logo Kompas.id
β€Ί
Opiniβ€ΊIndonesia: Raksasa Musik yang ...
Iklan

Indonesia: Raksasa Musik yang Sedang Tertidur

Masalah gamelan yang tak punya dampak pasar, sebenarnya mencerminkan sikap bangsa dan negara kita terhadap kebudayaan.

Oleh
FRANKI RADEN
Β· 0 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/4unXrRZHx5e85ItOw6BK-lIBbSs=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F08%2F10%2F2126d291-eeba-4997-b889-c41d1d783720_jpg.jpg

Pada 1816, Thomas Stamford Raffles yang menduduki Pulau Jawa sejak tahun 1811 menyerahkan kedaulatannya kembali kepada Belanda setelah kalah dalam pertempuran laut di Samudra Hindia. Setelah itu, Raffles pulang ke Inggris membawa seperangkat gamelan yang kemudian disimpan di museum kota London.

Pada akhir abad yang sama, Joseph Ellis, seorang peneliti musik, menggunakan gamelan peninggalan Raffles untuk memahami bahwa di belahan dunia lain ada budaya musik yang memiliki sistem penalaan (tuning) berbeda dengan budaya musik Eropa. Penelitian Ellis ini membuka pintu munculnya sebuah bidang musik akademik yang kemudian bernama etnomusikologi.

Editor:
MOHAMMAD HILMI FAIQ
Bagikan