logo Kompas.id
β€Ί
Politik & Hukumβ€ΊKau Hapus, Mural Pun Kubuat...
Iklan

Kau Hapus, Mural Pun Kubuat Kembali

Mural tidak harus selalu berisi atau bersifat politis. Namun, jika mural bersifat politis, maka yang disuarakan keluar dari tatanan sosial. Dalam sejarah bangsa, mural pernah dijadikan medium melawan penjajah Belanda.

Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/QrY8iNZ1kbIEQTuCugj9-KMN7mM=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2Fcbf34418-6e5c-4746-be8a-d1644c51ab53_jpg.jpg
Kompas/Heru Sri Kumoro

Mural dan grafiti yang merespons penghapusan mural-mural yang dianggap mengkritik pemerintah menghiasi tembok di Kota Tangerang, Banten, Kamis (9/9/2021). Sejumlah pihak menilai, penghapusan mural itu bentuk pembungkaman terhadap kritik. Sementara pihak yang menghapus, antara lain, mengaku mural dihapus karena dianggap tidak pantas dilihat masyarakat umum.

Menghapus mural atau grafiti berisi kritik sosial bukan perkara sulit. Seperti terjadi beberapa waktu lalu, ditimpa dengan cat lain, mural atau grafiti pun hilang. Namun, sejarah panjang mural tak akan pernah terhapus. Sejarah mural di Indonesia adalah jalan perlawanan menentang kekuasaan.

Pada 3 September 1937, seorang warga Yogyakarta bernama SK Mochamad ditangkap atas tuduhan menghina penguasa. Sebagaimana dimuat dalam laporan Raden Salamoen dari Politieke Inlichtingen Dienst (PID), dengan pangkat wedana reserse, SK Mochamad ditangkap karena menulis protes pada sebuah tembok di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan tembok di Kampung Notoyudan.

Editor:
Antony Lee
Bagikan