul lagi sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia.

Editor:
Bagikan