logo Kompas.id
Opini”Offensive Realism” dalam...
Iklan

”Offensive Realism” dalam Keunggulan Daya Saing

Strategi ofensif memang mungkin dapat mendatangkan daya saing, tapi siapkah perusahaan menangani risikonya?

Oleh
BUDI W SOETJIPTO
· 1 menit baca
Suasana saat iring-iringan kendaraan salah satu calon wakil menteri keluar dari rumah presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto di Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (17/10/2024). Para calon wakil menteri mengikuti jadwal hari kedua pembekalan calon anggota Kabinet Pemerintahan Prabowo-Gibran. Dalam pembekalan ini, para calon wakil menteri memperoleh materi dengan tema kecerdasan buatan (<i>artificial intelligence</i>), komunikasi, lapangan kerja di masa depan, dan antikorupsi.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Suasana saat iring-iringan kendaraan salah satu calon wakil menteri keluar dari rumah presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto di Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (17/10/2024). Para calon wakil menteri mengikuti jadwal hari kedua pembekalan calon anggota Kabinet Pemerintahan Prabowo-Gibran. Dalam pembekalan ini, para calon wakil menteri memperoleh materi dengan tema kecerdasan buatan (artificial intelligence), komunikasi, lapangan kerja di masa depan, dan antikorupsi.

Istilah offensive realism pertama kali dicetuskan oleh John Mearsheimer (2001) yang mengatakan bahwa dunia ini dipenuhi oleh negara-negara yang berlomba-lomba menjadi negara hegemoni, yaitu negara yang mendominasi negara-negara lain. Perlombaan ini terjadi karena tak adanya otoritas yang mampu menerapkan aturan-aturan yang telah disepakati bersama untuk mengatur kedisiplinan perilaku setiap negara.

Oleh karena itu, menurut Mearsheimer, dunia sudah menjadi anarkistis. Seharusnya otoritas yang dimaksud adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tetapi lihat saja genosida rakyat Palestina oleh Israel. Sudah berapa banyak rakyat Palestina dibunuh akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023? PBB tak bisa berbuat apa-apa karena Dewan Keamanan (DK) PBB selaku badan tertinggi PBB yang menjaga perdamaian dan keamanan internasional tak kunjung mampu menyepakati resolusi karena diveto oleh Amerika Serikat. Veto ini menunjukkan hegemoni negara ”Paman Sam” yang dengan anarkistis mengorbankan puluhan ribu rakyat Palestina.

Editor:
ANDREAS MARYOTO
Bagikan