logo Kompas.id
Politik & HukumAncaman Pemilu 2024, Konflik...
Iklan

Ancaman Pemilu 2024, Konflik Politik Bisa Dimanfaatkan Teroris

Kelompok teroris telah beberapa kali memanfaatkan situasi kontestasi politik untuk kepentingan mereka.

Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
· 4 menit baca
Personel Brimob berjaga saat berlangsung penggeledahan kediaman terduga teroris berinisial ATM di Jalan Tanah Merah II, Tanah Kali Kedinding, Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur, Senin (19/6/2017).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Personel Brimob berjaga saat berlangsung penggeledahan kediaman terduga teroris berinisial ATM di Jalan Tanah Merah II, Tanah Kali Kedinding, Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur, Senin (19/6/2017).

JAKARTA, KOMPAS — Pemilu 2024 tidak lepas dari ancaman terorisme. Persaingan para pihak yang berkontestasi dalam Pemilu 2024 dapat dimanfaatkan jaringan atau kelompok teroris untuk menjalankan agendanya.

Hal itu terungkap dalam seminar daring bertajuk ”Perspektif Keamanan: Menjelang Pemilu 2024”, Selasa (16/1/2024), yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Centinel dan Serve Indonesia.

Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT Ibnu Suhaendra menyampaikan, hingga saat ini, organisasi teroris global, seperti Al Qaeda dan ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS), masih berpengaruh. Hal itu ditunjukkan dengan masih adanya serangan teror yang terjadi di Timur Tengah dan beberapa negara di Afrika.

Di dalam negeri, Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) juga masih aktif. JAD hingga saat ini masih menyebarkan propaganda di ruang siber, sedangkan JI mempertahankan eksistensinya melalui kegiatan kemasyarakatan serta pengumpulan dana baik secara daring maupun luring.

https://cdn-assetd.kompas.id/BOK5xH2oDDs3XRzaA5I29BNs4Vw=/1024x881/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F23%2F6a2863da-e704-41ea-b9cb-42353c32d9c7_jpeg.jpg

Pasukan Unit Penjinak Bom Polda Jawa Barat membawa barang bukti yang disita dari rumah terduga teroris U alias Said di kompleks Bojong Malaka Indah, Kabupaten Bandung, Selasa (12/1/2016).

Terkait politik, menurut Ibnu, kelompok teroris terindikasi mengubah strateginya dengan masuk ke kancah politik melalui partai politik agar dapat memberikan pengaruh dalam legislatif di Indonesia. Salah satu contohnya Farid Ahmad Okbah, Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) yang merupakan salah satu tokoh JI.

Demikian pula Pemilu 2024 tidak lepas dari ancaman terorisme. Indikasi itu terlihat saat pada Oktober 2023, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap puluhan orang dari kelompok Abu Omar yang berencana melakukan serangan untuk mengganggu Pemilu 2024.

”Kelompok ini berencana melakukan serangan kota. Sasarannya adalah berbagai markas polisi di berbagai wilayah Jakarta,” kata Ibnu.

Kepala Satuan Tugas Wilayah DKI Jakarta Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri Komisaris Besar Dhany Arie Fianto mengatakan, Abu Omar telah keluar dari penjara pada 2022. Menurut dia, Abu mengelabui aparat dengan mengonsolidasikan pengikutnya yang tersebar di sejumlah daerah.

Baca juga: 142 Orang Ditangkap Tahun Ini, Jamaah Islamiyah Dinilai Masih Berbahaya

Sejumlan senjata api dan amunisi yang ditemukan di rumah DE di Harapan Jaya, Kota Bekasi, Jabar, Senin (14/8/2023) pagi.
ISTIMEWA

Sejumlan senjata api dan amunisi yang ditemukan di rumah DE di Harapan Jaya, Kota Bekasi, Jabar, Senin (14/8/2023) pagi.

Di berbagai tempat itu, Abu Omar membentuk halaqoh atau kelompok-kelompok kecil yang digunakan sebagai tempat untuk memperdalam pemahaman sekaligus menyeleksi pengikutnya yang setia dan mau melakukan apa saja. Bagi Abu, dia tidak memerlukan pengikut dalam jumlah besar, tetapi tim kecil untuk menjalankan rencananya.

Iklan

”Ada tim survei untuk perencanaan. Itu sudah dijalankan. Ada (kelompok) yang mau menyerang KPU (Komisi Pemilihan Umum), ada yang mau menyerang kantor polisi. Ada yang siap dengan senjata, ada yang mau bom bunuh diri,” tutur Dhany.

Meski demikian, target sesungguhnya dari aksi teror yang akan dilakukan hanya diketahui Abu Omar dan selalu diputuskan mendadak atau beberapa hari sebelum aksi. Hal itu untuk menghindari pantauan aparat keamanan.

Salah satu aksi teror Abu Omar adalah pelemparan bom terhadap Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo di Makassar pada 2012. Peristiwa itu memperlihatkan bahwa target yang disasar kelompok Abu Omar adalah politisi. ”Apa potensi konflik terbesar, dalam kacamata terorisme, yang kelompok teror bisa lakukan? Yaitu membunuh terhadap salah satu capres/cawapres. Itu yang paling bisa memobilisasi para pendukungnya untuk marah,” kata Dhany.

Baca juga: Menyoal Pernyataan Kapolri soal Estafet Kepemimpinan, antara Sensitif dan ”Baper”

Tiga pasangan capres-cawapres foto bersama dengan Ketua KPU Hasyim Asy'ari (ketiga dari kiri) seusai rapat pleno terbuka pengundian dan penetapan nomor urut untuk Pemilihan Presiden 2024, di kantor KPU, Jakarta, Selasa (14/11/2023).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Tiga pasangan capres-cawapres foto bersama dengan Ketua KPU Hasyim Asy'ari (ketiga dari kiri) seusai rapat pleno terbuka pengundian dan penetapan nomor urut untuk Pemilihan Presiden 2024, di kantor KPU, Jakarta, Selasa (14/11/2023).

Manfaatkan konflik politik

Dhany kembali menekankan adanya simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan antara penggunaan kekerasan dengan kepentingan politik praktis. Situasi konflik dalam politik rupanya dapat dimanfaatkan oleh jaringan teroris untuk kepentingan mereka.

Baca juga: Ditangkap di Riau, Tersangka Teroris Berencana Kacaukan Pemilu

Selain kejadian pelemparan bom terhadap Syahrul Yasin Limpo di tengah bergulirnya Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan 2013, contoh lainnya, peletakan tiga bom di tiga lokasi saat debat Pemilihan Presiden 2019.

Untuk mengamankan Pemilu 2024 dari ancaman teror, kata Dhany, Densus 88 Antiteror Polri sejak dua tahun yang lalu telah memantau jaringan teroris beserta dinamika tahapan pemilu dan politik yang terjadi di dalam negeri. Hal itu mesti dilakukan karena dinamika politik dapat memengaruhi jaringan teroris untuk menjalankan aksinya.

Kerawanan dalam tahapan pemilu akibat ancaman teror berpotensi terjadi pada saat kampanye dan pada saat pemungutan suara. Kerawanan juga terjadi pada saat sidang sengketa pemilu dan ketika terjadi unjuk rasa. Sebab, terdapat indikasi adanya kelompok teroris yang menyiapkan kelompok untuk menunggangi demo yang berlangsung anarkistis. ”Lalu (kami) juga menyikapi potensi keterikatan antara pelaku politik praktis dengan kelompok teror. Namun, kami harus hati-hati di sini karena bisa saja kami disebut itu hanya interpretasi,” ujarnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/0LMRqVfjqgTZWClJHSH06mmAWsM=/1024x620/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F29%2Fbf845d47-d856-4faa-9ffc-990719fb8825_jpg.jpg

Barisan saat Kirab Bendera Partai Politik yang mengisi acara Deklarasi Kampanye Pemilu Damai Tahun 2024 di halaman kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Senin (27/11/2023).

Meski sepanjang 2023 tidak terjadi aksi teror, menurut Dhany, ancaman teror pada Pemilu 2024 tetap ada. Untuk itu, Dhany berharap agar politisi turut meminimalkan terjadinya konflik di masyarakat, termasuk tidak menggerakkan massa pendukung untuk dibenturkan dengan pendukung lainnya. Masyarakat pun diharapkan mengawal proses Pemilu 2024 untuk meminimalkan potensi terjadinya ketidakadilan dalam pelaksanaan pemilu.

Dalam seminar tersebut, kandidat doktor dari Australian National University, Nava Nuraniyah, menyampaikan peran organisasi Islamis terhadap pemilu serta kekerasan yang dilakukan pendukung kelompok Islamis yang dinilai tidak lagi segencar pada Pemilu 2019.

Menurut Nava, Pemilu 2019 merupakan puncak pengaruh kelompok Islamis terhadap pemilu sejak Pemilu 1955 dengan terjadinya pembelahan identitas yang masif. Namun, menjelang Pemilu 2024, tokoh-tokoh kelompok Islamis berhati-hati dan cenderung tenang dalam menyatakan dukungannya kepada sosok calon presiden tertentu. Sejalan dengan itu, politik identitas juga dinilai jauh berkurang.

”Jadi,ancaman keamanan tidak terlalu besar dan isu polarisasi moderat,” kata Nava.

Editor:
ANTONIUS PONCO ANGGORO
Bagikan