Rasionalitas Pemilih dan Masa Depan Bangsa
Bangsa dan negara kita yang besar dan majemuk ini hanya bisa dikelola dengan baik kalau ditopang para pemilih rasional.
Tabuhan genderang pilpres semakin kencang. Pada saat yang sama, tensi rakyat yang hendak menyampaikan aspirasi dan hak suaranya untuk memilih presiden dan wakilnya semakin tinggi.
Namun, di balik semua euforia itu, pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah ada rasionalitas pemilih di sana, yang memilih dengan terlebih dahulu mempertimbangkan program-program kerja ketimbang pertimbangan-pertimbangan parsial dan pragmatis?
Hemat saya, di sinilah titik lemah bangsa kita ini. Pemilih bangsa kita ini terpolarisasi ke dalam tiga kelompok, yakni psiokologis (emosional), ideologis, dan rasional.
Akibatnya adalah para kandidat capres melihat ajang debat program bukanlah menjadi yang utama dan penentu dan pindah pada politik yang penuh dengan gimik dan sensasi, tetapi miskin substansi. Jualan politik yang demikian ini justru bersambut dengan psikologi politik pemilih bangsa kita ini.
Baca juga: Karakter Psikologi Pemilih Pemilu 2024
Rasionalitas pemilih di bangsa kita masih sangat kecil persentasenya. Rasionalitas pemilih di Indonesia disandera oleh psikologi politik kita yang masih sangat primordial. Kekuatan politik di Indonesia berbanding terbalik dengan kekuatan politik seperti di Amerika Serikat.
Politik di Amerika Serikat didasarkan kepada rasionalitas, yang mana pertimbangan kesejahteraan yang tecermin dalam program-program menjadi taruhan utama. Sementara itu, kekuatan politik di Indonesia tersandra oleh primordialisme politik yang tecermin dalam pemilih yang idiologis dan emosional atau psikologis.
Pemilih rasional
Pemilih rasional adalah pemilih yang mengesampingkan faktor emosional dalam memaknai suatu informasi. Proses analisis dalam pemilih rasional mengedepankan data yang afirmatif dan majemuk.
Pemilih rasional mengedepankan komunikasi aktif dan terbuka. Dalam artian, mereka bisa menjawab secara terinci kenapa mereka membuat suatu pilihan politis. Mereka tidak segan menjabarkan alasan dan faktor-faktor yang menyebabkan mereka membuat keputusan tersebut (Asmiati 2018).
Pemilih rasional adalah pemilih yang memperbincangkan, mendiskusikan, dan mengkritisi berbagai program kerja para pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) untuk menemukan kekuatan dan kerelevanan bagi kesejahteraan bangsa. Pemilih rasional adalah pemilih yang sanggup mengambil jarak dari segala ikatan simbolik yang tidak korelatif dengan kinerja dan kemajuan suatu bangsa.
Ikatan simbolik yang dimaksud di sini adalah ikatan agama, suku, ideologi, dan segala bentuk relasi parsial yang bisa menyandera pemilih untuk bertindak tidak rasional. Sekali lagi, ini adalah pekerjaan rumah besar kita semua sebagai warga negara yang ingin memajukan bangsa dan negara kita ini. Hemat saya, kita hanya bisa akan berlari cepat untuk keluar dari segala ketertinggalan kita dari kesejahteraan, kalau segala sandera simbolik yang tidak rasional itu sudah kita lepaskan.
Pemilih rasional mengedepankan komunikasi aktif dan terbuka. Dalam artian, mereka bisa menjawab secara terinci kenapa mereka membuat suatu pilihan politis.
Riset dari sejarawan Inggris, Arnold J Toynbee, kiranya memberi afirmasi terhadap betapa pentingnya menjadi pemilih yang rasional. Dalam bukunya, A Study of History, dia menulis banyak hal dari hasil risetnya tentang sejarah, asal-usul, perkembangan bangsa, dan kehancuran peradaban besar.
Salah satu hasil risetnya yang sangat terkenal dan menggemparkan banyak orang ialah tentang bangsa yang gagal dan bangsa yang berhasil. Dia mengatakan, ”Sebuah bangsa akan mengalami kejayaan ketika otak menjadi panglima, dan mengalami masa keemasan ketika otak dan hati disatukan. Tetapi, suatu bangsa akan mengalami kegagalan ketika otak dan nafsu menjadi panglima.” Hasil riset ini pun bisa menjadi pijakan refleksi untuk menentukan dan memantapkan pilihan.
Sayangnya, kontribusi pemilih rasional sepertinya kurang bergaung dan berdampak. Dalam konteks pilpres, pemilih rasional inilah yang akan cenderung golongan putih atau swing voters karena mendasarkan pilihannya kepada program dan hasil debat yang juga bagi mereka sering tidak terpuaskan karena representasi kandidat atas program tidak argumentatif dan cenderung blur. Ini juga melahirkan frustrasi tersendiri kalau rasionalitas pemilih tidak menjadi gerakan bersama.
Menatap Indonesia masa depan
Masa depan bangsa ada di tangan kita semua, yang punya hak pilih dan dipilih untuk menggagas masa depan bangsa kita. Untuk mengakomodasi dan melahirkan pemilih yang rasional, demokrasi sebagai rahim dari pemilu harus memberikan kondisi yang produktif.
Demokrasi yang produktif akan melahirkan pemilih yang rasional. Ini juga bagian dari rasionalitas pemilih yang hidup dalam alam demokrasi. Rasionalitas pemilih dan demokrasi saling mengandaikan.
Sesungguhnya, saya tidak sedang menggiring atau memaksa Anda semua yang punya hak pilih dan dipilih dalam pilpres nanti untuk menjadi pemilih yang rasional karena itu hak prerogatif Anda. Tidak ada yang bisa menggugat.
Baca juga: Pemilih Bimbang Turut Menentukan Hasil Pemilu 2024
Namun, perlu diingat bahwa bangsa dan negara kita yang demikian besar dan majemuk ini hanya bisa dikelola dengan baik, adil, dan damai, kalau dilahirkan atau ditopang oleh para pemilih yang rasional, pemilih yang bebas lepas dari segala sandera ikatan parsial dan simbolik.
Ini kiranya menjadi refleksi besar buat kita semua. Sebab, kalau lepas dari rasionalitas, bangsa dan negara kita ini akan sangat mudah digiring baik oleh kekuatan oligarki maupun oleh kekuatan komunitas parsial yang memperjuangkan ideologi dan kepentingan-kepentingan sempit yang berpotensi melahirkan benturan horizontal.
Ini yang ingin kita hindari. Maka, sedari awal hendaknya kita sama-sama mendeteksi hal ini untuk tidak muncul. Menjadi pemilih yang rasional adalah solusinya.
Dony Kleden,Antropolog dan Pemerhati Masalah Politik dari Universitas Katolik Weetebula