logo Kompas.id
OpiniPembangunan Demokrasi Kita
Iklan

Pembangunan Demokrasi Kita

Pemilih sebagai sumber kedaulatan dalam sistem demokrasi berhak mengingatkan dan menagih ”kontrak politik”.

Oleh
WAWAN MAS'UDI
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/IgP0e95vp2nm19pv02H8ldtX2eg=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F14%2F900aa221-fc0f-43a6-9368-fc52f6475fc3_jpg.jpg

Hasil pemungutan suara Pemilu 2024 pada Rabu, 14 Februari, yang angka sementaranya sudah kita ketahui, menjadi gambaran apakah pemilih kita mengedepankan rasionalitas terkait program, pertimbangan rekam jejak, dan prinsip kepatutan politik dalam memberikan suaranya.

Semua ini penting sebagai sumbangsih untuk menyelamatkan kualitas demokrasi kita yang sedang mengalami kontraksi. Dari lima debat capres-cawapres yang sudah berlangsung, pertanyaan krusial yang patut diajukan: di tengah berbagai hal kontroversial yang melingkupi proses pilpres adalah apakah rangkaian debat membawa dampak positif bagi kualitas pemilu, dan lebih lanjut berkontribusi bagi pembangunan demokrasi kita?

Debat yang disiarkan secara luas merupakan centerpiece, bagian sangat penting, dalam sistem pilpres langsung. Sebagai bentuk performative politics, penampilan dalam debat akan bisa memberikan gambaran jelas kepada publik terkait dengan karakter personal dan gaya kepemimpinan, vitalitas kandidat, gambaran kecerdasan dan pengetahuan, serta program politik dan fokus kebijakan yang akan diambil.

Publik, dan tentunya pemilih, akan bisa membandingkan kualitas dan karakter para kandidat, menilai kekuatan dan kelemahan masing-masing, serta sedari awal bisa melakukan antisipasi ketika salah satu nantinya memenangi pemilu.

Meskipun tidak tertulis, mengingat sifatnya yang terbuka dan disiarkan luas, hal-hal yang disampaikan dalam debat pada dasarnya telah menjadi semacam ”kontrak politik ”, antara kandidat dan pemilih.

Dari kacamata publik, debat menjadi mekanisme paling terbuka untuk mengenal lebih dalam para kandidat, yang kemudian membentuk atau memperkuat preferensi politik. Sementara dari sisi kandidat, debat merupakan kesempatan terbaik meyakinkan publik akan kapasitasnya menangkap persoalan, merumuskan program, serta mempromosikan rekam jejak kepemimpinan dan kebijakan.

Sebagai tradisi politik elektoral yang bermula di sistem demokrasi Amerika sejak 1950-an, debat yang disiarkan luas dimaksudkan untuk mengetahui posisi dan rencana kebijakan kandidat, terutama pada isu-isu kebijakan yang menjadi perhatian publik. Namun, pengamat dan ilmuwan politik terbelah dalam melihat kemanfaatan debat bagi tumbuhnya demokrasi yang lebih sehat dan perubahan sikap elektoral berdasarkan rasionalitas.

Sebagian ilmuwan memandang substansi kebijakan dan gaya kandidat yang dihadirkan dalam debat bisa menjadi penentu sikap dan pilihan pemilih (Benoit dan Hansen, 2004). Bahkan, bagi kandidat, penampilan dalam debat bisa menjadi titik balik yang bisa membentuk persepsi publik. Merefleksikan penampilannya dalam debat perdana di pilpres AS tahun 1984 melawan Walter Mondale, Ronald Reagan mengatakan, ”I almost blew the whole race during my first debate” (Yawn et al, 1998).

Ungkapan yang menunjukkan pentingnya arti debat dalam membentuk persepsi publik dan sebagai penentu keberhasilan elektoral. Pun demikian, sebagian ilmuwan berpandangan, debat hanya akan memiliki sedikit pengaruh dalam mengubah pilihan politik mengingat sebagian besar publik pada dasarnya sudah memiliki identifikasi kepartaian atau ideologis yang mapan, sehingga debat lebih sebagai justifikasi atas pilihan politik (Holbert, 2005). Pengaruh debat hanya berlaku bagi kelompok pemilih yang masih ragu-ragu (swing and undecided voters) atau jika identifikasi kepartaian pemilih lemah.

Makna debat sebagai salah satu instrumen untuk melahirkan demokrasi yang berkualitas juga banyak diragukan di negara-negara dengan karakter emerging atau transitional democracy.

Meski debat bisa menopang tumbuhnya politik programatik dan bisa menjadi antitesis budaya politik patron-klien (patronage politics), kandidat yang merasa di atas angin akan bisa mengabaikan mekanisme debat, seperti terjadi di sejumlah negara Amerika Latin (Cantu dan Carreras, 2023). Kandidat yang sedang berkuasa cenderung menghindari debat, sementara pihak oposan akan memanfaatkan debat sebagai arena melakukan perlawanan terhadap status quo.

https://cdn-assetd.kompas.id/tSdKBrlE1Olyy8zAE9ho3V3-2pY=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F12%2F2beabd34-cdb7-48f9-9e1f-8891b1a09758_jpg.jpg

”Review” lima debat

Sejak adopsi pilpres langsung pada 2004, debat capres-cawapres yang disiarkan luas telah menjadi mekanisme wajib yang diikuti semua kandidat.

