Seruan Pemuka Agama Ajak Politik Nurani untuk Tentukan Pemimpin Negarawan
Lembaga keagamaan akan terus menyerukan pentingnya moralitas dalam berbangsa dan bernegara.
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang pemungutan suara Pemilu 2024 yang kurang sembilan hari lagi, sejumlah tokoh dan pemimpin lembaga keagamaan mengingatkan semua pihak untuk menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia, serta mengedepankan dan mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan, ataupun kepentingan partai politik. Pemilih diminta menggunakan suara hati dan kecerdasan serta mengabaikan segala rayuan dan tekanan dalam menentukan pilihan di bilik suara nanti.
Hal tersebut disampaikan delapan pemuka agama yang tergabung dalam Forum Peduli Indonesia Damai di Grha Oikoumene, Jakarta, Senin (5/2/2024). Mereka adalah Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Marsudi Syuhud, Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom, dan Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Philip K Widjaja.
Hadir pula Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Dewan Majelis Tinggi Khonghucu Indonesia (Matakin) Budi S Tanuwibowo, Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Engkus Ruswana, serta Sri Eko Sriyanto Galgendu dari kepemimpinan Spiritual Nusantara.
Baca juga: STFT Jakarta Minta Jaminan Pemilu 2024 Berlangsung “Jurdil”
Menurut Ignatius Kardinal Suharyo, pemilu merupakan ajang demokrasi lima tahunan untuk memilih pemimpin nasional. Ini menjadi momentum penting bagi masa depan bangsa dan negara. Maka, siapa pun yang terpilih dalam ajang lima tahunan itu harus dihormati dan tetap menjunjung tinggi persatuan di atas perbedaan pilihan.
”Untuk itu, mari gunakan hak pilih kita dengan cara mendengarkan suara hati kita. Mungkin kita akan mendapat bisikan atau rayuan, tetapi tetap pada suara hati nurani sendiri saat berada di dalam bilik suara,” ucap Suharyo.
Untuk itu, mari gunakan hak pilih kita dengan cara mendengarkan suara hati kita. Mungkin kita akan mendapat bisikan atau rayuan, tetapi tetap pada suara hati nurani sendiri saat berada di dalam bilik suara.
Suharyo menekankan, peran lembaga keagamaan dalam menghadapi situasi politik yang kian memanas menjelang hari pencoblosan, 14 Februari 2024, sangat diperlukan. Ia mengibaratkan Indonesia seperti bangunan rumah yang indah. Namun, tanpa etika dan moral sebagai tiangnya, Indonesia sebagai rumah akan rentan rapuh dan hancur. Lembaga keagamaan akan terus menyerukan pentingnya moralitas dalam berbangsa dan bernegara.
Indonesia seperti bangunan rumah yang indah. Namun, tanpa etika dan moral sebagai tiangnya, maka Indonesia sebagai rumah akan rentan rapuh dan hancur.
Selain itu, Pemilu 2024 perlu diwujudkan dengan menjunjung tinggi etika dan moral. Pemilu yang hanya berlangsung lima tahun sekali jangan sampai mengakibatkan perpecahan di masyarakat. Semua pemangku kepentingan pemilu juga diharapkan menciptakan pemilu yang bermartabat sehingga bisa melahirkan sosok negarawan.
Pengalaman panjang
Marsudi Syuhud menekankan, Indonesia sudah memiliki pengalaman panjang dalam melaksanakan pemilu langsung sehingga pelaksanaan Pemilu 2024 semestinya semakin baik. Pelaksanaan pemilu bukan hanya harus sesuai prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, melainkan juga harus bermartabat, beretika, dan menjaga marwah dan nilai keindonesiaan.
Ini peran tokoh agama mengingatkan. Kita ingin berdiri di tengah umat dan menyadarkan umat kita agar waras dan sadar bertindak pada hati nurani.
Dalam pertemuan itu, delapan pemuka agama di Indonesia menyerukan enam poin untuk melahirkan pemimpin yang terbaik dan dapat dipercaya. Mulai dari menggunakan hak pilih secara bertanggung jawab, ikuti suara hati nurani serta abaikan bujukan dan intimidasi, aktif mengawasi pemilu, pilih yang bermartabat, menjunjung tinggi persatuan bangsa, serta tidak memusuhi mereka yang berbeda pilihan.
Budi S Tanuwibowo turut menyampaikan pentingnya pemimpin mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan yang lain. Menurut Budi, pemimpin sering kali lupa akan hal tersebut karena memperoleh manisnya kekuasaan. ”Ini peran tokoh agama mengingatkan. Kita ingin berdiri di tengah umat dan menyadarkan umat kita agar waras dan sadar bertindak pada hati nurani,” katanya.
Pemilu damai
Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) juga mengingatkan semua partai politik dan pasangan calon presiden-wakil presiden bahwa mereka wajib menjaga prinsip persatuan dan kesatuan bangsa dalam kontestasi politik. Mereka juga meminta semua pihak untuk menghindari segala bentuk praktik politik yang destruktif, penuh fitnah, dan kecurangan.
Mereka juga meminta kepada penyelenggara pemilu dan penyelenggara negara untuk tetap menjaga prinsip netralitas dan akuntabilitas. KPU, Bawaslu, aparatur sipil negara, TNI, Polri, lembaga kepresidenan, dan lembaga negara lainnya sangat penting dalam menjaga netralitas sebab akan menentukan kualitas pemilu.
ICMI berkeyakinan proses berpolitik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerakyatan dan persaudaraan akan meningkatkan kualitas, integritas, dan kedewasaan berdemokrasi bangsa. Dengan demikian, proses demokrasi dapat memberikan hasil yang mampu menjamin legitimasi hukum dan politik bagi yang terpilih nanti.
Berawal dari putusan MK
Gelombang seruan moral mengenai kondisi demokrasi terkini dari para akademisi belum berhenti. Pada Senin (5/2/2024), seruan itu disampaikan kalangan sivitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Mengambil tempat di depan Gedung Rektorat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, alumni dan sivitas akademika UIN Jakarta menyampaikan ”Seruan Ciputat”. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Saiful Mujani menyampaikan kondisi demokrasi tengah menurun yang ditandai dengan hasil putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90. Putusan tersebut meloloskan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, maju menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Baca juga: Memahami Kegelisahan di Balik Gelombang Seruan Para Akademisi
Pihaknya juga mencermati aktivitas Presiden Jokowi yang akhir-akhir ini seperti lebih condong untuk mengutamakan kepentingan elektoral salah satu pasangan calon. Hal tersebut bukanlah sikap seorang presiden sebagai negarawan. Seharusnya presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan wajib bersikap netral dan memfasilitasi seluruh aktivitas pemilu berdasarkan prinsip keadilan.
”Presiden sebagai kepala negara berkewajiban untuk menjaga dan menjadi contoh bagaimana keadaban atau akhlak berdemokrasi itu menjadi laku kehidupan bernegara,” ujar Saiful Mujani yang didampingi para dosen, guru besar, dan mahasiswa.
Sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Jakarta menemukan krisis etika, hukum, merosotnya demokrasi, dan darurat kenegarawanan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang yang demokratis justru ditemukan praktik-praktik yang tidak netral.
Mereka mendesak penyelenggara negara harus bersikap adil dan netral sebagaimana mestinya. Penyelenggara negara harus menjalankan tugasnya, yakni menjaga nilai-nilai netralitas yang melekat kepadanya dan keberpihakan dalam melaksanakan tugas itu tidak tepat dijalankan.