logo Kompas.id
β€Ί
Politik & Hukumβ€ΊGratifikasi Runtuhkan Keadilan...
Iklan

Gratifikasi Runtuhkan Keadilan dalam Pelayanan Publik

Jika merujuk pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi tidak hanya berupa uang, tetapi juga diskon, voucer, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, hingga pengobatan cuma-cuma.

Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/rSk-1dOmoBdVuWcXeGQxoRWhMeY=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2Fe7ecc156-0423-4d44-beeb-42e343a87111_jpg.jpg
Kompas/Heru Sri Kumoro

Berkas barang bukti yang dibawa jaksa penuntut umum saat persidangan terdakwa Pinangki Sirna Malasari dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (6/1/2021). Pinangki merupakan terdakwa kasus dugaan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung untuk Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra saat menjadi buron kasus pengalihan piutang (cessie) Bank Bali.

Pemberian hadiah dalam bentuk apa pun kepada pejabat publik tidak dapat dibenarkan. Selain rentan terjebak pada praktik korupsi, pejabat tersebut juga diyakini tidak akan adil dalam memberikan pelayanan publik.

Pada pertengahan Juni 2009, jaksa dan pegawai di lingkungan Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang, Banten, dikabarkan mendapat pelayanan kesehatan gratis dari Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang. Padahal, di waktu yang sama, Kejari Tangerang tengah menangani kasus Prita Mulyasari, yang dianggap mencemarkan nama baik RS Omni Internasional sehingga diadukan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Editor:
Anita Yossihara
Bagikan