Membangun Keluarga Bebas dari KDRT
Aisyiyah mendorong penguatan kolaborasi sejumlah pemangku kepentingan untuk mencegah dan menanggulangi KDRT.
Papan tulis berisikan puluhan nama perempuan terpasang di dinding ruangan kantor Lembaga Bantuan Hukum Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Tengah, Jumat (4/10/2024). Di setiap nama turut disertai tanggal yang memuat jadwal dan lokasi persidangan.
”Nama-nama yang ditulis ini hanya yang didampingi sampai ke persidangan. Padahal, sekitar 6.000 klien korban kekerasan dalam rumah tangga per tahun yang meminta pendampingan hukum, tetapi tidak semuanya berlanjut hingga ke persidangan, ujar Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jateng Siti Kasiyati.
Di gedung dua lantai yang terletak di Dusun Gebyok, Desa Ngemplak, Kecamatan Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah itu, anggota Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Aisyiyah Jateng tengah sibuk memeriksa berkas-berkas klien. Sambil sesekali melihat jadwal persidangan, mereka mempersiapkan segala hal dalam memberikan pendampingan hukum kepada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Tak kurang dari 50 orang menjadi bagian dari LBH Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jateng. Sebagian merupakan advokat yang menangani kasus-kasus litigasi dan nonlitigasi. Bahkan, ada beberapa personel yang bertugas untuk memberikan rehabilitasi perempuan korban KDRT. Beberapa personel tersebut merupakan pegawai tetap, tetapi sebagian lainnya adalah sukarelawan.
Siti mengatakan, pendampingan kepada perempuan korban KDRT diberikan LBH Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jateng sejak 2002. Namun, kala itu namanya masih Lembaga Hukum, HAM, dan Advokasi. Baru pada 2005 namanya berubah menjadi Lembaga Hubungan Organisasi, Hukum, dan Advokasi (LHOHA) dan peran-peran pendampingan lebih optimal.
Menurut dia, kasus-kasus KDRT masih cukup banyak di Jateng. Meskipun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah disahkan dua dekade lalu, kasus-kasus terus bermunculan. Bahkan, di era perkembangan teknologi, kasus-kasus yang muncul justru lebih bervariatif.
Dalam setahun, rata-rata ada sekitar 6.000 perempuan korban KDRT di wilayah Jateng yang meminta pendampingan. Sebagian besar meminta konsultasi dan dibuatkan berkas gugatan. Sementara kasus-kasus berat yang didampingi hingga ke persidangan ada sekitar 70 kasus per tahun.
”Semua permohonan bantuan hukum kami terima, tetapi karena keterbatasan sumber daya dan anggaran, kami pilah kasus-kasus yang paling parah dan membutuhkan pendampingan hukum sampai ke pengadilan,” tuturnya.
Baca juga: Dua Dekade UU Penghapusan KDRT: Gurita Kekerasan Membelenggu Perempuan dan Anak
Siti melanjutkan, rata-rata kasus KDRT yang dialami perempuan adalah kekerasan fisik, penelantaran, dan perselingkuhan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kasus semakin bervariatif seiring perkembangan teknologi, seperti kekerasan gender berbasis online (KGBO). Perempuan korban KDRT mendapatkan ancaman dari mantan suami atau pacar yang akan menyebarkan foto-foto pribadi ketika masih berhubungan.
Klien yang didampingi pun berasal dari latar belakang dan usia yang beragam, tak hanya dari kalangan Muhammadiyah atau Aisyiyah. Mereka mendampingi umat Islam dari organisasi lain ataupun umat yang beragama lain. Bahkan, jika berasal dari kalangan miskin, LBH Majelis Hukum dan HAM Aisyiyah akan memberikan pendampingan hukum secara gratis.
Korban KDRT juga cenderung tak melihat usia. Beberapa klien masih berusia muda sekitar 25 tahun hingga yang berusia di atas 55 tahun. Bahkan, tak sedikit yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Kasus-kasusnya pun cenderung lebih rumit karena sebagian tidak ingin bercerai dan poligami karena sudah menikmati fasilitas yang mencukupi dari suami. Padahal, mereka menjadi korban KDRT dari suaminya.
”Anak-anak muda zaman sekarang kalau sudah bosan inginnya langsung bercerai. Kalaupun mengikuti pengajian yang isi ceramahnya tentang keluarga, biasanya hanya menjadi kamuflase,” ucap Siti.
Lebih jauh, pendampingan yang diberikan oleh Posbakum Aisyiyah Jateng bukan hanya dalam hal pemberian bantuan hukum. Pendampingan dilakukan mulai dari melakukan langkah-langkah preventif, kuratif, reintegrasi sosial, hingga pendampingan ekonomi kepada perempuan korban KDRT.
Siti menuturkan, pihaknya rutin memberikan sosialisasi mengenai pencegahan KDRT melalui berbagai forum pengajian Aisyiyah di banyak daerah. Dalam kesempatan itu, perempuan-perempuan Aisyiyah menyosialisasikan UU No 23/2004 tentang PKDRT serta upaya membangun keluarga sakinah.
Saat memberikan pendampingan hukum, Posbakum Aisyiyah juga memberikan perlindungan dengan menempatkan korban ke rumah aman atau safe house. Ketika kasus sudah selesai pun mereka turut mendampingi korban untuk dapat kembali ke masyarakat. Mereka juga memiliki Wisma Sakinah untuk pemulihan trauma perempuan korban KDRT.
Lebih dari itu, Aisyiyah juga memberikan pendampingan ekonomi agar perempuan-perempuan korban KDRT dapat mandiri secara ekonomi. Terlebih banyak klien merupakan ibu rumah tangga yang tidak bekerja sehingga kehidupan ekonomi akan terdampak setelah perceraian. Mereka juga harus menghidupi anak-anak yang usianya masih kecil.
Baca juga: Aisyiyah Digadang Jadi Gerakan Perempuan Islam Progresif
Oleh karena itu, pihaknya memperluas kerja sama pelatihan-pelatihan dengan berbagai pihak, seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang ikut memberikan bantuan permodalan kepada perempuan korban KDRT. Posbakum Aisyiyah juga mencarikan beasiswa untuk anak-anak agar bisa meneruskan pendidikan hingga ke perguruan tinggi.
”Bahkan, ada anak dari korban KDRT yang kami dampingi sudah menjadi pengacara dan membantu kami di Posbakum Aisyiyah,” ucap Siti.
Untuk melaksanakan berbagai kegiatan itu, Posbakum Aisyiyah Jateng rata-rata menghabiskan dana sekitar Rp 500 juta per tahun. Anggaran itu berasal dari anggaran bantuan hukum dari pemerintah dan berbagai sumbangan dari sejumlah pihak, seperti Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazizmu). Ada juga subsidi silang dari perkara-perkara yang tidak probono.
Tak jarang, beberapa anggota juga memberikan infak dari sebagian hasil yang diperoleh dari pendampingan hukum secara pribadi ke lembaga tersebut. Bahkan, untuk menutup biaya operasional, mereka juga membuat sabun untuk dijual kepada ibu-ibu saat pengajian. ”Alhamdulillah semua kebutuhan dapat tercukupi,” kata Siti.
Kesadaran hukum
Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Pimpinan Daerah Aisyiyah Kota Malang, Jawa Timur, Tinuk Dwi Cahyani mengatakan, kesadaran hukum dari perempuan, terutama korban KDRT, masih rendah. Padahal, mereka telah mendapatkan pendampingan hukum selama beberapa tahun dari Aisyiyah.
Ia mencontohkan, ada salah satu klien korban KDRT yang telah didampingi lebih dari dua tahun. Mereka bahkan telah memenangi gugatan dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi di Mahkamah Agung. Ketika mau mengeksekusi masalah hak asuh anak, tiba-tiba klien menandatangani surat pernyataan penyerahan hak asuh anak ke mantan suami.
Pihaknya pun telah mengingatkan klien untuk tidak menandatangani apa pun tanpa sepengetahuan kuasa hukum. Namun, kliennya tetap dapat dikelabuhi karena mantan suami menginfokan bahwa tanda tangan tak akan berdampak apa pun.
Padahal, selama proses nonlitigasi hingga ke litigasi, banyak energi yang sudah dikeluarkan untuk memenangi perkara tersebut. Ia bahkan pernah diusir dari rumah mertua klien ketika ingin membicarakan hak asuh anak. Pintu pagar tidak dibuka meskipun sudah berkali-kali diketuk.
”Akhirnya kerja keras kami selama dua tahun lebih sirna karena klien secara sukarela menyerahkan hak asuh anak ke mantan suaminya,” kata Tinuk.
Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah Merauke, Papua Selatan, Rini Lestari mengatakan, anak-anak juga turut menjadi korban KDRT. Saat ini, ia sedang mendampingi anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan ayah kandungnya.
Menurut dia, potensi KDRT di wilayahnya cukup tinggi. Selain pemahaman masyarakat yang masih rendah, ada kebiasaan hubungan seksual yang masih ada pertalian sedarah atau inses. Situasi ini diperparah dengan rumah tempat tinggal yang dihuni beberapa keluarga. Sementara shelter atau rumah aman bagi korban KDRT di Merauke juga belum ada.
”Akhirnya korban berada dalam perlindungan kami. Kalau kembali ke keluarga, dia masih trauma,” kata Rini.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah Tri Hastuti Nur mengatakan, kerja-kerja dakwah Aisyiyah tak hanya mengurusi masalah keagamaan. Aisyiyah juga memberikan pendampingan hukum kepada perempuan-perempuan korban KDRT di berbagai daerah melalui posbakum.
Hingga saat ini, ada 60 posbakum yang terdiri dari 31 posbakum tingkat wilayah, 28 posbakum tingkat daerah, dan 1 posbakum tingkat pusat. Sebanyak sembilan posbakum di antaranya telah terakreditasi oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Komprehensif
Pendampingan yang diberikan juga komprehensif, dari pencegahan, pendampingan hukum, reintegrasi sosial, hingga pemberdayaan ekonomi korban KDRT. Kegiatan-kegiatan itu dilakukan bahkan secara gratis apabila korban berasal dari kalangan tidak mampu.
Tri melanjutkan, kehadiran Aisyiyah untuk mendampingi kelompok-kelompok perempuan marjinal dan dimarjinalkan. Sebab, masih banyak perempuan yang dipinggirkan karena jauh dari akses pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan perlindungan hukum. Termasuk salah satunya adalah perempuan dan anak korban KDRT.
Terlebih kasus KDRT merupakan fenomena gunung es. Kasus-kasus yang dilaporkan hanyalah sedikit dibandingkan dengan yang terjadi di masyarakat. Apalagi, masih banyak perempuan yang tidak berani melaporkan kasusnya dan meminta pendampingan hukum. Padahal, masalah KDRT bukan lagi masalah privat dan telah diatur dalam undang-undang.
”Bukan berarti Aisyiyah mendorong perempuan untuk membawa permasalahannya ke proses hukum. Tetapi, kalau ada perempuan yang membutuhkan pendampingan hukum, kami akan menolong,” katanya.
Di sisi lain, kata Tri, implementasi 20 tahun UU PKDRT masih menemui kendala di lapangan. Budaya patriarki masih cukup kuat di masyarakat. Perempuan juga cenderung mau menerima keadaan dan takut terhadap ancaman apabila membawa kasus ke ranah hukum.
Generasi muda juga cenderung tidak memahami perlindungan hukum terhadap perempuan. Oleh karena itu, sosialisasi UU PKDRT yang telah berusia lebih dari dua dekade tetap dibutuhkan.
Sementara ketersediaan layanan pendampingan korban KDRT dan tenaga konselor masih sangat sedikit. Lokasinya masih terpusat di pusat kota, padahal perilaku KDRT sering kali terjadi di perdesaan. Situasi ini diperparah dengan perspektif dari aparat penegak hukum yang cenderung belum berpihak kepada korban.
Lebih jauh, lanjut Tri, pendampingan hukum kepada perempuan korban KDRT merupakan salah satu langkah kuratif Aisyiyah dalam mendorong keluarga sakinah. Sementara dalam upaya preventif, Aisyiyah menggalakkan pencegahan melalui edukasi keluarga sejak tahapan calon pengantin hingga saat membina hubungan rumah tangga.
Sebab, dalam konsep keluarga sakinah, suami dan istri harus saling mendukung, membantu, menyayangi, dan melindungi. Tidak ada salah satu yang memiliki posisi lebih tinggi karena masing-masing memiliki peran untuk saling mendukung.
”Bagi Aisyiyah, keluarga sakinah merupakan pilar penting bagi Indonesia agar menjadi bangsa yang kuat,” kata Tri.
Menurut Tri, upaya untuk mendampingi perempuan agar lepas dari kekerasan perlu sinergi dari multipihak. Kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan harus diperkuat karena tantangan dalam mencegah dan menanggulangi KDRT semakin beragam.
Salah satunya melalui kerja sama dan pendanaan dari sejumlah pihak, termasuk dukungan dari Co-Impact dan Ashoka. Melalui kerja sama ini, gerakan untuk pendampingan perempuan korban KDRT agar kembali berdaya bisa lebih berdampak. Dengan demikian, upaya Aisyiyah untuk menciptakan keluarga sakinah dapat lebih berdampak.
Baca juga: Ikan Gabus Kusayang, Cuan Pun Datang
Jalan menuju keluarga sakinah yang bebas dari KDRT masih panjang. Kesetaraan dalam keluarga mesti terus digalakkan agar tak ada lagi KDRT karena anggapan perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.