Surat Pembaca
Menghargai Etika, Bahagia Bersama
Pembentukan karakter individu yang beretika dan mengalami perasaan bahagia bukan hanya tanggung jawab sekolah.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F05%2F02%2F531dda36-7a81-49cb-86a7-8ade1b451264_jpg.jpg)
Anak-anak menyusuri pematang sawah yang menjadi bagian dari metode pendidikan di sekolah alam di Desa Kalirejo, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Kamis (2/5/2019). Sekolah alam menjadi salah satu bentuk lembaga pendidikan alternatif yang mulai banyak dikembangkan.
Tulisan ini terinspirasi artikel Ignatius Haryanto ”Kembali ke Dasar” (Kompas, 6/5/2024) dan Y Priyono Pasti ”Sekolah Bahagia” (Kompas, 8/5/2024). Meski beda materi, kedua tulisan tersebut menyampaikan pesan senada, mengajak pembaca berefleksi secara kritis dan memasuki kedalaman esensi kehidupan, yaitu aktivitas dan pengaruh lingkungan yang membentuk sikap dasar individu.
Kalau mau jujur, sebenarnya kita ini egois, tetapi tersamar karena terbungkus mitos sebagai bangsa yang tenggang rasa, toleran, dermawan, dan religius. Faktanya, banyak peristiwa mendasar tetapi dianggap sepele, seperti minim budaya antre, saling serobot, pinjam tidak mengembalikan, bergunjing, bohong, melanggar rambu lalu lintas, parkir, dan buang sampah sembarangan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 7 dengan judul "Menghargai Etika, Bahagia Bersama".
Baca Epaper Kompas