Satu Suara Pemilih yang Berharga
Satu orang, satu suara, satu nilai.
Yati buru-buru turun dari sepeda motor yang mengantarnya ke Gerbang Tol Kebon Jeruk 2 di bilangan Kedoya, Jakarta Barat, Selasa (13/2/2024) siang. Perempuan asal Indramayu, Jawa Barat, itu menghampiri suaminya yang sudah lebih dulu sampai ke gerbang tol untuk menunggu bus menuju kampung halaman mereka.
”Kalau enggak coblosan, ya, enggak pulang. Ini karena mau coblosan saja pulang. Besoknya (Kamis) balik ke sini (Jakarta) lagi,” tutur Yati diiyakan suaminya.
Sepasang suami-istri itu terdaftar sebagai pemilih di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Karangampel, Kabupaten Indramayu. Keduanya memilih pulang kampung hanya untuk mencoblos di hari pemungutan suara Pemilu 2024, Rabu (14/2/2024).
Lain Yati, lain lagi dengan Farel. Pelajar yang baru pertama kali memperoleh hak pilih itu masih bimbang, apakah akan mencoblos ataukah tidak. ”Sampai sekarang masih bingung, kemungkinan sih tidak ke TPS,” katanya.
Sebenarnya, Farel sudah mendapat surat undangan memilih di salah satu TPS di Jatibening, Bekasi, Jawa Barat. Namun, ia bingung karena tidak mengetahui sosok calon anggota legislatif (caleg) yang harus dipilihnya.
Kendati partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 diprediksi tinggi, masih ada pemilih yang enggan menggunakan hak pilihnya. Jajak pendapat Kompas, 29 Januari-2 Februari, merekam, masih ada 2,5 persen responden yang enggan menggunakan hak pilihnya dan 1,1 persen responden yang belum menentukan pilihan.
Padahal, satu suara begitu berarti karena bisa menentukan pemimpin sekaligus masa depan bangsa. Untuk menjadi presiden dan wakil presiden, pasangan kandidat harus memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara sah dalam pemilihan presiden (pilpres). Syarat lain yang diatur dalam Pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah meraih sedikitnya 20 persen suara yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Dengan ketentuan itu, pasangan calon yang meraih 50 persen plus 1 suara saja sudah bisa ditetapkan sebagai pemenang pilpres. Sebaliknya, jika pasangan calon memperoleh 50 persen suara sah, tetap tidak bisa dinyatakan sebagai pemenang.
Baca juga: Reportase Langsung
Bukan hanya untuk pilpres, satu suara juga bisa menjadi penentu partai-partai politik yang lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasal 414 UU Pemilu mengatur, parpol harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen suara sah nasional untuk dapat diikutkan dalam penentuan kursi anggota DPR.
Jika diasumsikan 204,8 juta pemilih yang terdaftar mencoblos dengan benar, untuk mendapatkan tiket ke Senayan, parpol harus memperoleh minimal 8,192 juta suara. Kurang satu suara saja, para calon wakil rakyat dari parpol tersebut tidak bisa duduk di parlemen.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Betty Epsilon Idroos, mengatakan, satu suara yang diberikan pemilih di bilik suara memiliki nilai yang sama, yakni one person, one vote, one value. Artinya, setiap pemilih memiliki nilai yang sama saat penghitungan suara.
Oleh karena itu, meski tidak bisa memaksa pemilih untuk menggunakan hak pilih, KPU terus menggugah pemilih untuk datang ke TPS. Para pemilih diharapkan memberikan suara untuk menentukan pemimpin lima tahun ke depan.
Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menjelaskan, dengan sistem one person, one vote, one value berarti hak pilih dalam pemilu merupakan penghargaan pada martabat seoarang sebagai warga negara yang adil, setara, dan tidak dibedakan oleh apa pun. Sepanjang memenuhi ketentuan hak pilih, maka semua dianggap sama di hadapan hukum pemilu.
”Penggunaan hak pilih semestinya mencerminkan derajat kualitas harkat dan martabat diri seseoarang sebagai manusia yang tak bisa dimanipulasi oleh apa pun sehingga bebas menentukan pilihannya. Makanya, setiap suara adalah berharga,” ujar Titi.
Jika merujuk konstitusi dan UU Pemilu, kata Titi, tidak akan ada capres-cawapres yang memenangai pemilu dalam satu putaran jika raihan suaranya tidak menggenapi 50 persen plus satu. Satu suara itulah yang bisa jadi akan mengantarkan kandidat terpilih di pilpres.
Penggunaan hak pilih semestinya mencerminkan derajat kualitas harkat dan martabat diri seseorang sebagai manusia yang tak bisa dimanipulasi oleh apa pun sehingga bebas menentukan pilihannya. Makanya, setiap suara adalah berharga.
Demikian pula di pileg. Selain ambang batas parlemen 4 persen, caleg terpilih juga ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Selisih satu suara saja bisa menentukan siapa yang akan melenggang ke parlemen. Bukan hanya itu, beda satu suara juga bisa menjadi bahan sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).
Titi menceritakan, di Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten (DPRK) Banda Aceh pada 2019, obyek perselisihan yang dipersoalkan di MK hanya berjumlah 4 suara. Sementara di pemilihan kepala daerah, katanya, selisih suara di Pilkada Kota Palembang hanya berjumlah 8 suara.
”Jangan anggap remeh dan kecil nilai atau harga suara seorang pemilih. Ternyata keberadaannya bisa sangat menentukan jadi atau tidak seseoarang duduk di kursi wakil rakyat atau jabatan yang sedang diperebutkan,” tutur Titi.
Wujud kedaulatan
Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, pemilu adalah wujud kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, penting bagi warga negara mengekspresikan kedaulatannya melalui cara memilih. Selain itu, pemilu juga bertujuan membentuk pemerintahan dalam hal ini relasi antara eksekutif dan legislatif. Maka, kehadiran dalam memilih berkontribusi terhadap pembentukan pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah.
Lebih jauh, penentuan orang-orang yang menduduki jabatan eksekutif dan legislatif ditentukan dari perolehan suara di pemilu. Dengan demikian, kehadiran seorang pemilih akan menentukan perolehan suaranya caleg. Terlebih, dalam sistem pemilu proporsional daftar terbuka, penentuan caleg terpilih juga diatur dari perolehan suara terbanyak.
Titi mengingatkan, pemilih masih bisa memanfaatkan sisa waktu di masa tenang untuk merenungkan kandidat yang akan dipilih. Hal yang pasti, jangan sia-siakan hak untuk menentukan pemimpin dan masa depan bangsa.