logo Kompas.id
Politik & HukumPerempuan Mengalami...
Iklan

Perempuan Mengalami Diskriminasi Regulasi hingga Beban Domestik

Perjuangan perempuan untuk duduk di DPR masih menjadi tantangan. Kebijakan afirmasi amat dibutuhkan.

Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
· 3 menit baca
Titi Angraini, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menjadi pembicara pada Media Talk Pilih Perempuan dalam Pemilu, Aksi Afirmatif Wujudkan Kesetaraan Gender” yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Senin (22/1/2024), di kantor Kementerian PPPA.
SONYA HELLEN SINOMBOR

Titi Angraini, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menjadi pembicara pada Media Talk Pilih Perempuan dalam Pemilu, Aksi Afirmatif Wujudkan Kesetaraan Gender” yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Senin (22/1/2024), di kantor Kementerian PPPA.

JAKARTA, KOMPAS — Keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen masih menjadi tantangan. Meski ada tren peningkatan angka pencalonan perempuan sejak Pemilihan Umum 2009 hingga Pemilu 2019, angka perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif hanya 20,5 persen, jauh di bawah angka 30 persen.

Rendahnya keterwakilan perempuan disebabkan sejumlah faktor, antara lain diskriminasi dan inkonsistensi regulasi. Sebagai contoh, ada kebijakan Komisi Pemilihan Umum melalui Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang melemahkan eksistensi perempuan politik.

”Ini menjadi musim gugur komitmen negara atas keterwakilan perempuan,” ujar Titi Angraini, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pada Media Talk ”Pilih Perempuan dalam Pemilu, Aksi Afirmatif Wujudkan Kesetaraan Gender”, Senin (22/1/2024), di Jakarta.

Selain regulasi, Titi menegaskan, faktor sosial dan kultural masyarakat juga masih kuat mendiskriminasi perempuan. Stigma, stereotipe, marjinalisasi, beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuan masih terjadi.

Baca juga: Perempuan Semakin Tertatih Menuju Parlemen

Berbeda dengan laki-laki yang menjadi calon legislatif, perempuan calon legislatif (caleg) membawa beban domestik. Perempuan yang memiliki anak kecil berada pada posisi dilematis karena harus membawa anaknya saat ikut kegiatan, sementara undang-undang melarang anak ikut kampanye atau pertemuan.

”Beban domestik mengikuti ke mana pun perempuan pergi. Pada malam hari, perempuan harus pulang, mengurus rumah tangga, sementara laki-laki tidak. Masih ada anggapan kepemimpinan lebih pantas diberikan kepada calon legislatif laki-laki,” papar Titi yang juga dosen pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sementara di lapangan, saat memutuskan menjadi caleg, perempuan harus berhadapan dengan politik biaya tinggi sebagai konsekuensi sistem pemilu Indonesia yang rumit, kompleks, dan mahal. Hal ini menghambat kiprah politik perempuan.

Sejumlah perempuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengikuti rapat paripurna di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/9/2012). Jumlah politisi perempuan di DPR saat ini mencapai 18 persen dari total anggota DPR yang mencapai 560 orang.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Sejumlah perempuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengikuti rapat paripurna di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/9/2012). Jumlah politisi perempuan di DPR saat ini mencapai 18 persen dari total anggota DPR yang mencapai 560 orang.

Iklan

Ekosistem kompetisi belum sehat

Politik transaksional di pemilu, seperti dugaan jual beli nomor urut, jual beli suara, dan praktik suap dalam penghitungan suara, menjadikan perempuan makin tersisih dalam politik. Sistem politik dan sistem pemilu belum menghadirkan ekosistem kompetisi yang bersih dan sehat.

Politik afirmasi keterwakilan perempuan dianggap sebagai beban oleh partai politik. Hal ini mengakibatkan tidak terjadi kaderisasi, pendidikan, dan penguatan kapasitas politik berkesinambungan. Tiba masa pemilu, tiba aksi ”dadakan” afirmasi.

Masih ada anggapan kepemimpinan lebih pantas diberikan kepada calon legislatif laki-laki.

Di sisi lain, keterwakilan perempuan belum menjadi kebijakan yang terinternalisasi dalam kelembagaan partai politik sebagai aktivitas bersifat terus-menerus atau berkelanjutan. Paradigma partai jauh dari politik dan demokrasi inklusif (no one left behind).

Karena itu, menurut Titi, kebijakan afirmasi yang mendorong angka 30 keterwakilan perempuan di parlemen harus dilakukan. Kebijakan afirmasi merupakan upaya menghadirkan kemurnian suara rakyat melalui keadilan dan kesetaraan politik laki-laki dan perempuan.

Terkait hal itu, masyarakat diimbau agar menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2024. Apabila masih bimbang mau memilih caleg yang mana, sangat dianjurkan memilih perempuan caleg atau penyandang disabilitas yang menjadi caleg dari partai politik yang secara ideologi paling dekat dengan pemilih.

”Dengan memilih caleg perempuan, kita semua telah ikut menegakkan agenda konstitusi dan demokrasi melalui hak pilih di pemilu,” ujar Titi.

https://cdn-assetd.kompas.id/kQdRqM55yW2vU5SpoPLUgWJ2cqM=/1024x1625/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F20%2F8c7112d4-4c61-4930-a5e6-3b5ffd25251c_jpg.jpg

Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Politik dan Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Iip Ilham Firman menegaskan, kampanye keterwakilan perempuan perlu digaungkan kepada masyarakat. Tujuannya, agar warga memberi suaranya kepada perempuan yang dikenal dan mampu membawa aspirasi perempuan.

”Dengan sisa waktu yang ada, sekitar 20 hari lagi pemilu, Kementerian PPPA melakukan upaya masif berkampanye masif mendukung keterwakilan perempuan di parlemen,” tutur Iip.

Baca juga: Perempuan Jadi Pemimpin, Wapres Bilang Tergantung Partai dan Perempuan Itu Sendiri

Untuk mendorong masyarakat memilih perempuan, pada Selasa (23/1/2024) Kementerian PPPA akan meluncurkan video kampanye digital #2024 Dukung Keterwakilan Perempuan di Parlemen. Video tersebut akan disebarluaskan ke berbagai daerah.

Harapannya, dalam waktu terbatas, pemilih diingatkan untuk menentukan pilihannya pada caleg perempuan. Dengan demikian, bisa meningkatkan partisipasi perempuan dan akhirnya meningkatkan keterwakilan perempuan. Setidaknya sesuai target sekitar 22 persen.

Editor:
EVY RACHMAWATI
Bagikan