Meskipun hadir dalam format yang berbeda-beda dari pemilu ke pemilu, debat sudah menjadi menu wajib yang ditunggu pemilih walau sering kali cenderung berlangsung secara formal dan tak tuntas mengupas isu yang diperdebatkan.

Iklan

Pada Pemilu 2024 ini, meski awalnya memunculkan keraguan publik atas keseriusan dan kualitas debat, lima debat yang sudah berlangsung benar-benar dimanfaatkan kandidat untuk mengekspose pandangan politik, serta program dan rencana kerja di setiap topik.

Debat juga memberikan gambaran lebih jelas kepada publik atas karakter personal, keluasan pengetahuan, dan rekam jejak semua pasangan. Meskipun demikian, satu hal yang kurang atau tak banyak diperbincangkan dalam rangkaian debat adalah rekam jejak kandidat, baik dari sisi kebijakan maupun trajektori mencapai karier politik.

Khususnya untuk para capres yang jadi pusat perhatian, dari debat yang sudah berlangsung kita bisa memperoleh gambaran sebagai berikut.

Anies Baswedan, dalam setiap kesempatan debat, secara konsisten menempatkan diri sebagai oposan dari pemerintahan yang ada. Diksi utama yang dimunculkan adalah perubahan, keadilan dan kesetaraan, serta etika sebagai positioning politik, sekaligus amunisi untuk melakukan serangan, khususnya ke pemerintah dan capres Prabowo Subianto.

Ide kebijakan yang ditawarkan Anies berpangkal pada pilihan posisi itu, tapi dalam banyak hal masih cenderung abstrak, belum menukik ke bentuk tawaran program dan kebijakan yang konkret. Salah satu kekuatan Anies adalah retorika yang sangat sistematis dan bisa membangkitkan sentimen ”kita” (perubahan) versus ”mereka” (status quo) yang menjadi karakter khas gaya pemimpin populis.

Pengaruh debat hanya berlaku bagi kelompok pemilih yang masih ragu-ragu ( swing and undecided voters) atau jika identifikasi kepartaian pemilih lemah.

Prabowo, sepanjang rangkaian debat, menegaskan pendekatan distributif dalam berbagai aspek, yang dikemas dalam program-program yang konkret sampai dengan detail angka, seperti makan siang dan susu gratis. Karakter khas dari teknokratik populisme. Secara implisit, fungsi negara adalah mendefinisikan apa yang menjadi kebutuhan rakyat dan kemudian dijabarkan dari atas dan cenderung minim dialog dengan masyarakat untuk merumuskan apa yang nantinya menjadi kebutuhan dari bawah.

Pendekatan pembangunan yang dipilih juga cenderung bersifat state-led developmentalism, dengan kata kunci hilirisasi sebagai strategi percepatan pembangunan ekonomi. Dari sisi positioning politik, Prabowo adalah representasi dari keberlanjutan pemerintahan saat ini.

Ganjar Pranowo, dalam setiap kesempatan, ingin menunjukkan sebagai figur pemimpin dengan karakter keindonesiaan dan kerakyatan yang kuat. Dalam rangkaian debat, pesan simbolik keindonesiaan dan informalitas kerakyatan dikemas dalam pilihan busana dan retorika dengan pilihan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat kebanyakan.

Narasi kedekatan dengan rakyat juga ditunjukkan lewat cara mengemas program dan kebijakan dalam setiap topik debat, yang diawali dengan ilustrasi pertemuannya dengan masyarakat sebagai cara menangkap dan menyelami masalah, kemudian diikuti tawaran kebijakan untuk menjawabnya. Pilihan strategi ini menunjukkan metode politik yang bersifat bottom up, yang membuka ruang deliberasi antara pemimpin dan rakyat.

https://cdn-assetd.kompas.id/XXmpgCIOF_4F0otQsPRm30jV_q4=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F04%2Fee804b56-ccf8-4a98-97e7-281de7bd5f5b_jpg.jpg

Makna bagi demokrasi

Sebagai salah satu pusat gravitasi dalam tahapan pilpres langsung, debat yang disiarkan luas lebih dari sekadar ritual politik untuk memenuhi mandat UU Pemilu. Apa yang dipresentasikan kandidat, baik dari sisi gaya komunikasi maupun substansi perdebatan, menjadi salah satu sumber referensi utama warga negara dalam membentuk preferensi politik dan menentukan pilihan.

Meskipun tidak tertulis, mengingat sifatnya yang terbuka dan disiarkan luas, hal-hal yang disampaikan dalam debat pada dasarnya telah menjadi semacam ”kontrak politik”, antara kandidat dan pemilih. Pemilih sebagai sumber kedaulatan dalam sistem demokrasi nantinya berhak untuk mengingatkan dan menagih kontrak tersebut.

Meskipun dalam beberapa aspek masih tersandera oleh formalitas dan kedangkalan substansi, rangkaian debat setidaknya telah menjadi milestone penting memperkokoh tradisi politik programatik guna meminimalkan pengaruh budaya patronase dalam bentuk politik uang dan politik identitas.

Menyitir temuan yang ditulis Eric Kramon dalam laporan Debates in New Democracies and Hybrid Regimes (NDI, 2020), debat terbuka akan memberikan insentif kepada kandidat untuk menunjukkan kualitas terbaik dari kepemimpinan dan programnya, untuk kemudian dinilai pemilih.

Baca juga: Pemilu 2024 dan Kepemimpinan Nasional

Wawan Mas’udi, Dekan Fisipol UGM

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan