Kembalilah ke Demokrasi, Pak Tik dan Mas Ari...
Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan UGM menyampaikan surat terbuka kepada dua gurunya di pusat pemerintahan.
Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada menyampaikan pesan kepada dua gurunya yang kini berada di pusat kekuasaan: ”Kembalilah ke demokrasi”.
Pesan dalam format surat terbuka itu dibacakan perwakilan mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan, Rubiansyah. Pernyataan dibacakan di halaman Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Senin (12/2/2024) pagi.
Dia didampingi puluhan mahasiswa lain yang mengenakan seragam jaket berkelir biru tua. Hadir pula dalam kesempatan itu sejumlah dosen dan alumnus, termasuk Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan UGM Abdul Gaffar Karim.
Dalam pernyataan sepanjang 14 paragraf itu, mahasiswa membukanya dengan peruntukan surat itu, yakni ”Kepada: Pak Pratikno dan Mas Ari Dwipayana, guru-guru kami di Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM.”
Keduanya merupakan dosen DPP Fisipol UGM yang saat ini menduduki posisi di pusat pemerintahan. Pratikno adalah Menteri Sekretaris Negara, sedangkan Ari Dwipayana menjabat Koordinator Staf Khusus Presiden RI. Mahasiswa pun memanggil keduanya dengan sapaan akrab di kampus, yakni ”Pak Tik” dan ”Mas Ari”.
”Izinkan kami menuliskan surat ini untuk menyampaikan rasa cinta sekaligus kecewa,” ujar Rubiansyah saat membacakan pernyataan tersebut.
Baca juga: Memahami Kegelisahan di Balik Gelombang Seruan Para Akademisi
”Rasanya baru kemarin kami mendengar ceramah Pak Tik dan Mas Ari di kelas mengenai demokrasi. Kami diyakinkan bahwa demokrasi merupakan sebuah berkah yang harus kita jaga selalu keberlangsungannya,” lanjutnya.
Surat itu kemudian menjelaskan kenapa demokrasi di Indonesia patut disyukuri. Namun, setelah lebih dari 20 tahun Reformasi, demokrasi Indonesia justru mengalami kemunduran.
”Melihat situasi perpolitikan Indonesia saat ini, rasanya kami semakin resah, sama seperti Mas Ari yang khawatir dengan harga tinggi demokrasi atau seperti Pak Tik yang resah dengan otoritarianisme Orde Baru seperti disampaikan dalam beberapa tulisan di masa lalu,” lanjut surat itu.
Mahasiswa lalu memaparkan keresahannya, termasuk hingga di tengah perhelatan Pemilu 2024 kini. Bahkan, mahasiswa menyebutkan, mereka menyaksikan demokrasi sedang menuju ambang kematiannya.
Jalur itulah yang seharusnya diyakini dengan teguh oleh setiap akademisi saat mereka memberanikan diri naik ke panggung kekuasaan.
”Kita melihat bersama bahwa kekuasaan telah merusak pagar yang menjaga agar demokrasi tetap hidup dan terus dapat dirayakan. Jika pada akhirnya demokrasi kita, demokrasi milik rakyat Indonesia ini, mati, sejarah akan mengingat siapa saja pembunuhnya. Untuk itu, menjadi keharusan bagi seluruh pihak untuk menyadarkan kekuasaan atas perbuatannya,” ujar pernyataan itu.
Dalam konteks itu, mahasiswa menyatakan, intelektual dapat mengambil jalur alternatif yang oleh guru DPP UGM lainnya, yakni Cornelis Lay, disebut sebagai ”intelektual jalan ketiga”. Mereka adalah intelektual yang mampu dengan leluasa keluar-masuk kekuasaan tanpa perlu mengorbankan karakter akademisnya yang bebas, kritis, dan bijak.
”Jalur intelektual jalan ketiga ini bagi kami adalah jalur yang ideal bagi para akademisi yang memutuskan untuk mengambil peran dalam kekuasaan tanpa mengkhianati nilai-nilai prinsipal yang dipegang. Jalur itulah yang seharusnya diyakini dengan teguh oleh setiap akademisi saat mereka memberanikan diri naik ke panggung kekuasaan,” ungkap surat tersebut.
Meski begitu, mahasiswa menyadari, segala permasalahan terkait kemerosotan demokrasi adalah permasalahan sistemik yang disebabkan oleh banyak aktor. Hal ini pun dinilai bukan kesalahan Pratikno dan Ari Dwipayana semata.
”Namun, biar bagaimanapun kami menyadari, dua guru kami telah menjadi bagian dari persoalan bangsa. Untuk itu, izinkan kami mewakili Pak Tik dan Mas Ari menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas hal itu,” sebut pernyataan itu.
Baca juga: Kompas Moral Kaum Intelektual
Mahasiswa lantas kembali mengingat suara Pak Tik dan Mas Ari ketika menyebut kata ”demokrasi” di ruang-ruang kelas. ”Gema suara itulah, Pak Tik dan Mas Ari, yang membangunkan kami dari kematian kepedulian terhadap bangsa dan negara ini. Kami menjaga gema itu di sini, memastikan semua mendengarnya dan mengamini,” ujar Rubiansyah.
”Bagi kami, Pak Tik dan Mas Ari adalah guru, rekan, sahabat, kerabat, dan bapak. Hari ini kami berseru bersama: kembalilah pulang. Kembalilah membersamai yang tertinggal, yang tertindas, yang tersingkirkan. Kembalilah ke demokrasi dan kembalilah mengajarkannya kepada kami, dengan kata dan perbuatan,” tutup surat tersebut.
Seusai pembacaan surat, Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan UGM Abdul Gaffar Karim pun berbicara. Dia berterima kasih kepada mahasiswa yang telah menggagas acara ini.
”Saya kira yang disampaikan tadi adalah rasa rindu yang legitimate, rasa rindu yang absah, rasa rindunya orang-orang yang berhak merindukan,” ujar Gaffar.
Baca juga: "Roller Coaster" Demokrasi Indonesia
”Rasa rindu mahasiswa dan seluruh sivitas akademika kepada guru-gurunya, kepada rekan-rekannya, yang belakangan malah sering di-kuyo-kuyo (dijelek-jelekkan) dalam persoalan politik Indonesia, dianggap sebagai bagian yang berada di tengah inti pusaran permasalahan,” lanjut Gaffar lagi.
Menurut dia, ajakan mahasiswa tadi adalah ajakan yang sangat perlu didengar. ”Ajakan untuk pulang ke kampus itu adalah ajakan untuk kembali kepada martabat sebagai akademisi. Mudah-mudahan ajakan ini membawa hasil yang signifikan,” kata Gaffar.