Suara dari Dalam Kotak
Kotak-kotak sebagai penampung suara rakyat sudah lama tidak lagi mencerminkan kesejatian hati nurani.
Entah kenapa dari Pemilu 1971 dan Pemilu 1977 yang terekam dalam ingatanku adalah tumpukan kotak kayu di balai desa. Kotak-kotak yang berat itu menggunung sampai ke langit-langit gedung. Dalam banyak kesempatan, kotak-kotak itu digunakan sebagai tempat duduk jika warga mengadakan rapat desa. Barangkali saking banyaknya, tak jarang juga aku menemukan kotak-kotak yang serupa disimpan di rumah warga.
Bapak sebagai salah seorang pamong desa tampaknya tak luput juga membawa pulang kotak kosong. Ia kemudian memodifikasinya menjadi lemari pakaian kami. Aku ingat, di setiap kamar tidur kami, selalu ada satu kotak kosong. Warga lain, setidaknya lamat-lamat dalam ingatanku, ada yang memodifikasinya sebagai meja belajar untuk anak-anaknya. Pokoknya, kotak-kotak suara dari kayu yang ukurannya cukup besar dibandingkan kotak suara dalam Pemilu 1982 sampai 1992 itu dimodifikasi untuk berbagai kepentingan.
Sebagai anak yang belum genap berusia 10 tahun, aku benar-benar tak mengerti mengapa kotak-kotak kayu yang tutupnya berwarna berbeda itu disimpan di balai desa. Bahkan, fungsinya pun aku benar-benar tidak paham. Setiap kutanya, Bapak hanya bilang itu namanya kotak suara.
”Di mana suaranya?” tanyaku.
”Ya, dalam kotak itu,” jawab Bapak.
”Kan, cuma kosong.”
”Ya, walau kosong, itu bukan tong,” kata Bapak.
”Memang kenapa kalau tong? Apa harus dipukul baru bunyi?”
”Ndak juga seperti itu….”
”Lalu, suara siapa itu, Pak?”
”Kamu terlalu banyak tanya. Nanti suaramu habis ditelan kotak itu, lho,” kata Bapak kemudian.
Aku tak berani lagi bertanya. Sepertinya Bapak sedikit kesal atau mungkin dia juga kesulitan menjelaskan secara sederhana kepadaku.
Lantaran merasa tidak mendapatkan jawaban memuaskan, suatu hari aku bertanya kepada Ibu saat kami berada di sawah.
”Bu, kata Bapak kotak di balai desa itu ada suaranya. Benar?”
Kulihat Ibu bereaksi agak kaget. Mungkin ia berpikir anak sulungnya yang baru berusia kurang dari 10 tahun terlalu banyak bertanya.
”Bapak benar. Itu memang ada suaranya. Maksudnya di dalamnya ada kertas suara yang merupakan suara dari rakyat,” kata Ibu.
”Suara rakyat?” tanyaku dengan mulut terbuka.
Kali ini Ibu tidak bereaksi. Ia tetap tekun membersihkan gulma di antara padi-padi kami di sawah. Sejak usia mungkin setara dengan kelas 2 SD aku sudah mulai membantu Bapak untuk bekerja di sawah. Bahkan, pada usia segitu, aku sudah ahli pula mencari belut. Cuma bermodal pancing, tali senar, dan cacing, bisa 10 belut kubawa pulang. Itu selalu lumayan untuk isian sambal bawang bakar, kesukaan kami sekeluarga.
”Ya, suara yang diberi oleh rakyat kepada calon pemimpin,” kata Ibu kemudian.
”Oh, jadi pemimpin itu butuh suara rakyat?”
”Nah, itu kamu mulai mengerti.”
”Tapi kenapa harus dimasukkan ke dalam kotak?” tanyaku lagi.
”Itu buat ngumpulin supaya mudah menghitungnya.”
Aku manggut-manggut walau tak sepenuhnya mengerti.
Sore itu dari arah barat seorang petani mengendarai cikar yang ditarik dua ekor kerbau. Di dalam gerobaknya terdapat beberapa karung plastik berwarna putih. Aku tahu itu pasti pupuk urea yang diambil dari gudang KUD Mertha Buana, tempat Bapak turut menjadi pengurusnya.
Pada awal tahun 1970-an, para petani di Subak Keduwe, Jembrana, tempat sawah kami berlokasi, telah diwajibkan menanam padi jenis Pelita atau IR. Benih padi jenis baru ini bisa diperoleh di KUD sekalian dengan pupuk dan pestisida. Para petani diimingi-imingi masa panen padi akan jauh lebih cepat dan hasilnya lebih banyak. Karena merasa ini instruksi dari pemerintah, para petani yang tadinya menanam padi jenis lokal, seperti Bengawan dan Cicih, ”terpaksa” tunduk. Di antara mereka ada yang ”diancam” oleh ”petugas” jika membandel menanam padi jenis lama.
Belakangan setelah SMA aku tahu bahwa suara-suara kaum petani selalu dibungkam pascatragedi 1965 di daerah kami. Titik picu pembantaian mereka yang dituding berafiliasi dengan PKI dimulai dari Desa Tegalbadeng, tak jauh dari desaku. Akhirnya pembantaian meluas sampai ke seluruh Bali.
Sejak itu, para petani menderita trauma kronis. Banyak yang memilih diam, tidak mau bercerita tentang tragedi memilukan itu. Bapak juga tidak pernah bercerita. Ia menjadi sangat pendiam, terutama menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan program pemerintah. Pemilu 1971 adalah pemilu pertama pascapembantaian massal di kotaku. Kaum petani yang menjadi sasaran pembantaian cenderung memilih diam dan bekerja saja.
Baca juga: Tangan-tangan semesta yang bertumbuh
Umumnya mereka ”terpaksa” atau ”dipaksa” menurut terhadap apa pun program pemerintah. Suara-suara berbeda akan dianggap subversif, termasuk anjuran dalam menanam padi di sawah mereka sendiri. Pertengahan tahun 1970-an, Pemerintah Orde Baru sedang gencar membuat propaganda Swasembada Pangan. Oleh sebab itu, mereka meluncurkan program Revolusi Hijau.
Program harus disegerakan untuk mengatasi krisis pangan yang terjadi sejak masa Orde Lama. Sayangnya, program Swasembada Pangan itu tak lain merupakan kepanjangan tangan dari proyek besar Amerika Serikat. Ya, itu tadi Revolusi Hijau, sebuah program yang ”menganjurkan” penggunaan benih padi jenis baru, pupuk kimia, dan pestisida.
Sebagai negara yang menggebu-gebu meraih swasembada pangan secepatnya, di bawah kendali Jenderal Soeharto, para petani wajib mengikuti apa yang kemudian disebut dengan Panca Usaha Tani. Program ini merupakan lima langkah yang harus dilakukan oleh petani untuk meningkatkan produksi, yakni irigasi, pengolahan tanah, pemilihan bibit unggul, pemupukan, dan pemberantasan hama.
Kelima program ini ibarat mantra sakti yang harus diikuti oleh petani. Secara sekilas program ini berpihak kepada petani. Akan tetapi, penerjemahannya di lapangan lebih condong ”memaksa” petani untuk membeli bibit, membeli pupuk, dan membeli pestisida di satu badan usaha yang disetujui pemerintah. Pada mulanya seluruh hak istimewa itu dipegang oleh KUD (koperasi unit desa), tetapi lambat laun jatuh pula ke tangan swasta.
Sejak itu, para petani yang sudah tidak memiliki ”hak suara” itu terjebak dalam satu lingkaran tata niaga yang tidak bisa mereka kontrol. Seluruh kontrol perniagaan pertanian dikendalikan para pengusaha besar, termasuk pabrik pupuk dan pestisida. Sampai sekarang, lingkaran tata niaga inilah yang menguasa seluruh sistem pertanian kita. Meski berkali-kali memberi subsidi pupuk kepada petani, toh, kehidupan petani kita tak pernah beranjak dari kemiskinan.
Seorang pamanku yang kebetulan mendapatkan pendidikan setara SMA (sekolah guru) di Banyuwangi pernah mencoba bersuara. Ia ingin keluar dari kotak besar yang bertumpuk-tumpuk itu dengan memilih partai merah. Ia menancapkan bendera merah di pagar halaman rumahnya. Tentu saja kibaran bendera merah itu menjadi satu-satunya bendera berbeda di antara taburan bendera kuning di mana-mana.
Tak lama setelah ia mengibarkan bendera merah, KUD di mana ia biasanya mengambil pupuk dan pestisida menolak permintaannya. Menurut pengurus KUD setempat, pamanku boleh mengambil pupuk dan pestisida dengan syarat dibayar tunai. Sebagai petani, tentu saja ia keberatan karena selama ini pembayaran pupuk dan pestisida baru dilakukan pascapanen.
Pembungkaman atas suara-suara itu belum selesai. Organisasi pengairan, seperti subak, juga menolak memberi aliran air ke sawah-sawah paman. Usahanya untuk menanam padi jenis lokal pun tidak berhasil.
Baca juga: Sihir kekuasaan
Aku ingat paman waktu itu hanya berkata kepada Bapak:
”Memang sulit jadi petani. Padahal, kita tidak memilih profesi ini,” kata Paman.
Awalnya Bapak hanya diam.
”Kita hanya dibutuhkan di saat orang kota kesulitan makan,” kata Paman lagi.
”Gimana kalau mogok saja jadi petani?” tiba-tiba kata Bapak.
Paman sedikit kaget.
”Bagaimana mungkin? Mau makan apa? Kita bertanggung jawab pada seluruh keluarga. Ndak bertani ndak makan. Tidak bisa mencari penghasilan tambahan.”
”Kita bisa kembali jadi nelayan,” kata Bapak.
Giliran Paman yang diam.
Begitulah percakapan yang kini samar-samar masih kuingat. Bapak dan Paman sama-sama tidak memiliki jalan keluar. Bertani bagi mereka seperti takdir yang telah diwariskan oleh para leluhur. Itu sama artinya dengan memperpanjang garis kemiskinan. Kaum tani di Indonesia berdasarkan hasil Survei Pertanian Terintegrasi (Sitasi) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki pendapatan rata-rata bersih hanya Rp 5,23 juta per tahun untuk petani skala kecil. Adapun petani yang bukan skala kecil rata-rata memperoleh penghasilan Rp 22,98 juta per tahun.
Data BPS sebelumnya juga menunjukkan dalam 10 tahun terakhir jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) gurem atau petani gurem naik 2,64 juta. Jumlahnya mereka kini mencapai 16,89 juta RTUP. Petani gurem adalah mereka yang hanya memiliki atau menyewa lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar. Kedua data ini menunjukkan para petani gurem kita hanya mendapatkan penghasilan Rp 400.000-Rp 1.800.000 dalam sebulan. Ini angka yang berada di bawah upah minimum provinsi (UMP) rata-rata di Indonesia yang sebesar Rp 2,2 juta per bulan.
Meski jumlahnya terus menurun karena profesi ini kian tak menjanjikan, jumlah usaha pertanian perorangan kita sekarang mencapai 29,34 juta (2023), menurun dari 31,71 juta (2013). Jumlah ini termasuk kelompok masyarakat yang cukup besar, tetapi suara-suara mereka nyaris tidak pernah didengar.
Kotak kosong yang bertumpuk-tumpuk di balai desa kami itu ibarat suara-suara petani yang telah ”dirampas” oleh para pemimpin untuk semata-mata meraih kekuasaan. Itulah kotak-kotak yang telah kehilangan suara sejak pemerintah menebar ”teror” lewat Swasembada Pangan, Revolusi Hijau, dan Panca Usaha Tani. Pascatrauma akibat tragedi 1965, suara-suara petani telah disandera oleh partai penguasa yang berwarna kuning. Perbedaan adalah subversif dan harus siap dengan segala risiko sebagaimana yang telah dialami paman.
Menjelang Pemilu 2024 aku pulang kampung. Sekadar mengingatkan Ibu pada kotak-kotak kosong yang dulu banyak bertumpuk di balai desa, aku bertanya lagi:
”Bu, sekarang di mana kotak-kotak suara di balai desa depan rumah?”
”Woooh…sudah lama lapuk,” jawab Ibu.
”Lho, kan, kayunya dari kayu jati?”
”Itu jati yang kehilangan kesejatiannya.”
”Maksud Ibu?”
”Kamu pasti tahulah…,” kata Ibu, yang kini telah berusia 86 tahun.
Dalam tafsirku kemudian, kecurangan telah berulang terjadi di dalam setiap penyelenggaraan pemilu di Tanah Air. Penguasa selalu punya modus untuk memanipulasi konstitusi, hukum, aparatur, dan fasilitas negara untuk mempertahankan kekuasaan. Sejak masa Orde Baru sampai kini di masa Reformasi, modus-modus kecurangan itu semakin hari semakin canggih. Kotak-kotak sebagai penampung suara rakyat sudah lama tidak lagi mencerminkan kesejatian hati nurani. Kotak-kotak itu telah dikosongkan karena suara-suaranya telah ”terambil” jauh sebelum para pemilih memasuki bilik suara.
Lalu, suara siapa dari dalam kotak itu?
Putu Fajar Arcana, jurnalis Kompas 1994-2022, sutradara, penulis lakon, dosen creative writing London School of Public Relations Jakarta.