logo Kompas.id
Politik & HukumPerkuat Pemerintahan...
Iklan

Perkuat Pemerintahan Kolaboratif di Daerah

Pemda dituntut memiliki paradigma pemerintahan kolaboratif demi tingkatkan ekonomi lokal dan sejahterakan rakyat.

Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
· 3 menit baca
Wakil Ketua DPD Sultan Baktiar Najamudin (kiri) dan Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad melihat artikel di harian<i> Kompas</i> saat mengikuti diskusi kelompok terarah yang digelar <i>Kompas</i> di Jakarta, Kamis (4/7/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Wakil Ketua DPD Sultan Baktiar Najamudin (kiri) dan Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad melihat artikel di harian Kompas saat mengikuti diskusi kelompok terarah yang digelar Kompas di Jakarta, Kamis (4/7/2024).

JAKARTA, KOMPAS — Di tengah berbagai tantangan yang kian berat, pemerintah daerah atau pemda didorong tetap mampu menumbuhkan perekonomian lokal. Namun, pemda tak bisa bekerja sendiri. Paradigma pemerintahan kolaboratif harus dimiliki oleh setiap pemda.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Fadel Muhammad dalam sambutannya pada diskusi ”Hampir Tiga Dekade, Otonomi Daerah Apakah Sudah Sesuai Harapan?”, Kamis (4/7/2024), di Menara Kompas, Jakarta, mengatakan, tantangan bagi pemda adalah meningkatkan perekonomian lokal dan menyejahterakan masyarakat. Ia agak menyayangkan ketika ada daerah yang belum bisa menjawab tantangan tersebut.

Maluku Utara, misalnya, pertumbuhan ekonominya mencapai 21 persen, tetapi kemiskinan masih tinggi. Begitu pula dengan Papua. Menurut Fadel, ini karena dana yang ada tak digunakan secara tepat untuk menumbuhkan ekonomi lokal.

”Dana yang masuk ke daerah justru untuk kepentingan bangun kantor dan lainnya. Padahal, kan, bisa bangun jalan yang bisa menunjang pertumbuhan ekonomi,” kata Fadel.

Wakil Ketua DPD Sultan Baktiar Najamudin, Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Ryaas Rasyid, dan Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Tri Dewi Virgiyanti saat mengikuti diskusi kelompok terarah yang digelar harian <i>Kompas </i>di Jakarta, Kamis (4/7/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Wakil Ketua DPD Sultan Baktiar Najamudin, Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Ryaas Rasyid, dan Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Tri Dewi Virgiyanti saat mengikuti diskusi kelompok terarah yang digelar harian Kompas di Jakarta, Kamis (4/7/2024).

Diskusi hasil kolaborasi antara harian Kompas (Kompas.id) dan MPR ini menghadirkan sejumlah narasumber. Mereka adalah Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan Baktiar Najamudin; Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Tri Dewi Virgiyanti; Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Ryaas Rasyid; Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, Andy Fefta Wijaya; dan peneliti senior di LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Riatu Mariatul Qibthiyyah.

Hadir pula sebagai penanggap anggota DPD dari Papua, Yorrys Raweyai; anggota DPD dari Kalimantan Utara, Hasan Basri; dan anggota DPD dari Jawa Tengah, Abdul Kholik. Adapun Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana Zaenal Arifin menjadi peninjau.

Fadel melanjutkan, sejumlah pemda kesulitan menjawab tantangan ke depan karena terjebak paradigma pemerintahan yang lama. Ciri paradigma ini adalah pola kerja birokrasi tidak kreatif dan sulit membuat perubahan.

Baca juga: Ryaas Rasyid: Otonomi Daerah Hampir Gagal

Paradigma pemerintahan daerah ke depan itu harus kolaboratif. Paradigma ini disebut pemerintahan kolaboratif dengan pola kerja pemerintahan lebih melibatkan banyak pihak untuk suatu kepentingan.

Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad (kanan) memaparkan sejumlah hal saat berkunjung ke Redaksi<i> Kompas</i> di Jakarta, Rabu (12/6/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad (kanan) memaparkan sejumlah hal saat berkunjung ke Redaksi Kompas di Jakarta, Rabu (12/6/2024).

”Sayangnya, spirit entrepreneurial governance sangat rendah. Saya pernah mendengar, seorang pemimpin, bupati, wali kota, gubernur capek bekerja seperti ini karena harus melibatkan perguruan tinggi dan lainnya. Namun, pengalaman saya, justru ini jadi menarik karena kita tak sendirian dalam membuat kebijakan. Ketika keluar kebijakannya, semua merasa memilikinya,” kata Fadel.

Iklan

Tingkat demokrasi

Sepakat dengan Fadel, Andy Fefta Wijaya mengatakan, pemda harus ingat, kini pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya pemain utama dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik. Namun, pemerintah harus melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, seperti akademisi, pebisnis, komunitas, dan media. Ia menyebut ini sebagai collaborative governance plus multihelix.

”Kolaborasi lebih tinggi dari sekadar kerja sama atau koordinasi. Sebab, di situ harus ada irisan di antara mereka, tak lagi bekerja di sektornya sendiri. Irisan itu juga harus mengikat, bisa dalam bentuk regulasi, kebijakan publik, atau citizen charter,” ujarnya.

Paradigma pemerintahan kolaboratif banyak dipengaruhi oleh teori-teori demokrasi. ”Dalam hal ini kualitatif demokrasi, bukan kuantitatif demokrasi. Kualitatif demokrasi adalah dari sisi society. Pengambilan keputusan dilakukan secara inklusif dan partisipatif,” kata Andy.

Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Andy Fefta Wijaya menyampaiakan beragam hal yang saat ini dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam diskusi kelompok terarah yang digelar harian <i>Kompas</i> di Jakarta, Kamis (4/7/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Andy Fefta Wijaya menyampaiakan beragam hal yang saat ini dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam diskusi kelompok terarah yang digelar harian Kompas di Jakarta, Kamis (4/7/2024).

Sementara itu, Ryaas Rasyid agak ragu pemda bisa menjawab tantangan yang ada. Sebab, ia melihat korupsi semakin merajalela di daerah. Korupsi ini telah menghambat proses pembangunan daerah.

Alasan kedua adalah adanya krisis kepemimpinan di daerah. Menurut Ryaas, pemimpin sekarang cenderung hanya menonjolkan pencitraan dan uang. ”Kita tidak punya mekanisme yang menjamin bahwa yang terpilih menjadi kepala pemerintahan adalah orang yang terbaik,” ujarnya.

Belum baik

Dari hasil evaluasi Bappenas terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, didapati ketimpangan dalam indeks inovasi daerah. Jika dilihat dari ruang lingkup provinsi, misalnya, inovasi hanya terjadi di Jawa dan Sumatera, sedangkan provinsi lain belum. Kemudian, dilihat dari lingkup kabupaten/kota, daerah-daerah yang inovatif masih terpusat di Jawa, sedangkan daerah-daerah di Papua dan Kalimantan masih kurang inovatif.

Kemudian, ditemukan pula beberapa indikator yang masih stagnan atau belum membaik, di antaranya ketimpangan yang tinggi antarwilayah, kemiskinan, dan masalah tengkes atau stunting. Realisasi investasi di daerah juga belum menggembirakan. Realisasi investasi ini menunjukkan seberapa menariknya suatu daerah untuk dijadikan tempat investasi.

Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Tri Dewi Virgiyanti (kiri) dan peneliti senior LPEM UI, Mariatul Qibthiyyah, hadir sebagai salah satu narasumber dalam diskusi kelompok terarah yang digelar harian <i>Kompas</i> di Jakarta, Kamis (4/7/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Tri Dewi Virgiyanti (kiri) dan peneliti senior LPEM UI, Mariatul Qibthiyyah, hadir sebagai salah satu narasumber dalam diskusi kelompok terarah yang digelar harian Kompas di Jakarta, Kamis (4/7/2024).

Dari temuan Bappenas diketahui, kapasitas fiskal daerah masih bergantung pada pusat. Hal ini ditambah lagi, pemda tidak inovatif dalam menggali pemasukan daerahnya. ”Artinya, kinerja pemerintahan kita belum sesuai dengan harapan masyarakat,” kata Tri Dewi Virgiyanti.

Sultan Bachtiar Najamudin mengungkapkan, ketidakpastian geopolitik membuat tiap-tiap negara harus mencari jalan keluar sendiri. Di saat bersamaan, ini juga menjadi tantangan bagi daerah untuk membuat inovasi di daerahnya masing-masing karena ketidakpastian geopolitik ini juga pasti berdampak pada daerah, seperti inflasi pangan.

Baca juga: Lubang Hitam Otonomi Daerah

Di tengah situasi itu, menurut Sultan, DPD harus tetap bisa menjalankan fungsi-fungsinya yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat daerah. Ada empat peran DPD, yakni mediator atau menjadi penengah di kala terjadi konflik di daerah, promotor yang mempromosikan potensi daerah kepada investor, agregator untuk menyampaikan keinginan daerah ke pusat, dan evaluator yang bertugas mengawasi.

Editor:
ANITA YOSSIHARA
Bagikan