logo Kompas.id
Politik & HukumBertemu Tokoh Bangsa dan...
Iklan

Bertemu Tokoh Bangsa dan Pemuka Agama, Jusuf Kalla Singgung Etika Politik

Dinamika politik serta upaya mendorong pemilu bersih menjadi pokok bahasan dalam pertemuan dengan Jusuf Kalla.

Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
· 3 menit baca
Suasana saat Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla menggelar pertemuan dengan para tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di rumahnya, di Jalan Brawijaya Raya, Jakarta, Rabu (7/2/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Suasana saat Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla menggelar pertemuan dengan para tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di rumahnya, di Jalan Brawijaya Raya, Jakarta, Rabu (7/2/2024).

JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla bertemu dengan sejumlah tokoh bangsa dan pemuka agama yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa atau GNB. Pertemuan itu membahas dinamika politik, mendorong pemilu bersih, serta kampanye terselubung yang mengabaikan etika.

Diskusi berlangsung di kediaman Jusuf Kalla (JK) di Jalan Brawijaya Raya Nomor 6, Jakarta Selatan, Rabu (7/2/2024). Salah satu tokoh GNB yang hadir adalah istri mendiang Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Sinta Nuriyah, beserta putrinya, Alissa Wahid.

Selain itu, hadir pula istri mendiang cendekiawan muslim Nurcholish Madjid alias Cak Nur, Omi Komariah Madjid; Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Gomar Gultom, Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat, dan Makarim Wibisono.

Menurut Kalla, GNB hadir untuk merespons pertanyaan dan kekhawatiran karena nurani penguasa tengah terdegradasi. Ia mengibaratkan nurani penguasa sedang sakit dan membutuhkan dorongan untuk kembali pulih.

Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 yang juga negarawan Jusuf Kalla memberikan keterangan kepada jurnalis seusai bertemu dengan para tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di rumahnya di Jalan Brawijaya Raya, Jakarta, Rabu (7/2/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 yang juga negarawan Jusuf Kalla memberikan keterangan kepada jurnalis seusai bertemu dengan para tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di rumahnya di Jalan Brawijaya Raya, Jakarta, Rabu (7/2/2024).

Saat ditanya soal potensi kampanye terselubung yang dilakukan Presiden Joko Widodo, Kalla hanya mengingatkan agar tidak melakukannya. Sebab, kampanye hanya dilakukan oleh kandidat beserta tim pemenangannya.

”Kalau tidak terdaftar, namanya kampanye terselubung. Kalau saya (Kalla) menyatakan dukung, tapi tidak kampanye,” ujarnya.

Baca juga: Urgensi Menjaga Etika Politik dan Demokrasi di Pemilu 2024

Sementara Jokowi, kata Kalla, bisa saja tidak berkampanye, tetapi berpihak kepada calon tertentu. Meski tidak disebutkan, putra Presiden, Gibran Rakabuming Raka, kini menjadi cawapres nomor urut 2 bersama capres Prabowo Subianto.

Atas hal tersebut, Kalla menekankan agar Jokowi memegang teguh etikanya sebagai pemimpin tertinggi negara. Apabila Presiden berkampanye, ia melanggar sumpahnya untuk bersikap adil bagi semua kalangan.

Iklan

”Jadi, (pelanggaran) etika hukumannya bukan penjara, tapi hukumannya malu. Kalau seseorang (Presiden) melanggar etika, artinya dia memalukan dirinya sendiri,” ujarnya menambahkan.

Presiden Joko Widodo meresmikan ruas tol Tebing Tinggi-Indrapura-Lima Puluh sepanjang 43,6 kilometer yang membentang dari Kota Tebing Tinggi hingga Kabupaten Batu Bara, di Gerbang Tol Lima Puluh, Batu Bara, Sumatera Utara, Rabu (7/2/2024).
KOMPAS/NIKSON SINAGA

Presiden Joko Widodo meresmikan ruas tol Tebing Tinggi-Indrapura-Lima Puluh sepanjang 43,6 kilometer yang membentang dari Kota Tebing Tinggi hingga Kabupaten Batu Bara, di Gerbang Tol Lima Puluh, Batu Bara, Sumatera Utara, Rabu (7/2/2024).

Komaruddin Hidayat mengatakan, terlepas dari berbagai kecurangan dan tekanan, pemilu bersih wajib diwujudkan karena itu modal pembangunan bangsa ke depan. Fokus pertemuan GNB adalah membahas tata cara mewujudkannya.

Dalam konteks tersebut, hal yang dilakukan adalah menyelamatkan nurani masyarakat dalam memilih. ”Jangan sampai dicurangi, dicuri. Kami membela nurani pemilih. Agar menghasilkan pemenang yang memang berkualitas, bermartabat, dan bernurani,” katanya.

Krisis demokrasi

Pertemuan GNB dan Kalla juga berlangsung di tengah rentetan kritik terhadap penguasa oleh para akademisi kampus. Mereka meminta agar demokrasi dikembalikan lagi sesuai jalur dan menuntut etika politik dijunjung tinggi.

Terlepas dari berbagai kecurangan dan tekanan, pemilu bersih wajib diwujudkan karena itu modal pembangunan bangsa ke depan.

Kali ini, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga mengungkapkan sikap yang sama. Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Demokrasi di Ujung Tanduk” yang diselenggarakan secara hibrida di Jakarta, Rabu.

Peneliti BRIN, Dewi Fortuna Anwar, menyampaikan, demokrasi memasuki fase tidak baik-baik saja. Secara perlahan, kualitas demokrasi Indonesia terus menurun sejak 2015, setelah Pemilu 2014. Hal itu ditunjukkan dari mudahnya undang-undang yang berpihak ke pengusaha dan penguasa lolos ketimbang aturan yang diajukan masyarakat.

”Itu menunjukkan partisipasi publik semakin sempit. Namun, segala yang buruk itu, posisi Indonesia masih terselamatkan sampai beberapa bulan ini. Sebab, civil society Indonesia masih bergerak dan sistem pemilu yang baik,” tuturnya.

Baca juga: Habis Seruan dan Kritik Tajam Kampus, Terbitlah Video Apresiasi Rektor...

Salah satu poster yang dibawa mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Jakarta ketika melakukan aksi <i>long march</i> menuju Istana Negara dari Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Rabu (7/2/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Salah satu poster yang dibawa mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Jakarta ketika melakukan aksi long march menuju Istana Negara dari Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Rabu (7/2/2024).

Namun, sejak Mahkamah Konstitusi dinilai cacat etika, proses demokrasi menjadi terganggu. Terlebih, hal itu diikuti dengan mobilisasi aparatur sipil negara (ASN), TNI, Polri, hingga politisasi sejumlah proyek. Selain itu, nuansa intimidasi kian membuat demokrasi Indonesia kembali mirip seperti Orde Baru.

Apabila pemilu berlangsung di tengah kecurangan dan ketidaknetralan penyelenggaranya, demokrasi telah ternodai. Lebih jauh, otoritas moral hingga peringkat demokrasi Indonesia akan terus menurun.

Editor:
ANITA YOSSIHARA
Bagikan