Perkuat Pemerintahan Kolaboratif di Daerah
Pemda dituntut memiliki paradigma pemerintahan kolaboratif demi tingkatkan ekonomi lokal dan sejahterakan rakyat.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah berbagai tantangan yang kian berat, pemerintah daerah atau pemda didorong tetap mampu menumbuhkan perekonomian lokal. Namun, pemda tak bisa bekerja sendiri. Paradigma pemerintahan kolaboratif harus dimiliki oleh setiap pemda.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Fadel Muhammad dalam sambutannya pada diskusi ”Hampir Tiga Dekade, Otonomi Daerah Apakah Sudah Sesuai Harapan?”, Kamis (4/7/2024), di Menara Kompas, Jakarta, mengatakan, tantangan bagi pemda adalah meningkatkan perekonomian lokal dan menyejahterakan masyarakat. Ia agak menyayangkan ketika ada daerah yang belum bisa menjawab tantangan tersebut.
Maluku Utara, misalnya, pertumbuhan ekonominya mencapai 21 persen, tetapi kemiskinan masih tinggi. Begitu pula dengan Papua. Menurut Fadel, ini karena dana yang ada tak digunakan secara tepat untuk menumbuhkan ekonomi lokal.
”Dana yang masuk ke daerah justru untuk kepentingan bangun kantor dan lainnya. Padahal, kan, bisa bangun jalan yang bisa menunjang pertumbuhan ekonomi,” kata Fadel.
Diskusi hasil kolaborasi antara harian Kompas (Kompas.id) dan MPR ini menghadirkan sejumlah narasumber. Mereka adalah Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan Baktiar Najamudin; Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Tri Dewi Virgiyanti; Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Ryaas Rasyid; Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, Andy Fefta Wijaya; dan peneliti senior di LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Riatu Mariatul Qibthiyyah.
Hadir pula sebagai penanggap anggota DPD dari Papua, Yorrys Raweyai; anggota DPD dari Kalimantan Utara, Hasan Basri; dan anggota DPD dari Jawa Tengah, Abdul Kholik. Adapun Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana Zaenal Arifin menjadi peninjau.
Fadel melanjutkan, sejumlah pemda kesulitan menjawab tantangan ke depan karena terjebak paradigma pemerintahan yang lama. Ciri paradigma ini adalah pola kerja birokrasi tidak kreatif dan sulit membuat perubahan.
Baca juga: Ryaas Rasyid: Otonomi Daerah Hampir Gagal
Paradigma pemerintahan daerah ke depan itu harus kolaboratif. Paradigma ini disebut pemerintahan kolaboratif dengan pola kerja pemerintahan lebih melibatkan banyak pihak untuk suatu kepentingan.
”Sayangnya, spirit entrepreneurial governance sangat rendah. Saya pernah mendengar, seorang pemimpin, bupati, wali kota, gubernur capek bekerja seperti ini karena harus melibatkan perguruan tinggi dan lainnya. Namun, pengalaman saya, justru ini jadi menarik karena kita tak sendirian dalam membuat kebijakan. Ketika keluar kebijakannya, semua merasa memilikinya,” kata Fadel.
Tingkat demokrasi
Sepakat dengan Fadel, Andy Fefta Wijaya mengatakan, pemda harus ingat, kini pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya pemain utama dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik. Namun, pemerintah harus melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, seperti akademisi, pebisnis, komunitas, dan media. Ia menyebut ini sebagai collaborative governance plus multihelix.
”Kolaborasi lebih tinggi dari sekadar kerja sama atau koordinasi. Sebab, di situ harus ada irisan di antara mereka, tak lagi bekerja di sektornya sendiri. Irisan itu juga harus mengikat, bisa dalam bentuk regulasi, kebijakan publik, atau citizen charter,” ujarnya.
Paradigma pemerintahan kolaboratif banyak dipengaruhi oleh teori-teori demokrasi. ”Dalam hal ini kualitatif demokrasi, bukan kuantitatif demokrasi. Kualitatif demokrasi adalah dari sisi society. Pengambilan keputusan dilakukan secara inklusif dan partisipatif,” kata Andy.
Sementara itu, Ryaas Rasyid agak ragu pemda bisa menjawab tantangan yang ada. Sebab, ia melihat korupsi semakin merajalela di daerah. Korupsi ini telah menghambat proses pembangunan daerah.
Alasan kedua adalah adanya krisis kepemimpinan di daerah. Menurut Ryaas, pemimpin sekarang cenderung hanya menonjolkan pencitraan dan uang. ”Kita tidak punya mekanisme yang menjamin bahwa yang terpilih menjadi kepala pemerintahan adalah orang yang terbaik,” ujarnya.
Belum baik
Dari hasil evaluasi Bappenas terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, didapati ketimpangan dalam indeks inovasi daerah. Jika dilihat dari ruang lingkup provinsi, misalnya, inovasi hanya terjadi di Jawa dan Sumatera, sedangkan provinsi lain belum. Kemudian, dilihat dari lingkup kabupaten/kota, daerah-daerah yang inovatif masih terpusat di Jawa, sedangkan daerah-daerah di Papua dan Kalimantan masih kurang inovatif.
Kemudian, ditemukan pula beberapa indikator yang masih stagnan atau belum membaik, di antaranya ketimpangan yang tinggi antarwilayah, kemiskinan, dan masalah tengkes atau stunting. Realisasi investasi di daerah juga belum menggembirakan. Realisasi investasi ini menunjukkan seberapa menariknya suatu daerah untuk dijadikan tempat investasi.
Dari temuan Bappenas diketahui, kapasitas fiskal daerah masih bergantung pada pusat. Hal ini ditambah lagi, pemda tidak inovatif dalam menggali pemasukan daerahnya. ”Artinya, kinerja pemerintahan kita belum sesuai dengan harapan masyarakat,” kata Tri Dewi Virgiyanti.
Sultan Bachtiar Najamudin mengungkapkan, ketidakpastian geopolitik membuat tiap-tiap negara harus mencari jalan keluar sendiri. Di saat bersamaan, ini juga menjadi tantangan bagi daerah untuk membuat inovasi di daerahnya masing-masing karena ketidakpastian geopolitik ini juga pasti berdampak pada daerah, seperti inflasi pangan.
Baca juga: Lubang Hitam Otonomi Daerah
Di tengah situasi itu, menurut Sultan, DPD harus tetap bisa menjalankan fungsi-fungsinya yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat daerah. Ada empat peran DPD, yakni mediator atau menjadi penengah di kala terjadi konflik di daerah, promotor yang mempromosikan potensi daerah kepada investor, agregator untuk menyampaikan keinginan daerah ke pusat, dan evaluator yang bertugas mengawasi.