Demokrasi Buruk Rupa
Pembusukan demokrasi adalah ketika rezim kekuasaan tak mampu mengatasi kekuatan warga sipil yang dianggap mengancam.
Pesta demokrasi Pemilihan Presiden 2024 tinggal menghitung hari. Pesta ini mestinya disambut gembira, semangat, antusias, dan sukacita karena merupakan ungkapan sejati kuasa rakyat.
Anak bangsa tengah menunggu pemilu berkualitas, yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tentu, tak ada yang menghendaki pemilu ugal-ugalan tak berkualitas, irasional, tak bertanggung jawab, penuh manipulasi hukum, malapraktik kekuasaan, kecurangan, keculasan, dan kelicikan.
Namun, tanda-tanda pemilu ugal-ugalan itu justru tampak di depan mata. Hal itu ditandai dengan pembusukan demokrasi dan dicederainya proses reformasi dalam satu dekade terakhir, yakni melalui dominasi kekuatan oligarki, mafia dan kartel politik, politik transaksional, dan klientelisme dalam pemilu (Aspinall dan Berenschot, 2019; Asrinaldi et al, 2021); penggunaan cara-cara otoritarianisme dalam menghadapi berbagai kekuatan dan gerakan sosial (Mujani dan Liddle, 2021); serta pemberangusan aneka gerakan masyarakat sipil (Dibley dan Ford, 2019).
Pembusukan demokrasi menggiring pada pembusukan pemilu demokratis. Tandanya mulai tampak dari manipulasi aturan hukum bernuansa nepotisme melalui Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meloloskan calon wakil presiden tertentu.
Alih-alih demi kepentingan rakyat, hukum justru dimanipulasi demi kepentingan diri sendiri dan kroni.
Selain itu, intervensi negara dalam proses pemilu yang menunjukkan sifat partisan dan tidak netral, mobilisasi aparatur negara untuk mengarahkan pilihan pemilih, serta cara-cara komunikasi politik yang menggerus norma publikâthe power of incivility.
Pembusukan demokrasi
Pembusukan demokrasi efek dari âkekuasaan buruk rupaâ, yaitu rezim kekuasaan yang menjalankan negara dengan cara-cara melabrak aturan hukum dan norma publik. Alih-alih demi kepentingan rakyat, hukum justru dimanipulasi demi kepentingan diri sendiri dan kroni.
Rakyat yang telah mengangkat sang penguasa ke singgasana kekuasaan kini dikhianati dengan mengabaikan kepentingannya dan membungkam suara-suaranya atas nama hukumâthe decaying democracy.
Pembusukan demokrasi adalah ketika rezim kekuasaan tak mampu mengatasi kekuatan masyarakat sipil yang dianggap mengancam. Cara-cara kekerasan digunakan untuk membungkam kekuatan itu yang menggiring pada penggunaan taring otoritarianisme (Bobbio, 2005).
Pembubaran dan pelarangan beberapa gerakan sosial berakar masyarakat sipil selama satu dekade terakhir ini menunjukkan cengkeraman kuku otoritarianisme yang menghancurkan fondasi masyarakat sipil (Mujani dan Liddle, 2021).
Pembusukan demokrasi akibat lorong gelap kekuatan tak tampak dalam tubuh demokrasi. Kekuatan mesti tampak jelas di mata publik agar publik dapat mengawasi, memonitor, dan mengevaluasi gerak-gerik pemegang otoritas kekuasaan (Rosanvallon, 2008).
Pembusukan demokrasi adalah ketika rezim kekuasaan terbawa hanyut arus partisan dalam kondisi polarisasi sosial.
Alih-alih meredakan efek polarisasi, rezim kekuasaan justru menjadi bagian polarisasi itu. Rezim terperangkap mental âkelompok-sentrisâ, yang mendorongnya mengidentifikasi diri dengan kelompok pendukung, dengan mendahulukan kepentingan mereka dalam mengelola negara, yang menciptakan jurang menganga antara kepentingan kelompok dan kepentingan rakyat (Luttig, 2023).
Pembusukan demokrasi akibat rezim kekuasaan yang tersandera utang politik ke donorâoligarki atau donor asingâyang mengendalikan dan mengarahkan setiap kebijakan politik-ekonomi, bahkan sosial-budaya. Proses pemilu langsung berbiaya besar, membangkitkan gairah para donor oligarki untuk membiayai proses kampanye dengan imbalan kekuasaan politik/ekonomi. Di sinilah demokrasi menjelma menjadi oligarki (Winters, 2011; Hadiz dan Robison, 2013).
Pembusukan demokrasi karena hubungan gelap politik klientelisme, yaitu relasi timbal balik dukungan antara politikus dan akar rumput sebagai penyumbang suara.
Pembusukan demokrasi karena hubungan gelap politik klientelisme, yaitu relasi timbal balik dukungan antara politikus dan akar rumput sebagai penyumbang suara. Di sini kandidat menggunakan perangkat dan jaringan nonpartai, khususnya perangkat desa dan aparat sipil negara, untuk mendulang suara dalam relasi kebergantungan pada makelar politik.
Pembusukan demokrasi adalah ketika rezim kekuasaan terbawa mimpi indah politik dinasti, yaitu pewarisan kekuasaan ke keluarga yang tidak berbasis meritokrasi dan kapasitas atau kemampuan, tetapi garis keturunan. Tujuannya, melanjutkan kekuasaan melalui berbagai bias kebijakan atau manipulasi aturan hukum.
Hasrat kekuasaan tak terbendung telah membutakan mata kekuasaan akan kapasitas, kapabilitas, dan rekam jejak yang diperlukan bagi seorang pemimpin (Phillips, 2004).
Pembusukan demokrasi adalah ketika hantu-hantu ketakadaban bergentayangan dalam relasi sosial-politik, yaitu gerak-gerik aktor politik yang menafsir ulang, melabrak, melanggar, dan merendahkan norma-norma publik.
Inilah hantu pemimpin dan calon pemimpin yang merayakan pola narasi yang melebarkan polarisasi melalui bahasa dan narasi vulgar, kasar, sarkastis, menyerang, provokatif, dan mendorong pembunuhan karakter yang mengotori keadaban publik (Bouvier dan Way, 2021).
Pemilu berkeadaban
Salah satu masalah mendasar demokrasiâkhususnya di pemiluâadalah terpilihnya para pemimpin âkualitas rendahâ yang menghasilkan budaya demokrasi berkualitas rendah. Inilah para pemimpin âbudak sloganâ, yang menang pertarungan karena janji manis dengan kemasan slogan dan citra memukau.
Semua janji itu pada akhirnya diingkari dan mandat dikhianati karena pemimpin itu lebih sibuk melayani imbal balik dari aneka kepentingan yang telah membantu memenangi pertarungan (Cunningham, 2002).
Pilpres 2024 ditandai oleh dua masalah mendasar demokrasi, yaitu cacat hukum dan etis. Pernyataan Presiden Joko Widodo, bahwa presiden âboleh kampanye dan memihakâ, berpotensi melanggar UU Pemilu.
Pilpres 2024 juga diramaikan oleh panggung teater ketakadaban (incivility) yang di dalamnya dipertunjukkan aneka sandiwara politik dengan lakon-lakon yang menampilkan bahasa sarkastis, gestur ironis, dan gimik bombastis.
Panggung teater para pemimpin atau calon pemimpin negara ini menunjukkan matinya makna kenegarawanan.
Jika negara dan aparatusnya tak bisa lagi diharapkan mengawal pemilu berkeadaban, satu-satunya kekuatan pengawalan adalah kekuatan rakyat.
Ironisnya, negara yang mestinya menjaga dan mengawal proses pemilu demokratis yang berkeadabanâlangsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adilâjustru menjadi bagian dari kelicikan, keculasan, kebohongan, dan kecurangan itu. Negara yang mestinya menegakkan demokrasi berkeadaban justru menjadi bagian ketakadaban itu.
Pernyataan Presiden tentang boleh mendukung salah satu kontestan pilpres merupakan pukulan knock out bagi runtuhnya keadaban publik yang mengancam pemilu demokratis. Jika negara dan aparatusnya tak bisa lagi diharapkan mengawal pemilu berkeadaban, satu-satunya kekuatan pengawalan adalah kekuatan rakyat.
Rakyat, melalui kekuatan masyarakat sipil, dapat menggunakan tiga hak demokrasi: hak ekspresi untuk mengartikulasikan suara rakyat, hak keterlibatan dalam menghimpun elemen-elemen masyarakat dalam berbagai aksi, dan hak intervensi, yaitu segala bentuk tindak nyata kolektif untuk menjaga proses pemilu yang berkeadaban (Rosanvallon, 2008).
Rakyat dapat mengawal, mengawasi, memonitor, menginspeksi, menginvestigasi, dan mengevaluasi proses pemilu demokratis agar berkualitas tinggi dan berkeadaban.
Anak bangsa tak sabar menunggu pemilu berkeadaban itu yang menjunjung tinggi integritas, rasa hormat, sportivitas, dan kenegarawanan.
Anak bangsa tak menghendaki pemilu tunaadab, tunahukum, dan tunaetika yang digerakkan malapraktik kekuasaan, manipulasi hukum, nepotisme akut, dan politik dinasti. Anak bangsa tak ingin Pilpres 2024 menjadi pesta para politikus haus kekuasaan yang menggunakan taring kekuasaan untuk membangun dinasti kekuasaan, bahkan jika perlu dengan memerkosa negara.
Baca juga: Urgensi Menjaga Etika Politik dan Demokrasi di Pemilu 2024
Yasraf A Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB