logo Kompas.id
β€Ί
Politik & Hukumβ€ΊPencalonan Mantan Napi...
Iklan

Pencalonan Mantan Napi Korupsi, Indikasi Kegagalan Kaderisasi Partai

Meski dimungkinkan secara legal, pencalonan mantan napi kasus korupsi sebagai calon kepala daerah menjadi praktik pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat. Hal ini bisa dibaca sebagai sikap permisif pada korupsi.

Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/DbEdFSbxxIzlj_EKKe2UTZvKCSI=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2F0d72895a-5db4-4b2a-b4f9-310ff09d6333_jpg.jpg
Kompas/Heru Sri Kumoro

Bupati Kutai Timur nonaktif Ismunandar tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, untuk diperiksa, Kamis (13/8/2020). Ismunandar diperiksa sebagai tersangka dugaan kasus suap pekerjaan infrastruktur di Pemerintah Kabupaten Kutai Timur tahun 2019-2020.

JAKARTA, KOMPAS β€” Pencalonan mantan narapidana korupsi oleh partai politik untuk maju dalam Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020 mengindikasikan bahwa partai mengalami krisis kader. Bahkan, itu menunjukkan partai masih sangat permisif terhadap praktik korupsi.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini saat dihubungi di Jakarta, Jumat (21/8/2020), mengatakan, potensi pencalonan mantan napi korupsi sangat besar setelah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diterbitkan. Dalam PKPU tersebut, mantan napi korupsi diperbolehkan mengikuti kontestasi pilkada setelah lima tahun keluar dari penjara.

Editor:
susanarita
Bagikan