logo Kompas.id
β€Ί
Politik & Hukumβ€ΊSaat Legislasi Tak Sejalan...
Iklan

Saat Legislasi Tak Sejalan dengan Kebutuhan Publik

Gap kebutuhan publik versus kerja legislasi menunjukkan problem representasi. DPR dengan rakyat acap kali tak satu frekuensi. Aspirasi elemen publik seolah diabaikan, memanfaatkan momentum pandemi mengambil keputusan.

Oleh
RINI KUSTIASIH
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/xONDeCjNScDqL7Rox26djcIR2so=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F9a9794d7-08bb-44e4-92ae-a93c6445069a_jpg.jpg
Kompas/Wawan H Prabowo

Para menteri Kabinet Indonesia Maju bersiap untuk foto bersama pimpinan DPR di akhir Rapat Paripurna DPR masa persidangan I tahun sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Rapat paripurna hari itu secara resmi mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. RUU Cipta Kerja yang diusulkan oleh pemerintah dan mulai dibahas DPR bersama pemerintah pada April 2020 tersebut mendapat banyak penolakan dari masyarakat sipil selama dalam pembahasan. Pembahasan RUU Cipta Kerja, yang terdiri dari 15 bab dan 174 pasal, telah dilakukan 64 kali pertemuan, 2 kali rapat kerja, dan 56 kali rapat panitia kerja.

Sepanjang 2020, pembuatan legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat mendapatkan sorotan tajam dari publik. Momentum pandemi Covid-19 menjadikan penyusunan legislasi lebih sensitif bagi publik karena sejumlah RUU dinilai tidak mendesak untuk cepat-cepat dibahas di dalam kondisi pandemi. Di sisi lain, dengan alasan pandemi, DPR merevisi target legislasi, tetapi tetap membahas sejumlah RUU yang kontroversial.

Dari 50 RUU yang semula ditargetkan untuk diselesaikan pada 2020, Badan Legislasi (Baleg) DPR akhirnya merevisi target itu menjadi 37 RUU dengan memperhatikan kondisi pandemi. Dalam kondisi serba terbatas di tengah pandemi, jumlah target legislasi yang terlalu besar dikhawatirkan tidak mampu dipenuhi oleh DPR dan dipandang hanya akan menjadi beban lembaga.

Editor:
suhartono
Bagikan