logo Kompas.id
OpiniPemilu: Kebijakan Ekonomi,...
Iklan

Pemilu: Kebijakan Ekonomi, Politisi, dan Teknokrat

Kita tak bisa menebak arah kebijakan ekonomi cawapres. Sistem perpolitikan kita tak terkait dengan praktik ekonomi.

Oleh
FAJRI ADRIANTO
· 8 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/aUZ7X7GeznPByhWI8lSa_yWw4Mw=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F13%2F1d7ef0e3-fbc6-4865-bd1c-32fab9bc0301_jpg.jpg

Publik berharap pemilu hari ini akan melahirkan representasi rakyat di legislatif dan eksekutif, yang akan bekerja untuk peningkatan kesejahteraan bangsa. Hal yang paling ditunggu, terutama oleh investor, tentu kebijakan ekonomi pemenang pemilu.

Walaupun banyak program ekonomi yang ditawarkan para calon presiden-wakil presiden di masa kampanye, para calon pemimpin bangsa ini belum mengkaji secara detail apakah anggaran negara mencukupi untuk melaksanakan semua program yang telah dijanjikan kepada konstituen.

Saat ini masih terkesan, sampaikan saja dulu yang manis-manis, nanti masalah anggaran dipikirkan belakangan setelah menjabat. Karena itu, rakyat selalu menyaksikan tingginya bias janji kampanye dengan program riil pemerintah.

Indonesia cukup unik dalam melihat hubungan politik dan sistem ekonomi yang akan dijalankan. Kita tidak bisa menebak arah kebijakan ekonomi cawapres karena sistem perpolitikan kita tidak berhubungan langsung dengan praktik ekonomi.

Baca juga: Visi-Misi Capres: Ambisi Besar, Uangnya dari Mana?

Di negara maju baik yang menggunakan sistem parlementer maupun presidensial seperti Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AS), publik akan bisa menebak ke mana arah kebijakan ekonomi jika yang menang presiden dari suatu partai atau koalisi.

Partai Republik di AS, misalnya, memiliki ideologi ekonomi fiskal konservatif yang lebih menekankan free market yang memercayai peran laissez-faire dalam mengatur perekonomian. Pemerintahan republikan cenderung membatasi pengeluaran pemerintah, mengurangi pajak, dan mengurangi intervensi pemerintah dalam perekonomian. Bisa dikatakan republikan cenderung menerapkan mazhab ekonomi neoklasik.

Berbeda dengan Partai Demokrat yang cenderung menerapkan mazhab Keynesian dalam kebijakan perekonomian, yaitu menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah dalam perekonomian. Pemerintahan demokrat di AS cenderung terlibat langsung dalam bentuk regulasi bisnis untuk bisa memberikan dampak sosial dan lingkungan.

Karena itu, pada pemerintah Joe Biden, AS kembali bergabung dalam Paris Agreement setelah menyatakan keluar pada era Presiden Donald Trump. Demokrat cenderung mendorong peningkatan pengeluaran pemerintah untuk mendorong perekonomian, di mana pengeluaran salah satunya ditunjang oleh peningkatan pendapatan pajak, sehingga pemerintahan Demokrat sering dikenal dengan ”Tax & Spend”.

Kita tidak bisa menebak arah kebijakan ekonomi cawapres karena sistem perpolitikan kita tidak berhubungan langsung dengan praktik ekonomi.

Hal yang sama juga bisa dilihat pada sistem politik ekonomi di Australia. Koalisi Liberal National Party (LNP) cenderung menerapkan sistem ekonomi yang konservatif seperti Partai Republik di AS, sebaliknya Partai Buruh menganut sistem perekonomian yang sama dengan Partai Demokrat di AS. Mazhab ekonomi suatu partai atau koalisi tentu akan menjadi pertimbangan bagi konstituen, di mana publik bisa menebak ke mana arah kebijakan ekonomi suatu partai atau koalisi jika mereka nanti duduk di eksekutif.

Apalagi dalam sistem pemerintahan parlementer seperti di Australia dan Inggris, kebijakan ekonomi partai akan lebih mudah diterapkan karena politisi dari partai pemenang akan masuk dalam kabinet pemerintah, termasuk dalam kabinet ekonomi, sehingga memudahkan untuk mereka membuat kebijakan sesuai dengan arah ekonomi yang dianut partai.

https://cdn-assetd.kompas.id/rTcwLk98yGczNrNX_TlUSzfiIys=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F29%2F0a941738-965b-43f3-aeea-db276f9f482e_jpg.jpg

Sejarah

Korelasi ideologi partai dengan sistem perekonomian di Indonesia relatif sangat lemah. Hal ini tidak terlepas dari sejarah perekonomian bangsa Indonesia. Pada zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, aktivitas perekonomian diregulasi oleh kerajaan-kerajaan yang berkuasa, mulai dari sistem pajak/upeti hingga relasi perdagangan.

Masuknya VOC di Indonesia mengubah pola bisnis di Nusantara. Ekonomi lebih berbasis komoditas, dan komoditas yang ditanam rakyat tergantung arahan VOC yang bekerja sama dengan penguasa lokal dengan tujuan perdagangan dan pemenuhan kebutuhan industri di Eropa.

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, khususnya di awal abad ke-20, pemerintah cenderung menerapkan sistem perekonomian yang mengikuti tren dunia ketika itu, yaitu ekonomi pasar bebas.

Pada masa awal kemerdekaan, sistem perekonomian Indonesia belum mencari bentuknya karena fokus utama pemerintah ketika itu adalah stabilisasi politik pascaproklamasi kemerdekaan dan Perang Dunia II. Agresi militer Belanda masih menjadi tantangan pembangunan ekonomi Indonesia, pemerintah lebih banyak fokus pada upaya mempertahankan kedaulatan NKRI.

Instabilisasi politik menjadi salah satu tantangan pemerintah. Bisa dikatakan sistem perekonomian Indonesia masih menggunakan sistem yang ada di zaman Hindia Belanda karena mayoritas roda perekonomian masih dijalankan oleh perusahaan-perusahaan Belanda.

Baca juga: Ekonomi dan Krisis Demokrasi

Pada masa pemerintahan demokrasi terpimpin, pemerintah mulai menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Meski akan memberikan kemandirian perekonomian Indonesia, kebijakan ini berbiaya mahal.

Iklan

Akuisisi saham perusahaan-perusahaan Belanda membutuhkan dana yang besar sehingga beban anggaran pemerintah berat. Apalagi terkait hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, ada peralihan beban utang dalam dan luar negeri Pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan Belanda di Indonesia kepada Pemerintah Republik Indonesia. Ini menyebabkan fiskal pemerintah menjadi berat sehingga fokus pada pembangunan fisik terbatas.

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru (Orba), prioritas pemerintah menghadapi hyperinflation, devisa negatif, pertumbuhan negatif, dan tantangan fiskal yang berat karena kewajiban keuangan pemerintah jauh di atas pendapatan pemerintah. Kerja sama dengan negara-negara donor sangat menentukan arah perekonomian ketika itu.

Kebijakan ekonomi pemerintah Orba cenderung ke arah free market, seperti menghilangkan hambatan perdagangan, menghapus kurs ganda, dan membuka keran investasi asing. Hal ini sesuai dengan kesepakatan dengan negara donor yang didominasi negara-negara penganut sistem perekonomian bebas.

Uraian di atas menunjukkan, peran partai politik sangat kecil dalam penentuan arah perekonomian di Indonesia. Walaupun partai politik memiliki ideologi tersendiri yang berbeda dengan partai lain, ideologi tersebut tidak masuk dalam sistem perekonomian di Indonesia.

https://cdn-assetd.kompas.id/RrdOMViMNscKCY5Ie6nzLEj9VAM=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F09%2Fedb42734-2b34-40e5-9718-04ce9dc46264_jpg.jpg

Pada masa pemerintahan Orde Lama, parpol lebih fokus pada penekanan ideologi politik mereka, bahkan posisi mereka pada persaingan Blok Barat dan Timur dan tidak sempat berpikir tentang ideologi ekonomi partai. Pemerintah, walaupun berasal dari parpol, masih fokus pada stabilitas pemerintahan dan perekonomian dibiarkan berjalan menggunakan sistem perekonomian Hindia Belanda.

Pada zaman Orba, ketika stabilitas politik sudah sangat baik, apakah ideologi partai bisa menjadi dasar dalam mengambil kebijakan fiskal pemerintah masih menjadi pertanyaan. Golongan Karya (Golkar) yang memimpin pemerintahan tidak bisa menunjukkan ciri khas mazhab ekonomi yang dianut oleh partai tersebut. Bisa dikatakan peran politisi parpol dalam melahirkan kebijakan ekonomi nasional tidak terlihat.

Faktor utama yang menjadi tidak terlihat identitas parpol dalam kebijakan ekonomi di zaman Orba adalah peran teknokrat kampus yang sangat vital dalam membuat kebijakan ekonomi. Pada awal pemerintahan Orba, Presiden Soeharto menyerahkan pengaturan kebijakan ekonomi kepada ekonom Universitas Indonesia (UI) yang saat itu dipimpin oleh Soemitro Djojohadikusomo bersama dengan yunior-yuniornya yang baru selesai melanjutkan studi di University of California, yaitu Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Emil Salim, JB Sumarlin, dan Ali Wardhana.

Mereka juga dikenal sebagai ekonom Berkeley. Beberapa pengamat kala itu menilai bahwa arah perekonomian Indonesia ketika itu cenderung lebih pada perekonomian liberal yang dianut AS.

Pada era Refomasi, penentu kebijakan ekonomi masih didominasi oleh para teknokrat atau cendekiawan dari UI dan Universitas Gadjah Mada.

Perekonomian Indonesia melaju kencang pada zaman Orba. Industrialisasi dan pengolahan komoditas tambang menjadi pendorong pertumbuhan perekonomian ketika itu. Namun, perekonomian Indonesia mengalami bubble dan memiliki leverage yang cukup tinggi. Puncaknya pada krisis keuangan Asia 1997-1998, saat ekonomi Indonesia jatuh dan bahkan lebih parah dari tiga negara lain yang terkena dampak sistematis dari krisis tersebut: Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan.

Krisis keuangan Asia menjadi tonggak baru bagi Indonesia dengan tumbangnya pemerintahan Orba, dan Indonesia memasuki era Reformasi.

Pada era Reformasi hingga kini, sudah ada lima kali pemilu dan empat kali pilpres secara langsung. Pada era Reformasi, penentu kebijakan ekonomi masih didominasi oleh para teknokrat atau cendekiawan dari UI dan Universitas Gadjah Mada. Muncullah nama-nama ekonom besar dari dua kampus besar tersebut yang menentukan arah kebijakan ekonomi Indonesia, seperti Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Boediono, Sri Mulyani, dan Chatib Basri.

Lagi, di era Reformasi, politisi parpol tidak terlibat banyak dalam tim manajemen ekonomi bangsa. Memang beberapa tokoh parpol yang berlatar belakang pengusaha masuk ke tim ekonomi, tetapi peran teknokrat masih mendominasi dalam pengambilan keputusan ekonomi.

https://cdn-assetd.kompas.id/jWgFexgPZ4FSlM5MuK0IOse4tf8=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F14%2F430ce348-a893-44e6-9bef-f10cf1943f4c_jpg.jpg

Hingga kini, untuk Pemilu 2024, sepertinya kita masih tidak akan melihat hubungan ideologi parpol dengan arah kebijakan ekonomi Indonesia lima tahun ke depan. Faktor utama yang mendukung klaim ini, kita belum mendengar ideologi ekonomi suatu parpol dan ekonom yang hebat lahir dari parpol.

Kedua, koalisi yang terbangun adalah koalisi dengan beragam ideologi sehingga sulit bagi pemerintah yang terbentuk nanti menggunakan ideologi partai dalam kebijakan ekonomi nasional. Ketiga, koalisi yang ada masih sangat mungkin berubah di tengah jalan dengan masuk anggota baru dalam koalisi pemenang sehingga ego suatu partai dalam kebijakan pemerintah tidak akan terjadi.

Tentu, masih diisinya tim ekonomi oleh teknokrat memiliki nilai positif dengan model demokrasi di Indonesia saat ini. Setidaknya kebijakan ekonomi nasional masih bisa dikontrol untuk tidak mendukung kepentingan segelintir pihak. Teknokrat merupakan ilmuwan yang masih mempercayai dan menggunakan riset dalam pembuatan suatu kebijakan yang tentu bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Walaupun harus diakui, teknokrat tidak jarang mengalami kesulitan dalam menyusun fiskal karena mereka harus mengakomodasi janji kampanye yang telanjur disampaikan partai/koalisi pemenang tanpa mengukur kelayakan fiskal dan kontribusi ekonomi. Berbeda dengan menteri keuangan di negara-negara yang menganut sistem parlementer, janji-janji ekonomi dibuat oleh tim ekonomi partai yang nanti akan menjadi pengelola fiskal kalau partai mereka menang. Jadi, tidak akan sulit bagi mereka dalam membuat kebijakan ekonomi yang sesuai dengan janji politik mereka.

Baca juga: Menggagas Ekonomi Pasar Sosial Berkelanjutan

Memang dengan sistem politik Indonesia saat ini, pengelolaan kebijakan ekonomi yang dilaksanakan oleh politisi di negara-negara yang menerapkan sistem parlementer, seperti Australia, Inggris, dan Malaysia, di mana treasurer atau menteri keuangan berasal dari politisi yang juga merupakan anggota parlemen (MP), belum tentu bisa diterapkan dalam sistem presidensial di Indonesia.

Namun, ke depan bukan tidak mungkin parpol akan mem-positioning mazhab ekonomi partai mereka sehingga di awal, konstituen akan bisa menebak ke mana arah kebijakan ekonomi ke depan jika partai tersebut berkuasa. Ini setidaknya mengurangi uncertainty ekonomi pada masa pemilu sehingga masa menunggu investor tidak akan lama.

Berkaca dari hasil pemilu yang sudah ada, suara tertinggi partai pemenang masih di bawah 30 persen, dan koalisi pun cenderung tidak kokoh, bisa berubah kapan pun. Karena itu, ideologi ekonomi suatu parpol memang akan sulit dipaksakan dalam kebijakan ekonomi pemerintah. Jika koalisi bisa dibangun atas dasar kesamaan ideologi politik dan ekonomi, akan mudah menentukan figur yang cocok menjadi calon nakhoda eksekutif dan calon-calon anggota kabinet ekonominya.

Fajri Adrianto, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas

Fajri Adrianto
ARSIP LINKEDIN

Fajri Adrianto

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan