logo Kompas.id
OpiniPemilu 2024 dan Kepemimpinan...
Iklan

Pemilu 2024 dan Kepemimpinan Nasional

Sejak awal pemilu ini digelar, nuansa politik yang menarik mundur demokrasi Indonesia sangat kental terasa.

Oleh
R SITI ZUHRO
· 7 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/nYKb-skniYxQ29BJqImCG6GJcOQ=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F13%2F16c07c92-ef80-4f05-9c68-5b674ee0a0b9_jpg.jpg

Tanggal 14 Februari ini, bangsa Indonesia akan menjalani pemilu serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif. Pemilu ini tergolong pemilu yang rumit, pelik, dan banyak intervensi kekuasaan.

Meskipun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah dua periode (2014-2019 dan 2019-2024), syahwat untuk tetap mempertahankan kekuasaannya membuat jalannya pemilu sekarang ini menjadi tidak mudah.

Sejak awal pemilu ini digelar, nuansa politik yang menarik mundur demokrasi Indonesia sangat kental terasa. Mulai dari usulan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, wacana penundaan pemilu, hingga uji materi persyaratan umur calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) ke Mahkamah Konstitusi (MK), hingga kentalnya nuansa nepotisme yang mengarah pada upaya membangun dinasti politik.

Tidak cukup dengan hal-hal tersebut, Presiden juga mengatakan bahwa dirinya bisa memihak dan ikut kampanye pemilu karena peraturan membolehkan.

Semua ini akhirnya mengundang respons kritis dunia akademisi, peneliti, dan profesor dari puluhan kampus. Mereka menyampaikan keprihatinan dan mengingatkan Presiden agar tak menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi pemilu. Masalah etika dan praktik ketidakadilan sangat mengedepan.

Pemilu sebagai bagian dari demokrasi yang semestinya sarat nilai-nilai/etika akhirnya dikotori oleh cawe-cawe Presiden. Pelanggaran etika dan pelanggaran peraturan demi ”pokoke menang dan pokoke berkuasa” tampak kian nyata.

Sejak awal pemilu ini digelar, nuansa politik yang menarik mundur demokrasi Indonesia sangat kental terasa.

Demokrasi tak semestinya direduksi dan disimpangkan maknanya semata-mata hanya sebagai pergantian kekuasaan. Kedaulatan harus tetap di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa/elite dan/atau lembaga politik. Pemilu harus mengacu pada demokrasi yang sarat dengan nilai-nilai untuk menghadirkan kompetisi/kontestasi yang sehat, berkeadaban, free and fair.

Etika dan moral politik elite

Etika politik sangat diperlukan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa agar nuansa politik lebih sehat dan rasional. Etika politik juga diperlukan bagi penyelenggara negara dalam pemilu/pilkada agar pemilu/pilkada tidak ternoda dan hasil pemilu tidak cacat secara hukum.

Pelanggaran terhadap etika politik dalam pemilu acap kali didorong oleh alasan tiadanya payung hukum yang bisa dijadikan rujukan dan lemahnya pengawasan serta penegakan hukum di Indonesia karena hukuman (penalty) yang tak jelas. Sistem yang ada acap kali disebut sebagai penyebab utama karena terkesan memberi peluang penyimpangan.

Pada dasarnya etika politik terkait dengan moral politik. Sementara politik oleh para politisi hanya dimaknai sebagai ”penyalur kepentingan” dan seni untuk ”meraih kekuasaan” saja. Moral politik mengandung makna yang sangat dalam dan terkait dengan nilai-nilai. Jika moral politik ini absen, yang akan muncul kemudian adalah politik menghalalkan semua cara. Etika politik diperlukan untuk meredam kecenderungan politik menghalalkan semua cara tersebut.

Para elite, aktor, dan tokoh seharusnya mampu merefleksikan nilai-nilai atau etika politik yang meneladani, yang diharapkan berpengaruh positif terhadap pemilu yang jurdil (jujur dan adil) dan luber (langsung, umum, bebas, rahasia, atau free and fair).

https://cdn-assetd.kompas.id/kUsR_tfupWHXzCrvmEu2pCD_baM=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F16%2F91238af7-ff4e-4512-88f3-152b3079bd77_jpg.jpg

Berdemokrasi/berpemilu atau berpolitik yang berlandaskan Pancasila tidak hanya berpegang pada kaidah hukum, tetapi juga pada kesadaran dan kepantasan moral yang mengedepankan etika nilai-nilai Pancasila.

Bangsa Indonesia harus konsisten dalam mengamalkan Pancasila, terutama sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dalam bentuk rasa malu dan siap mundur ketika dirinya sebagai pemimpin/pejabat negara melanggar etika/moral dan melanggar hukum.

