logo Kompas.id
Politik & HukumPerubahan Paradigma Birokrasi,...
Iklan

Perubahan Paradigma Birokrasi, DPD yang Jembatani Aspirasi Warga dan Daerah ke Pusat

Diskusi Tiga Dekade Otonomi Daerah di ”Kompas”, paradigma pola lama birokrasi menuju ke ”collaborative governance”.

Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
· 5 menit baca
Wakil Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin memberikan pemaparan singkat dalam diskusi kelompok terarah yang digelar harian <i>Kompas </i>di Jakarta, Kamis (4/7/2024). Diskusi yang juga dihadiri anggota DPD dari beberapa daerah, perwakilan kementerian, peneliti, pengajar perguruan tinggi negeri, dan pengamat tersebut membahas topik &quot;Hampir Tiga Dekade, Otonomi Daerah Apakah Sudah Sesuai Harapan?&quot;.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Wakil Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin memberikan pemaparan singkat dalam diskusi kelompok terarah yang digelar harian Kompas di Jakarta, Kamis (4/7/2024). Diskusi yang juga dihadiri anggota DPD dari beberapa daerah, perwakilan kementerian, peneliti, pengajar perguruan tinggi negeri, dan pengamat tersebut membahas topik "Hampir Tiga Dekade, Otonomi Daerah Apakah Sudah Sesuai Harapan?".

Memasuki awal tahun 2000, paradigma pemerintahan berkembang sangat cepat seiring tantangan global yang juga kian berat. Pola lama birokrasi yang kaku harus segera ditinggalkan dan beralih ke pemerintahan yang kolaboratif dan melayani. Peran Dewan Perwakilan Daerah pun dibutuhkan untuk menjembatani aspirasi masyarakat daerah dan pemerintah daerah ke pemerintah pusat.

Paradigma pemerintahan di Indonesia masih sangat kental dengan pola lama birokrasi (old public administration/OPA). Model birokrasi yang dijalankan melulu mengutamakan prosedur sehingga sangat birokratis. Pola hubungan bersifat hierarkis–struktural antara bawahan dan atasan. Alhasil, aparatur kerap kali tidak kreatif dan sulit membuat suatu perubahan.

Kegelisahan semacam ini mencuat dalam diskusi ”Hampir Tiga Dekade, Otonomi Daerah Apakah Sudah Sesuai Harapan?”, Kamis (4/7/2024), di Menara Kompas, Jakarta. Diskusi hasil kolaborasi antara harian Kompas (Kompas.id) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini menghadirkan sejumlah narasumber.

Mereka adalah Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan Bachtiar Najamudin, Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Tri Dewi Virgiyanti, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Ryaas Rasyid, Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, Andy Fefta Wijaya, dan peneliti senior di LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Riatu Mariatul Qibthiyyah.

Baca juga: Ryaas Rasyid: Otonomi Daerah Hampir Gagal

Hadir pula sebagai penanggap, anggota DPD dari Papua, Yorrys Raweyai; anggota DPD dari Kalimantan Utara, Hasan Basri; dan anggota DPD dari Jawa Tengah, Abdul Kholik. Adapun Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Zaenal Arifin menjadi peninjau.

Paradigma pemerintahan di Indonesia masih sangat kental dengan pola lama birokrasi (old public administration). Model birokrasi yang dijalankan melulu mengutamakan prosedur sehingga sangat birokratis.

Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad (kiri) dan Pemimpin Redaksi <i>Kompas </i>Sutta Dharmasaputra saat membuka diskusi kelompok terarah yang digelar harian <i>Kompas </i>di Jakarta, Kamis (4/7/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad (kiri) dan Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra saat membuka diskusi kelompok terarah yang digelar harian Kompas di Jakarta, Kamis (4/7/2024).

Dari OPA ke ”collaborative governance”

Fadel Muhammad menyebut, penerapan pola lama birokrasi yang kerap disingkat OPA tersebut justru menimbulkan berbagai permasalahan di pemerintahan daerah saat ini, salah satunya menghambat pembangunan daerah. ”Sekarang paradigma ini berubah menjadi collaborative governance. Pikiran-pikiran ini sudah berkembang di luar negeri,” ucapnya.

Dengan memiliki paradigma kolaboratif, pemda akan lebih melibatkan banyak pihak dalam setiap pengambilan kebijakan. Alhasil, kebijakan yang dikeluarkan akan sesuai dengan kebutuhan daerahnya dan untuk pembangunan daerahnya. Namun, paradigma ini juga harus disertai dengan semangat wirausaha (entrepreneurial government) sehingga kapital dan modal yang ada dapat digunakan untuk menumbuhkan ekonomi kerakyatan yang disesuaikan dengan potensi daerah masing-masing.

Model localcollaborative governance ini jadi keharusan. Tanpa ini, maka sulit karena tantangan pemda ke depan pasti pertumbuhan ekonomi lokal. Kita tidak ada guna kalau ekonomi lokal tidak tumbuh.

”Bukan malah digunakan untuk konsumtif. Jadi, model localcollaborative governance ini menjadi keharusan. Tanpa ini, maka sulit karena tantangan pemda ke depan pasti pertumbuhan ekonomi lokal. Kita tidak ada guna kalau ekonomi lokal tidak tumbuh,” tegas Fadel.

Berkolaborasi dengan DPD

Menurut Fadel, DPD juga berperan besar untuk menyelesaikan masalah daerah ini. DPD bisa berkolaborasi dengan pemda untuk menggelar semacam forum dengar pendapat yang sekaligus dihadiri oleh menteri terkait. Dengan begitu, berbagai keluhan dan masukan dari daerah bisa langsung ditanggapi oleh pemerintah pusat, bahkan presiden.

”Jadi, DPD ke depan perlu menerima aspirasi masyarakat dan memperjuangkan kepentingan tersebut. Saya yakin, DPD akan mendapat tempat sendiri di mata pemerintah dan masyarakat daerah karena ada yang dibuat dan dibantu,” ujar Fadel.

Sultan Bachtiar Najamudin
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Sultan Bachtiar Najamudin

Sultan Bachtiar Najamudin mengungkapkan, setiap turun ke daerah, sebenarnya anggota DPD selalu mendapatkan banyak aspirasi dari masyarakat. Namun, sering kali, DPD terkendala untuk menindaklanjuti aspirasi tersebut akibat kewenangannya yang terbatas.

DPD terkendala untuk menindaklanjuti aspirasi tersebut akibat kewenangannya yang terbatas.

Iklan

Misalnya saja, terkait kewenangan legislasi, DPD tidak punya kewenangan penuh karena harus bergantung pada DPR. Dalam pembahasan suatu legislasi, DPD hanya dapat menyampaikan pandangan dan mengajukan daftar inventarisasi masalah secara tertulis, tetapi tidak ikut dalam pengambilan keputusan.

”Kalaulah semua pihak memberikan ruang ke DPD, memberi kewenangan yang ideal, maka checks and balances akan jalan. Saya yakin, kualitas perundang-undangan kita lebih baik, karena ada double kamar, double check tanpa mengurangi peran kamar lain. Dengan negara sebesar ini, dengan permasalahan sebanyak ini, seharusnya checks and balances berjalan, posisi DPD benar-benar diperhitungkan dan nyantol di konstitusi, sehingga tidak banyak undang-undang yang diuji ke Mahkamah Konstitusi,” ucap Sultan.

Kalaulah semua pihak memberikan ruang ke DPD, memberi kewenangan ideal, maka checks and balances akan jalan. Saya yakin, kualitas perundang-undangan lebih baik, karena ada double kamar, double check tanpa mengurangi peran kamar lain.

Namun, lanjut Sultan, DPD tidak pernah berkecil hati antara ekspektasi dan situasi yang terjadi hari ini. Ia terus mendorong agar DPD tetap bisa menjalankan fungsi-fungsinya yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat daerah. Ada empat peran, yakni mediator (menjadi penengah kala terjadi konflik di daerah), promotor (mempromosikan potensi daerah kepada investor), agregator (menyampaikan keinginan daerah ke pusat), serta evaluator (berkaitan dengan fungsi pengawasan).

Kompleksitas masalah publik

Andy Fefta Wijaya sepakat bahwa peran DPD sangat vital di sini. Mereka harus mampu menyuarakan aspirasi pemda dan kemudian menjembatani antara kepentingan pemda dan pusat. Namun, ia hanya mengingatkan bahwa dalam konsep collaborative governance, aktor yang perlu diajak untuk ikut berpartisipasi aktif sangatlah banyak, seperti akademisi, pebisnis, komunitas, dan media. Ia menyebut ini sebagai collaborative governance plus multi-helix.

”Partisipasi aktif ini bukan berarti dia hanya hadir, tanda tangan, lalu dimintai pendapatnya. Tidak seperti itu. Sebuah keputusan harus diambil bersama-sama dengan para stakeholder tadi untuk pemecahan-pemecahan masalah publik di daerah,” ujar Andy.

Partisipasi aktif ini bukan berarti dia hanya hadir, tanda tangan, lalu dimintai pendapatnya. Tidak seperti itu. Sebuah keputusan harus diambil bersama-sama dengan stakeholder untuk pemecahan-pemecahan masalah di daerah.

Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Andy Fefta Wijaya menyampaikan beragam hal yang saat ini dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam diskusi kelompok terarah yang digelar harian <i>Kompas </i>di Jakarta, Kamis (4/7/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Andy Fefta Wijaya menyampaikan beragam hal yang saat ini dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam diskusi kelompok terarah yang digelar harian Kompas di Jakarta, Kamis (4/7/2024).

Jika paradigma collaborative governance plus multi-helix ini menjadi pegangan semua pemda, diyakini kebijakan-kebijakan pemerintah ke depan akan berfokus pada pencapaian hasil yang berkelanjutan, termasuk tujuan pembangunan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat secara luas. Sebab, sejak awal perumusan kebijakan, semua dilakukan secara inklusif dan partisipatif.

”Pendekatan yang lebih holistik dan kolaboratif ini akan membantu pemda mengatasi kompleksitas masalah publik, seperti perubahan iklim, kemiskinan, ketimpangan sosial, dan globalisasi,” ucap Andy.

Otonomi ini hampir gagal. Saya tidak mau katakan gagal. Tetapi, sebagai orang yang mengetahui pemerintahan, mendalami pemerintahan pusat dan daerah, saya ingin mengatakan, ini hampir gagal.

Alih-alih mencoba mewujudkan pemerintahan yang kolaboratif dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, menurut Ryaas Rasyid, yang ada sekarang justru penurunan kualitas pemda. Sejumlah hal menjadi penyebab, mulai dari korupsi yang kian merajalela hingga krisis kepemimpinan di daerah.

”Otonomi ini hampir gagal. Saya tidak mau katakan gagal. Tetapi, sebagai orang yang mengetahui pemerintahan, mendalami pemerintahan pusat dan daerah, saya ingin mengatakan, ini hampir gagal,” tegas Ryaas Rasyid.

Pakar ilmu pemerintahan Ryaas Rasyid hadir sebagai salah satu narasumber dalam diskusi kelompok terarah yang digelar harian <i>Kompas </i>di Jakarta, Kamis (4/7/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pakar ilmu pemerintahan Ryaas Rasyid hadir sebagai salah satu narasumber dalam diskusi kelompok terarah yang digelar harian Kompas di Jakarta, Kamis (4/7/2024).

Pemimpin pencitraan dan uang

Korupsi yang semakin luar biasa di pemda telah menghambat proses pembangunan daerah. Kemudian, Ryaas Rasyid juga menyayangkan kualitas pemimpin sekarang yang hanya sebatas menonjolkan pencitraan dan uang. Demi mengincar jabatan kepala daerah, mereka rela bermain politik uang sehingga ini berakibat fatal di kemudian hari. Ditambah lagi, pencitraan yang ditampilkan ke publik sering kali berlawanan dengan etika serta prestasi mereka.

Seseorang yang tidak jelas prestasinya, tetapi dia punya kemampuan bikin pencitraan. Tidak ada prestasi yang bisa ditonjolkan. Ini masalah besar.

”Seseorang yang tidak jelas prestasinya, tetapi dia punya kemampuan bikin pencitraan. Tidak ada prestasi yang bisa ditonjolkan. Ini masalah besar. Jadi, masalah besar kita, Indonesia sekarang ini, baik itu menyangkut pemerintahan daerah maupun pemerintahan nasional, kita tidak punya mekanisme yang menjamin bahwa yang terpilih menjadi kepala pemerintahan adalah orang yang terbaik,” tegas Ryaas Rasyid.

Tak heran, rakyat mungkin pernah kecewa setelah selesai memilih seorang pemimpin. Sebab, rakyat juga tidak pernah diberikan informasi yang cukup mengenai siapa yang mau menjadi pemimpin mereka, seperti watak, prestasi, dan rekam jejaknya.

Baca juga: Menanti Debut Para Pemimpin Daerah

”Bahkan, sekarang kita sibuk berdebat berapa umurnya? Itu enggak penting sebenarnya. Saya tidak anti bahwa orang muda bisa menjadi pemimpin, tetapi intinya adalah memimpin suatu pemerintahan itu harus punya kapasitas. Kapasitas ini dibentuk dari kepribadian, pengetahuan, dan pengalaman yang mumpuni untuk bisa memimpin pemerintahan,” ucap Ryaas Rasyid.

Dari sini terlihat permasalahan daerah yang sangat kompleks tak bisa hanya diselesaikan oleh satu pemain, yakni pemda sendiri. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemda juga harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan lain, seperti DPD. Namun, dua institusi tersebut juga belum cukup karena harus pula melibatkan para akademisi, pebisnis, komunitas, dan media demi tercapainya sebuah kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat daerah.

Editor:
SUHARTONO
Bagikan