TPN Ganjar-Mahfud Minta Fatwa Hak Pilih, Pimpinan MA Segera Rapat
Permohonan fatwa ke MA terkait pindah memilih dinilai upaya mencari terobosan, tetapi dianggap tidak tepat.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung akan segera membahas permohonan fatwa TPN Ganjar Pranowo-Mahfud MD terkait perlindungan hak pilih di rapat pimpinan, jika memang sudah ada surat permintaan yang masuk. Kesegeraan atau langkah cepat MA tersebut penting mengingat pemungutan suara tinggal kurang dari sepekan.
”Segera akan kami konsultasikan ke pimpinan MA terkait permohonan fatwa tersebut, termasuk memastikan adanya surat masuk terkait hal tersebut,” ujar Juru Bicara MA yang juga Ketua Kamar Pidana MA, Suharto, Jumat (9/2/2024), saat dikonfirmasi mengenai apakah penanganan permohonan fatwa itu akan diprioritaskan.
Sebelumnya, Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis, mengungkapkan, pihaknya meminta MA dapat mengeluarkan fatwa agar warga yang tidak termasuk dalam daftar pemiluh tetap (DPT) diizinkan mencoblos dengan menunjukkan dokumen kependudukan pada hari pemungutan suara, 14 Februari 2024. TPN Ganjar Mahfud mempersoalkan warga yang kemungkinan besar kehilangan hak pilih karena berada di luar domisili akibat pekerjaan atau lain hal dan tidak mengurus pindah memilih.
TPN Ganjar-Mahfud mempersoalkan ketentuan batas waktu 30 hari bagi warga untuk terdaftar dalam daftar pemilih tambahan (DPTb) serta 7 hari bagi warga sakit, tahanan, serta yang terkena bencana alam. Mereka menilai ada hak asasi manusia yang potensial terlanggar terutama bagi warga yang tidak mengurus permohonan pindah memilih.
Berkenaan dengan kewenangan MA, Suharto mengungkapkan, salah satu fungsi MA yang diatur di dalam Undang-Undang MA adalah memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga negara lain.
”Terkait adanya permohonan fatwa dari lembaga negara lain lazimnya oleh MA akan dibahas lebih dulu dalam Rapat Pimpinan MA RI untuk memberikan fatwa tersebut,” ujarnya.
Di satu sisi, tujuan dari fatwa itu dinilai sangat baik dan merupakan upaya mencari terobosan atas kebuntuan situasi akibat tidak dimungkinkannya pemilih yang terdaftar di DPT memilih di luar TPS terdaftar jika tidak sempat mengurus pindah memilih. Di sisi lain, pakar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai, substansi yang diajukan bukanlah materi dari fatwa MA. Pasalnya, sudah ada tafsir konstitusional melalui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 20/PUU-XVII/2019 atas persoalan tersebut.
Terkait adanya permohonan Fatwa dari lembaga negara lain lazimnya oleh MA akan dibahas lebih dulu dalam Rapat Pimpinan MA RI untuk memberikan fatwa tersebut.
Titi yang menjadi salah satu pemohon dalam perkara tersebut mengatakan, pihaknya dahulu sudah meminta agar pindah memilih bisa dilakukan hingga H-3 sebelum pemungutan suara. Namun, MK hanya mengabulkan sampai H-7.
”Itu pun hanya untuk kondisi bagi mereka yang bertugas di hari pemungutan suara, sakit, dan menjalani rawat inap, menjadi tahanan, atau tertimpa bencana alam,” ujarnya.
Ia menyadari bahwa persoalan tersebut menjadi dilema tersendiri mengingat ada kompleksitas teknis bagi pemilih yang pindah memilih yang berkaitan dengan tertib administrasi pemilihan dan berkaitan dengan ketersediaan surat suara dan akses pada surat suara apa yang mereka bisa peroleh. Sebab, pemilih yang pindah daerah pemilihan akan berpengaruh pada surat suara pemilu legislatif yang diterima.
”Ada baiknya TPN bisa mengajukan uji materi ke MK belajar dari perkara Refly Harun pada 2009 yang bisa diputus secara cepat,” kata Titi.
Jalan lain yang sebenarnya bisa ditempuh adalah melalui kewenangan Badan Pengawas Pemilu untuk memutus cepat penanganan pelanggaran administratif pemilu. Dengan catatan, bisa dibuktikan bahwa tidak terurusnya pindah memilih oleh pemilih tersebut dapat dibuktikan terjadi akibat kelalaian, ketidakprofesionalan, atau pelanggaran prosedur administrasi oleh KPU dan jajarannya.
Baca juga: Jika Terlambat Mengurus Pindah Memilih atau Tidak Terdaftar di DPT
Bawaslu, menurut Titi, dalam hal ini dapat membuat putusan berupa perintah untuk mengoreksi tata cara, prosedur, atau administrasi dalam rangka memulihkan hak pilih pemilih yang tercederai tersebut sehingga pada akhirnya pemilih tersebut bisa menggunakan haknya.
”Namun, kalau ternyata kegagalan pindah memilih tersebut akibat kelalaian pemilih, mestinya tidak diakomodasi begitu saja. Sebab, itu juga bisa disalahgunakan sebagai modus mobilisasi pemilih untuk pemenangan calon tertentu,” katanya.
Sulit dilaksanakan
Pengajar hukum tata negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan, mengatakan, permohonan fatwa TPN Ganjar-Mahfud tersebut sah-sah saja diajukan. Apalagi jika permohonan fatwa ke MA tersebut didasarkan pada data penunjang, misalnya jumlah warga yang berpotensi kehilangan suara pemilih.
Dimungkinkannya kelompok masyarakat meminta fatwa MA diatur di dalam Pasal 37 UU MA yang mengatur MA berwenang memberikan pertimbangan hukum baik diminta maupun tidak diminta kepada lembaga negara. Menurut Jimmy, apa yang dilakukan TPN bisa dilakukan dengan harapan MA menggunakan diskresinya untuk memberi pertimbangan hukum tanpa diminta oleh KPU.
Namun, Jimmy melihat permintaan itu sulit direalisasikan. Hal itu di antaranya disebabkan oleh status fatwa MA yang bukan keputusan atau produk hukum yang mengikat. Maka itu, kalaupun fatwa MA dikeluarkan, hal itu harus ditindaklanjuti dengan perubahan Peraturan KPU No 7/2023 tentang Penyusunan Daftar Pemilih dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Sistem Informasi Data Pemilih.
Sekalipun KPU mengikuti fatwa tersebut, menurut Jimmy, hal tersebut harus dilakukan sesuai dengan prosedur di dalam UU Pemilu yang memerlukan proses administrasi pemilih yang harus diikuti. Misalnya, mendaftarkan diri dalam DPTb kemudian harus melapor kepada PPS, PPK, ataupun KPU kabupaten/kota.