Budaya malu dan mundur ini sangat relevan, signifikan, dan urgen diterapkan di Indonesia di saat negeri ini terpuruk oleh menipisnya etika/moral dan maraknya skandal korupsi.

Isu moralitas merupakan masalah mendasar di tubuh bangsa Indonesia. Pelanggaran moral dilakukan oleh elite dan kaum terdidik. Banyak elite dan kaum terdidik terjerat masalah hukum, terutama tindak pidana korupsi.

Minimnya penekanan nilai moral dalam proses pendidikan, sistem demokrasi dengan politik berbiaya tinggi (high cost politic), serta lemahnya pengawasan dan keteladanan, membuat pelanggaran-pelanggaran tersebut nyaris berlangsung kontinu. Semua itu membuat banyak elite bangsa tidak menampilkan satu ucap dan laku. Antara ucapan dan tindakan tidak padu.

Kehidupan masyarakat dewasa ini dipenuhi oleh tiadanya keadaban publik. Masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang sopan santun, ramah-tamah, dan penuh keadaban sekarang ini sebagian terjebak dalam perilaku kekerasan dan bentuk-bentuk ketidakadaban lainnya.

Minimnya penekanan nilai moral dalam proses pendidikan, sistem demokrasi dengan politik berbiaya tinggi (’high cost politic’), serta lemahnya pengawasan dan keteladanan membuat pelanggaran-pelanggaran tersebut nyaris berlangsung kontinu.

Hal tersebut ditandai dengan adanya persekusi sekelompok orang terhadap kelompok lain, kriminalisasi lawan politik, pembegalan di jalan raya, dan bahkan ketakadaban yang menguasai ruang publik di media sosial dan ruang-ruang dialog televisi.

Perbincangan politik tak pernah henti, kompetisi antar-elite politik makin menjadi-jadi. Apalagi di tahun politik seperti saat ini. Saling menyalahkan tiada henti, cerca-mencerca yang bersifat pribadi dan minim substansi makin menjadi-jadi. Nilai etika telah tercerabut dari akar budaya politik yang diajarkan oleh para guru bangsa.

Kepemimpinan profetik dan transformatif

Iklan

Kompleksitas situasi dan tantangan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia saat ini memerlukan kepemimpinan nasional yang kuat di semua lini.

Salah satu permasalahan bangsa Indonesia yang belum menemukan titik penyelesaian hingga saat ini ialah merosotnya integritas kepemimpinan nasional di Indonesia. Sejarah mencatat banyaknya pemimpin yang sering kali menyalahgunakan kekuasaan, yang justru berujung negatif terhadap pemimpin itu sendiri sehingga menghilangkan rasa simpati dan empati dari masyarakat.

Pola demokrasi partisipatoris, dengan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, telah meletakkan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Artinya, jika pemimpin melanggar etika, konstitusi/undang-undang, dan merugikan negara, maka rakyat bisa menyampaikan kritik dan rasa tak percaya kepada pemimpin dan meminta pemimpin untuk mundur.

https://cdn-assetd.kompas.id/EIQQZOtvMxgGzlS4xHBg9qVl4Mo=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F25%2Fa1d0059b-d1fe-47bc-a05c-bba2caca8a13_jpg.jpg

Kompleksitas yang dihadapi Indonesia saat ini dan ke depan membutuhkan sosok pemimpin yang mempunyai kapasitas dan integritas yang dapat memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin ialah mampu memengaruhi orang lain (hal-hal yang positif dan bermanfaat) dengan kapasitas yang dimilikinya.

Pemimpin itu harus mempunyai kemampuan spiritualitas, intelektualitas, dan kepemimpinan (leadership).

Upaya untuk membenahi bangsa ini menghadapi perlawanan yang sangat kuat sehingga untuk menghasilkan pemimpin yang berintegritas sangat sulit karena mereka akan teralienasi oleh sistem demokrasi yang transaksional.

Jabatan hanya bisa diakses oleh mereka yang punya uang. Salah satu cara untuk menghasilkan pemimpin yang berintegritas dan berkualitas ialah dengan mengimplementasikan konsep kepemimpinan profetik dalam kepemimpinan nasional. Secara umum konsep ini menghendaki pembebasan penghambaan manusia kepada manusia yang lain.

Kepemimpinan profetik adalah konsep kepemimpinan berdasarkan nilai moral dan spiritual masyarakat Indonesia. Membekali pemimpin dengan nilai-nilai moral yang positif. Era Reformasi telah banyak melahirkan pemimpin dan politisi yang pragmatis/oportunistis dengan wawasan kebangsaan yang rapuh. Pemimpin yang memiliki sikap kenegarawanan (statesmanship) sangat kurang sehingga kerinduan akan hadirnya negarawan semakin terasa belakangan ini.

Kompleksitas yang dihadapi Indonesia saat ini dan ke depan membutuhkan sosok pemimpin yang mempunyai kapasitas dan integritas yang dapat memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Kepemimpinan profetik diartikan pula sebagai kemampuan pemimpin untuk mengendalikan diri dan memengaruhi orang lain mencapai tujuan bersama dengan meneladani kehidupan para pemimpin yang amanah (Budiharto & Himam, 2006). Kompleksnya situasi dan tantangan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia saat ini memerlukan kepemimpinan nasional yang kuat di semua lini, baik bidang pemerintahan, politik, maupun civil society, sehingga mampu menghadirkan sebuah negara Indonesia yang kuat.

Oleh karena itu, kepemimpinan nasional yang mementingkan bangsa dan negara lebih diperlukan daripada kepentingan pribadi dan golongan. Hanya dengan perubahan sikap mental yang demikian itulah jaminan masa depan Indonesia yang lebih adil dan bermartabat dapat dipastikan (Maarif, 2015).

Negara yang kuat adalah negara yang dapat mengangkat martabat bangsa dalam pergaulan antarbangsa dan memiliki keunggulan daya saing dalam berbagai bidang. Banyak kriteria yang menunjukkan karakter kepemimpinan nasional yang kuat. Akan tetapi, tidak mudah untuk mencapai kriteria kepemimpinan yang ideal itu.

Setidaknya yang bisa diharapkan pasca-Pemilu 2024 adalah munculnya kepemimpinan dengan trilogi kepemimpinan yang kuat, yaitu keteladanan, kemauan kuat, dan kompetensi untuk membangkitkan martabat dan daya saing bangsa yang lebih bermutu.

Memiliki integritas, tidak tersangkut kasus/perkara yang merugikan rakyat banyak, termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta asusila. Memiliki visi dan misi yang jelas tentang masa depan Indonesia yang dituangkan dalam konsep yang mudah diketahui masyarakat dan memiliki wawasan keindonesiaan dan kedaerahan yang cukup agar mampu menjadi kekuatan pemersatu (integrating factor) bagi NKRI.

https://cdn-assetd.kompas.id/Q6wiNXo6r93sy-KVC7fHdRYcCEk=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F30%2F97931caf-16fa-47f2-b4b8-2a5429d81e27_jpg.jpg

Kepemimpinan pascapemilu

Kepemimpinan Indonesia pasca-Pemilu 2024 adalah kepemimpinan yang transformatif, bukan transaksional. Memiliki karakter memimpin, menginspirasi, memotivasi (leading-inspiring-motivating). Kemampuan dalam memimpin (leadership competency) dan kearifan (wisdom) merupakan hasil akumulasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap (knowledge, skill, and attitude) yang positif dalam konteks kepemimpinan.

Berani mengambil keputusan yang efektif, transformatif, cepat, tepat waktu, dan akurat dalam menghadapi dan mengatasi krisis, konflik, dan permasalahan genting. Memiliki kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang ditunjukkan, antara lain, melalui kemampuan dalam menguasai diri serta kepekaan dan empati terhadap permasalahan yang dihadapi bangsa dan negara.

Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa demokrasi saja tidak cukup. Demokrasi memerlukan etika politik dan wawasan kebangsaan. Praktik demokrasi yang tidak dipayungi nilai-nilai/etika dan tidak dilandasi oleh wawasan kebangsaan yang memadai akan membuat demokrasi tak membumi dan menghasilkan model demokrasi prosedural saja. Demokrasi akan sarat dengan distorsi ketika nilai-nilai Pancasila dan wawasan kebangsaan dinafikan dan dilupakan oleh para elite dan aktor politik serta masyarakat.

Dalam kehidupan demokrasi yang sudah mapan, sistem lebih berpengaruh daripada pemimpin. Ini karena demokrasi mengajarkan pemimpin bekerja dalam sistem. Dalam konteks Indonesia, membangun sistem sangatlah penting.

Namun, realitasnya, peran pemimpin relatif lebih dominan dan atau menentukan. Indonesia membutuhkan kepemimpinan profetik dan transformatif, bukan transaksional. Pemimpin transaksional cenderung mengambil keputusan dengan pertimbangan untung-rugi.

Pemimpin profetik dan transformatif cenderung berorientasi pada perubahan demi tercapainya tujuan, dengan sejauh mungkin melibatkan pengikutnya. Mereka memanfaatkan soft power dengan memberi contoh, memotivasi pengikut agar memiliki idealisme dalam upaya mencapai tujuan.

Baca juga: Ihwal Keserakahan: Celeng dan Manusia Kerdil

R Siti Zuhro, Profesor Riset BRIN

https://cdn-assetd.kompas.id/uJ86AlEclF9rxlJLMN7SxxyAt84=/1024x579/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F01%2F14%2FScreen-Shot-2021-01-14-at-15.04.59_1610620729_png.jpg

R Siti Zuhro

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan