logo Kompas.id
OpiniPemilih Bermartabat
Iklan

Pemilih Bermartabat

Pemilu adalah bentuk pengakuan luar biasa atas martabat pribadi manusia. Setiap manusia dianggap sama.

Oleh
MARTINUS JOKO LELONO
· 7 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/jVyMtVU-HuiTdtLsYBJKntILMXA=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F13%2Fb0e9ee24-f5eb-4053-b2e0-b6d1f8c25b9b_jpg.jpg

Salah satu kekhasan dari pemilu dalam masyarakat demokratis adalah "didengarkannya suara tiap-tiap pribadi". Berbeda dari masyarakat monarkis atau kerajaan yang pemimpinnya ditentukan secara turun-temurun tanpa proses mendengarkan semua orang, pemilu memberi kesempatan rakyat untuk menyampaikan pendapatnya.

Dulu semangat demokrasi ini dimulai dari sistem pengaturan polis-polis atau kota-kota di Yunani Kuno. Kata demokrasi berasal dari kata demos (kekuasaan) dan cratos (rakyat). Demokrasi kita pahami sebagai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pada zamannya, di Yunani Kuno, orang-orang di polis-polis tertentu akan berkumpul di campus (lapangan) untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut hidup bersama.

Orang akan menyampaikan pendapat mereka dan akan ada beberapa yang memimpin pertemuan. Pendapat-pendapat dari rakyat itulah yang akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan keputusan bersama. Ini mirip sistem musyawarah yang diamanatkan dalam rumusan sila ke-4 Pancasila.

Di masyarakat dengan jumlah penduduk yang kecil dan terbatas seperti polis di Yunani, proses seperti ini amat dimungkinkan, tetapi setelah jumlah masyarakat semakin banyak, hal ini tidak mungkin lagi. Oleh karena itu, dibuatlah sistem perwakilan yang kemudian melahirkan sistem pemilu untuk mendapatkan perwakilan di dewan perwakilan rakyat (DPR), termasuk juga untuk menentukan pemimpin.

Pemilu adalah bentuk pengakuan luar biasa atas martabat pribadi manusia. Setiap manusia dianggap sama.

Di Indonesia pernah ada masa presiden ditentukan oleh wakil rakyat (MPR), tetapi sejak Pemilu 2004, presiden dan wakil presiden ditentukan oleh rakyat.

Kehebatan dari sistem demokrasi adalah bahwa kekuasaan presiden, wakil presiden, ataupun DPR tidak mutlak. Ada sistem pengawasan, tetapi juga ada batasan waktu yang memungkinkan adanya koreksi terus-menerus terhadap sistem yang sudah berjalan.

Hal yang demikian tak terjadi dalam sistem kerajaan. Sayangnya, dalam masyarakat demokratis, adakalanya koreksi itu semakin baik, ada saatnya koreksi itu semakin buruk, tergantung kualitas pemimpin dan perwakilan yang dipilih rakyat melalui pemilu. Dalam hal ini, suara rakyat sangat menentukan karena hasil pemilu menentukan masa depan bangsa.

Kita sering mendengar celetukan di tengah masyarakat yang mengatakan, ”siapa pun presidennya, kita tetap akan hidup seperti ini”. Tentu ini bukan pola pikir yang benar. Pemilihan pemimpin menentukan arah langkah hidup berbangsa.

Tentu kita bisa belajar dari sejarah para presiden yang pernah memimpin bangsa ini. Ada yang membawa pada kemajuan, tetapi juga ada yang menjerumuskan dalam kekacauan. Pembelajaran dari sejarah itu mengingatkan kita bahwa peran pemimpin bukan hanya sekadar ada, melainkan menentukan harkat hidup banyak orang.

https://cdn-assetd.kompas.id/tU_-2QLRiHHceAQ5xCskR0NnF8E=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F19%2F12ed199c-f061-447f-9e79-2c658d41e1ef_jpg.jpg

Manusia bermartabat

Pemilu adalah bentuk pengakuan luar biasa atas martabat pribadi manusia. Setiap manusia dianggap sama. Di negeri ini, pemilu memberikan hak yang sama kepada rakyat Indonesia.

Di sana tidak ada diskriminasi, apa pun suku dan agamanya, latar belakang sosial-ekonomi, dan latar belakang pendidikannya. Martabat manusia yang setara di hadapan negara dan di hadapan hukum sangat dihormati.

Hanya, dalam prosesnya, pendapat setiap pribadi bisa dimanipulasi oleh berbagai hal sehingga pemilu tidak menjadi kesempatan untuk menyatakan pendapat secara langsung, umum, bebas, rahasia (luber), jujur dan adil (jurdil).

Manipulasi terhadap pilihan masyarakat itu bisa terjadi dalam beberapa bentuk: tekanan atau ancaman, pembodohan publik melalui media, dan berbagai kampanye hitam yang mengurangi netralitas masyarakat dalam berpikir.

Pertama, terkait tekanan atau ancaman, kita pernah mengalami masa ketika kelompok masyarakat tertentu diancam dengan berbagai konsekuensi kalau tidak memilih partai tertentu. Penelitian berjudul ”Strategy of Golongan Karya to be Winner in Election Year 1971-1997” mengungkap adanya penggunaan kekuatan militer, birokrasi, organisasi massa, dan kebijakan pemerintah untuk memenangi pemilu.

Antonio Gramsci, teoretikus asal Italia, menuliskan tentang hegemoni, bahwa sampai pada tahap tertentu, masyarakat bisa saja dengan sukarela mendukung apa yang diinginkan kelompok yang mendominasi karena ada ide-ide yang seakan membenarkan posisi kaum berkuasa. Dalam hal ini, masyarakat tak memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan.

Mengikuti pendapat Franz Magnis-Suseno dari STF Driyarkara, pemilu bukanlah untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.

Tentu, sudut pandang yang sama tak bisa disematkan pada partai yang sama pasca-Pemilu 1997. Sudah terjadi perubahan besar dalam sistem demokrasi kita yang tidak memungkinkan terjadinya pola yang sama.

Kedua, tentang pembodohan melalui media. Saat ini, melalui berbagai media arus utama (mainstream) ataupun non-mainstream yang partisan, kita melihat adanya upaya berbagai macam orang untuk ”mencuci bersih” cela dari calon pemimpin. Di media komunikasi modern, mereka ini disebut buzzer, orang-orang yang memang bekerja untuk menggaungkan ide-ide tertentu, baik yang positif tentang pihak yang dipilih maupun negatif tentang pihak yang berseberangan.

Tentu kita sudah mendengar tentang bekas koruptor yang mendaftar sebagai calon anggota legislatif di beberapa tingkatan dewan perwakilan. Mereka yang jelas-jelas memiliki cacat cela dibela timnya supaya layak dipilih.

Ini juga terjadi pada capres dan cawapres yang berlaga di pilpres kali ini. Ada upaya menutup-nutupi cacat cela atau upaya memoles dan mendandani para calon agar kelihatan putih tanpa cela.

Agar tak terkecoh, kita harus paham akan sejarah. Dalam bahasa Presiden Soekarno, jas merah, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Di sana akan kelihatan keaslian wajah calon-calon kita. Mereka tidak benar-benar putih, mereka abu-abu, punya kebaikan, tetapi juga punya cacat cela.

Iklan
https://cdn-assetd.kompas.id/WanOq96N44FfDVsNvk-GuGIryJk=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F14%2F077d30da-ff8c-4f2a-ae32-0b2291af70d7_jpg.jpg

Ketiga, tentang kampanye hitam yang digaungkan sehingga mengurangi netralitas dalam memilih. Jika pembodohan publik lebih ingin mempercantik calon-calon, maka kampanye hitam ingin menimpakan tinta hitam di wajah calon-calon yang menjadi kompetitor.

Di era media sosial, kita menemukan orang-orang yang memang bekerja untuk menunjukkan cela dari calon lain.

Tujuannya jelas, menaikkan elektabilitas calon yang dibela dan menjatuhkan kepercayaan publik terhadap calon pesaing.

Salah satu bentuk kampanye hitam yang terkenal adalah playing victim, yakni dengan menunjukkan bahwa calon yang dibela adalah korban dari lawan politik. Dengan cara ini, masyarakat digiring untuk memiliki simpati kepada calon yang dipilih dan antipati terhadap calon yang jadi kompetitor.

Apakah kenyataannya itu benar atau tidak, orang tak peduli karena memang yang dimainkan adalah perasaan pemilih saat menentukan pilihan di bilik suara. Di sini manipulasi terhadap pilihan terjadi. Kita bisa jatuh pada sikap menjadi bagian dari kawanan yang mengikuti saja apa yang menjadi opini publik yang belum tentu benar kenyataannya.

Bukannya menentukan secara bebas, mereka dikelabui oleh berbagai macam tipuan dengan cara menutupi borok, membesar-besarkan kebaikan dari calon, dan sebaliknya menampakkan cela dan menutupi kebaikan pesaing. Itulah mengapa hari-hari ini kita mengenal istilah pemilih rasional dan pemilih emosional.

Sinetron

Salah satu kecenderungan masyarakat bekas jajahan seperti di Indonesia adalah melihat secara hitam putih. Hal ini ditampilkan dalam buku Edward W Said berjudul Orientalism yang mencoba membongkar pola pikir yang dicekokkan oleh para penjajah kepada masyarakat jajahan.

Pada era tertentu, mungkin juga masih terjadi pada masa ini, orang Indonesia merasa bahwa dirinya lebih buruk dari mereka yang berasal dari daratan Eropa, padahal kita sama-sama manusia.

Di media komunikasi modern, mereka ini disebut ’buzzer’, orang-orang yang memang bekerja untuk menggaungkan ide-ide tertentu, baik yang positif tentang pihak yang dipilih maupun negatif tentang pihak yang berseberangan.

Di sisi yang lain, ada pembelaan bahwa meskipun tertinggal, masyarakat Indonesia adalah orang baik karena kita tak melakukan penjajahan, sementara Belanda melakukan hal itu.

Orang Indonesia adalah orang-orang baik (putih seperti salju) dan orang Belanda itu orang-orang jahat (hitam seperti arang). Logika berpikir ini dilanggengkan oleh logika film dan sinetron yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia yang dalam berbagai plotnya sebagian besar memberi gambaran hitam dan putih.

Sangat jelas siapa yang protagonis dan siapa yang antagonis. Yang baik ditampilkan dengan sebaik mungkin (sering kali dibumbui dengan gambaran dirinya sebagai korban), sementara yang jahat digambarkan sebagai pribadi bengis.

Kita tak terbiasa untuk melihat kenyataan bahwa di dalam hitam ada putih, di dalam putih ada hitam. Fakta bahwa penjajah itu jahat tentu kita menerima, tetapi mereka juga memiliki jasa untuk perkembangan di Indonesia.

Hal ini, misalnya, tampak dalam penemuan candi-candi, dimulainya pendidikan modern, penemuan bunga Rafflesia arnoldii dan juga pembangunan berbagai bangunan bersejarah di negeri ini.

Fakta bahwa orang Indonesia jadi korban selama penjajahan tentu benar, tetapi kita lupa bahwa di antara warga bangsa ini ada orang-orang yang menjual kemerdekaan bangsa kita dengan menyerahkan pengaturan perdagangan kepada orang-orang Belanda. Ada pula di antara mereka yang menjadi antek penjajah untuk semakin menyengsarakan saudara-saudari sebangsanya sendiri.

https://cdn-assetd.kompas.id/eglTAtaUGoSQBm2oKh8QLpMnl-s=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F05%2F8bc358c0-3504-479e-bd9a-383f8e54d69c_jpg.jpg

Logika sinetron ini masih berjalan sampai hari ini. Saat ini ada tiga sinetron yang dipertontonkan. Ada sinetron yang tokoh protagonisnya adalah pasangan calon nomor 1 dan antagonisnya pasangan calon nomor 2 dan 3.

Ada sinetron yang tokoh protagonisnya pasangan calon nomor 2 dan antagonisnya pasangan calon nomor 1 dan 3. Ada sinetron yang tokoh protagonisnya adalah pasangan calon nomor 3 dan antagonisnya pasangan calon nomor 1 dan 2.

Semoga kita bisa keluar dari logika sinetron ini dan melihat dengan lebih jeli seberapa baik setiap calon, termasuk juga seberapa buruk setiap calon.

Mengikuti pendapat Franz Magnis-Suseno dari STF Driyarkara, pemilu bukanlah untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Ungkapan ini mungkin berasal dari prinsip moral, minus malum, memilih yang keburukannya paling sedikit. Pilihan kita bukan lagi hanya ditentukan oleh manipulasi-manipulasi, melainkan oleh keputusan bebas kita sebagai pribadi yang bermartabat.

Pemilu disebut sebagai pesta demokrasi ketika suara setiap pribadi didengarkan. Inilah kesempatan bagi warga bangsa ini untuk menjadi pribadi yang merdeka saat pilihan-pilihannya ditentukan oleh pemikiran yang rasional, bukan oleh emosi-emosi yang lahir karena manipulasi sana-sini.

Baca juga: Pemilih Muda dan Buaian ”Politainment”

Martinus Joko Lelono, Pengajar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Joko Lelono
JOKO LELONO

Joko Lelono

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan