Presiden Kembali Tuntut Aparatur Negara Netral, Akademisi Tanyakan Bukti Nyata
Kalangan akademisi berharap seruan netralitas yang disampaikan Presiden Jokowi dibuktikan dengan langkah nyata.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo kembali menegaskan aparatur negara dan penyelenggara pemilu harus netral, tidak memihak kepada kekuatan politik tertentu, dalam Pemilu 2024. Namun, kalangan akademisi menuntut Presiden menunjukkan bukti nyata karena pesan tersebut disampaikan di tengah kekhawatirkan ketidaknetralan aparatur negara, baik ASN maupun penegak hukum.
”Saya ingin menegaskan kembali bahwa ASN, TNI, Polri, termasuk BIN (Badan Intelijen Negara) harus netral dan menjaga kedaulatan rakyat. KPU, Bawaslu, dan seluruh jajaran sampai di daerah juga harus profesional dan memastikan integritas pemilu supaya suara rakyat benar-benar berdaulat,” kata Presiden Jokowi dalam keterangan yang direkam Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden di Gerbang Tol Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara, Provinsi Sumatera Utara, Rabu (7/2/2024).
Presiden menambahkan, semua harus menjaga agar pemilu berlangsung damai, jujur, dan adil. Dengan demikian, hasil pemilu akan dihargai dan masyarakat Indonesia segera kembali bersatu padu untuk membangun Indonesia.
Presiden juga mengatakan tidak akan berkampanye kendati aturan perundangan membolehkannya. ”Jika pertanyaannya apakah saya akan kampanye? Saya jawab tidak. Saya tidak akan berkampanye,” ujarnya.
Baca juga: Petisi Cirebon Mendesak Jokowi Netral dan Tidak Politisasi Bansos Jelang Pemilu
Presiden juga mengimbau semua pemilih untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS). ”Saya mengimbau, saya mengajak kepada seluruh masyarakat agar menggunakan hak pilihnya, datang ke TPS memberikan suara sesuai dengan pilihannya,” tuturnya.
Perlu bukti nyata
Pengajar STH Indonesia Jentera, Fajri Nursyamsi, mengatakan, pernyataan Presiden yang meminta ASN dan aparat penegak hukum netral sebaiknya dibuktikan dengan perbuatan. ”Presiden harus menyadari bahwa posisinya saat ini rentan konflik kepentingan ketika anak dan partainya berkontestasi dalam pemilu, ditambah ada menterinya yang juga menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden,” tuturnya.
Dalam situasi itu, lanjut Fajri, Presiden harus memperhitungkan agar tindakan dan kebijakannya tidak menguntungkan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). ”Baik pasangan calon yang didukung partainya, anaknya yang menjadi cawapres, atau menterinya yang menjadi capres,” katanya.
Saya ingin menegaskan kembali bahwa ASN, TNI, Polri, termasuk BIN (Badan Intelijen Negara) harus netral dan menjaga kedaulatan rakyat.
Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, adalah putra Presiden Jokowi. Ia berpasangan dengan capres Prabowo Subianto yang kini masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Presiden Jokowi berkali-kali menyerukan agar aparatur negara bersikap netral dalam pemilu. Sebab, regulasi menuntut aparatur negara, baik ASN, TNI, maupun Polri, tidak memihak kekuatan politik mana pun.
Namun, sebaliknya, Presiden Jokowi menyatakan bahwa, sesuai undang-undang, ia boleh memihak. Bukan hanya itu, ia juga diperbolehkan untuk berkampanye.
Pernyataan itulah yang dinilai sejumlah pihak semakin menguatkan indikasi adanya penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan kelompok politik serta pasangan calon tertentu. Selain itu, juga memperkuat indikasi mobilisasi aparatur negara untuk memenangkan calon tertentu.
Baca juga: Memahami Gelombang Aksi Para Akademisi
Indikasi kecurangan dalam pemilu memicu kritik dari berbagai elemen masyarakat. Kalangan akademisi, misalnya, membuat seruan moral untuk mengingatkan Presiden Jokowi serta jajarannya agar kembali pada nilai-nilai demokrasi, konstitusi, serta memastikan pemilu berlangsung dengan langsung umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil.
Seruan dimulai dari Petisi Bulaksumur yang disampaikan para akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Rabu (31/1/2024). Gelombang seruan moral ini masih terus bermunculan sampai Rabu (7/2/2024), salah satunya dari STH Jentera.
Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Presiden, lanjutnya, juga harus akuntabel. Selain itu, komunikasi kepada publik menjadi penting untuk mencegah adanya konflik kepentingan.
Dicontohkan, kebijakan Presiden membagikan langsung bansos itu tidak pernah dijelaskan alasannya. ”Apakah sistem yang selama ini berjalan sedang tidak dapat dilaksanakan, atau bansos kali ini beda dengan sebelumnya. Penjelasan ini menjadi penting untuk transparansi dan akuntabilitas,” tutur Fajri yang juga Deputi Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
Baca juga: Jelang Pemilu 2024, ASN Kian Nekat Langgar Netralitas
Untuk menunjukkan tindakan adil, menurut Fajri, Presiden Jokowi seharusnya cuti untuk berkampanye. Dia bisa menunjukkan secara jelas kepada publik dan tidak berlindung pada dalih kunjungan kerja.
”Dengan cuti dan berkampanye, Presiden dapat menunjukkan ke publik apa bedanya ketika dirinya kampanye dan bertugas sebagai Presiden. Tidak kemudian seperti saat ini berlindung di ruang abu abu,” tutur Fajri.
Dalam kunjungan kerja ke Medan dan Deli Serdang, Sumatera Utara, yang dimulai pada Selasa (6/2/2024) sore, Presiden Jokowi juga berinteraksi dengan nasabah Program Mekaar PT Permodalan Nasional Madani (PNM) dan bertemu dengan penerima Kartu Indonesia Sehat.