logo Kompas.id
OpiniKetiadaan Politik di Tahun...
Iklan

Ketiadaan Politik di Tahun Politik

Dari pemilu ke pemilu, politik hanya dipraktikkan sebagai seni meraih kekuasaan. Ini membahayakan masa depan persatuan.

Oleh
SUNARYO
· 4 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/HDpVT1tdGHlbI-wnuT_5WMrmAQs=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F12%2Ff7e92b08-e845-4fcd-8af3-2a7e2c749cc1_jpg.jpg

Menjelang Pemilu 2024, hiruk-pikuk dan kasak-kusuk politik berlangsung massif sejak tahun lalu. Masing-masing pihak mencari peluang dan memaksimalisasi berbagai kemungkinan untuk menang dan berkuasa. Sebagaimana yang kita saksikan, berbagai cara dilakukan, bahkan dengan menabrak dinding pembatas aturan main. Demi kemenangan dan kekuasaan, segala sesuatu dimungkinkan. Maka demikianlah kita semua diajarkan bagaimana politik dipraktikkan di negeri ini.

Dalam arti yang riil, politik adalah sebagaimana didefinisikan oleh Harold Lasswell sebagai “the study of who gets what and how.” Padahal, dalam arti yang lebih luhur, politik adalah upaya untuk merealisasikan kebaikan bersama (common good) untuk hidup bersama. Istilah politik (the political) juga “dikeramatkan” oleh John Rawls sebagai capaian melahirkan kesatuan sosial (social unity) dengan konsensus berkeadilan (overlapping consensus).

Berpolitik artinya seseorang mengerti bagaimana seharusnya membuat aturan yang bisa saling diterima (reciprocal). Kemampuan ini menjadi bagian dari realisasi sense of justice. Orang yang melakukan sesuatu seenaknya tanpa mempertimbangkan prinsip resiprokal tidak sejalan dengan nilai-nilai politik (political values). Orang semacam ini dianggap sebagai manusia yang abai pada prinsip kewarasan publik (reasonableness) dan karena itu merupakan ancaman bagi politik.

Baca juga: Kekuasaan dan Politik di Indonesia

Dengan pemahaman ini, kita diberikan konteks mengapa politik menjadi sangat penting untuk membangun kehidupan kolektif yang adil. Tanpa politik, kehidupan kolektif seperti negara menjadi sangat ringkih dan tidak memiliki daya tahan kesatuan sosial. Politik mendidik kita menjadi warga yang mengerti prinsip-prinsip kehidupan bersama secara adil dan diorientasikan untuk kebaikan bersama. Secara komprehensif, sejatinya nilai-nilai yang ditegaskan dalam Pancasila merupakan realisasi politik yang luhur.

Namun, apa yang kita saksikan dari setiap peristiwa politik di negeri ini, kita tidak menyaksikan hal itu. Politik yang dipraktikkan oleh para politisi hanya soal cara meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Kita tidak mengenal politik sebagai realisasi perjuangan nilai-nilai fairness. Dalam politik keseharian, kita hanya menyaksikan para pelaku yang sedang memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan berbagai cara.

https://cdn-assetd.kompas.id/DlyolErAc354SxFo29U8KYmTTuQ=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F09%2F3d6ca036-72b2-4992-8323-a81784f60b6e_jpg.jpg

Peradaban politik

Dalam pemilu, sebuah peristiwa besar politik, kita menyaksikan perilaku yang absurd. Para politisi menghabiskan uang yang sangat besar, dengan jumlah yang sulit dibayangkan, untuk “membeli” suara pemilih. Tidak ada perbincangan mengenai cara menata masa depan yang lebih baik dan adil secara konkret dan dengan kontrak yang jelas. Karena perbincangan mengenai ini tidak pernah jelas, maka warga barangkali akhirnya melihat sembako dan amplop sebagai hal yang lebih konkret.

Iklan

Dari pemilu ke pemilu, dan dari satu kekuasaan ke kekuasaan berikutnya, kita belum mengalami pergeseran budaya politik yang substantif. Politik hanya dipraktikkan sebagai seni meraih kekuasaan dan mempertahankannya dengan berbagai cara. Tidak ada upaya yang cukup kuat dari semua pihak untuk mengubah peradaban politik kita. Bahkan ada kecenderungan, orang-orang yang kita anggap mengerti politik yang luhur, ketika terjun dalam realpolitik, mereka kemudian luluh dalam perilaku realpolitik.

Jika kita tetap membiarkan praktik politik semacam ini, maka kita betul-betul ada dalam bahaya politik yang sangat serius. Ia dapat membusukkan kemanusiaan kita.

Kita pernah menyaksikan figur-figur yang memberikan harapan perubahan peradaban politik kita. Namun praktik realpolitik seakan mengajarkannya bahwa politik luhur hanya ada di buku atau dalam pikiran. Praktik realpolitik adalah tentang semua kesempatan yang bisa dimaksimalkan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Bahkan undang-undang yang diharapkan bisa sedikit menjinakkan perilaku politik semacam ini dapat “diatur” untuk kepentingan kekuasaan.

Jika kita tetap membiarkan praktik politik semacam ini, maka kita betul-betul ada dalam bahaya politik yang sangat serius. Ia dapat membusukkan kemanusiaan kita. Secara sadar para pendiri bangsa sudah mengingatkan pentingnya “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tidak ada nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam praktik politik keseharian kita. Semua pihak saling sikut dan saling menyandera demi menjaga kepentingan pribadi dan kelompoknya.

https://cdn-assetd.kompas.id/fpc8f_dyk4ehrviw_vVmKHlnxZg=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F17%2F761c66e3-11d5-4892-af11-c9e03f8f72dc_jpg.jpg

Praktik politik ini juga membahayakan masa depan persatuan kita. Persatuan yang tidak diikat oleh jaminan keadilan adalah persatuan yang sangat ringkih. Praktik politik kita telah melahirkan ketimpangan yang dalam. Yang kaya semakin kaya. Yang berkuasa semakin tak bisa disentuh. Sementara yang miskin semakin tidak berdaya. Kita harus ingat pada hukum sejarah, tanpa keadilan, tidak ada alasan buat kita semua untuk mempertahankan persatuan.

Kita tentu masih memiliki kesempatan memperbaiki kondisi yang memprihatinkan ini. Pertama, tentu saja kita perlu kembali pada cita-cita luhur politik sebagaimana yang ada dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Di dalamnya sudah ditegaskan bahwa negara kita adalah negara hukum dan menjamin kesetaraan semua warga di muka hukum. Politik yang kita praktikan seharusnya merupakan realisasi politik Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Politik adalah perjuangan kita merealisasikan keadilan dan emansipasi.

Baca juga: Nyali Wasit dan Realpolitik

Kedua, kita juga perlu melihat kembali seluruh pengaturan praktik politik kita hari ini. Sistem yang kita punya saat ini tampaknya tidak mampu melahirkan tatanan sosial politik yang fair. Akses terhadap kekuasaan banyak ditentukan oleh modal finansial yang besar. Orang-orang dengan kompetensi dan visi keadilan yang luhur tetapi minus modal finansial sulit untuk masuk dalam kekuasaan.

Ketiga, penguatan demokrasi dan masyarakat sipil harus dikembalikan. Dalam beberapa tahun terakhir, ada banyak pembatasan yang dialami oleh masyarakat sipil. Jika tidak ada perbaikan atas kondisi ini, pemerintah akan berjalan tanpa pengawasan. Kita sadar bahwa cita-cita politik luhur barangkali tidak akan pernah terealisasi secara sempurna. Namun dengan pengawasan yang betul-betul efektif, kita bisa mengingatkan praktik realpolitik agar tidak menyimpang terlalu jauh.

Sunaryo, Dosen Universitas Paramadina

Sunaryo
ARSIP PSIKINDONESIA.ORG

Sunaryo

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan