logo Kompas.id
â€ș
Opiniâ€șSengkarut Jabatan dalam...
Iklan

Sengkarut Jabatan dalam Kampanye

Pemilu harus diselenggarakan tanpa melibatkan pejabat sebab kewenangan jabatan yang melekat dapat disalahgunakan.

Oleh
FAJLURRAHMAN JURDI
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/wNBr449cPNJ3i9weSRLCTYVe4IU=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F01%2F78b04691-9b11-4694-825c-4086bbe96516_jpg.jpg

Diskursus soal kapan dan di mana tubuh biologis berpisah dengan tubuh birokratis adalah diskusi yang cukup lama dilakukan para ahli. Kapan seorang pejabat bertindak sebagai individu dan kapan bertindak sebagai pejabat jadi perhatian yang melebar jauh.

Intensitas perdebatan memuncak jelang kekuasaan hendak dialihkan, suksesi tengah bergulir, dan para penguasa sedang berebut kue kekuasaan. Tak sedikit orang yang memiliki jabatan merasa punya ”kekebalan” sehingga bisa melakukan banyak hal yang melanggar hukum dan moral jabatan.

Termasuk, dengan diam-diam menggunakan jabatan yang melekat di dalam dirinya untuk mendukung siapa yang dikehendaki. Dengan dalih bahwa dia ”pemilik jabatan”.

Dalam hukum administrasi, antara ”individu” dan ”jabatan” adalah hal yang terpisah. Individu adalah setiap orang, bisa siapa saja. Ia terhitung sebagai privat, sebagai pribadi. Sementara jabatan bersifat limitatif. Hanya orang-orang tertentu yang memenuhi syarat dan ketentuan hukum yang bisa menduduki suatu jabatan.

Jabatan adalah milik publik. Oleh karena itu, individu atau setiap orang yang menduduki jabatan adalah mereka yang memegang amanah publik.

Orang sebagai pribadi tidak memiliki kewenangan publik. Misalnya, si A tidak boleh menerbitkan surat larangan berkumpul di tempat umum sebab dia tidak memiliki wewenang untuk menyuruh atau melarang orang.

Tak sedikit orang yang memiliki jabatan merasa punya ”kekebalan” sehingga bisa melakukan banyak hal yang melanggar hukum dan moral jabatan.

Namun, seorang anggota polisi dapat membubarkan orang yang berkumpul dengan alasan dan syarat tertentu. Kewenangan membubarkan itu merupakan kewenangan jabatan, bukan kewenangan pribadi.

Atau, seorang kepala dinas pendidikan memerintahkan kepada kepala sekolah untuk membunuh si X, maka perintah itu bukan perintah jabatan. Sebab, di dalam kewenangan kepala dinas tak ada frasa yang berbunyi dapat memerintahkan atau membunuh seseorang. Perintah itu jelas perintah individu, bukan perintah jabatan.

Jabatan dalam kampanye

Saat ini sedang viral pernyataan Presiden yang membolehkan presiden, menteri, dan pejabat lain untuk berkampanye. Presiden menyebutkan, mereka memiliki hak politik. Tentu ini pernyataan yang cukup mengejutkan sebab bisa membahayakan birokrasi dan demokrasi jika tak ditelaah mendalam.

Kalimat ”presiden berhak berkampanye” menjadi pemicunya. Sebab, di dalam Pasal 299 (1) UU Pemilu disebutkan, ”Presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye”. Ada ketentuan yang multitafsir dalam pasal ini.

Ketentuan pasal ini diatur di bagian kedelapan yang berkaitan dengan kampanye pemilu oleh presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lain. Ada tujuh pasal, yakni Pasal 299 sampai Pasal 235. Secara umum, ketentuan ini mengatur tentang keterlibatan pejabat dalam kampanye.

Ada ahli yang tidak memperbolehkan sama sekali presiden berkampanye, seperti Bivitri Susanti, sebab dia melihat pasal ini hanya berlaku bagi presiden dan wakil yang maju kembali sebagai calon.

Iklan

Namun, KPU memperbolehkan presiden berkampanye, dengan catatan dia harus mengambil cuti. Cuti dilakukan untuk memisahkan jabatan presiden dengan individu.

https://cdn-assetd.kompas.id/WAd-tfhKrJQe2p2oz1MOkQmeOn8=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F10%2F5608a606-a4ce-44d3-95cb-4d52aa40823d_jpg.jpg

Ketentuan ini harus dihubungkan dengan Pasal 281 Ayat (1) UU Pemilu yang menyebutkan, ”Kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan: a. tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; b. menjalani cuti di luar tanggungan negara”.

Pasal 299 menggunakan kata ”melaksanakan”, sedangkan Pasal 281 menggunakan frasa ”yang mengikutsertakan”. Kata ”melaksanakan” bersifat aktif. Sementara ”yang mengikutsertakan” bersifat pasif sehingga terkesan agak sumir, apakah Presiden boleh berkampanye atau tidak jika dia tidak maju kembali dalam pilpres.

Frase yang juga penting adalah ”menjalani cuti di luar tanggungan negara”. Frasa ini bermakna, jabatan dan kewenangan jabatan yang melekat padanya di-off-kan sementara, selama rentang waktu cuti. Jika jabatannya off, penggunaan fasilitas, tunjangan jabatan, dan sebagainya berhenti. Pejabat bersangkutan hidup sebagai warga negara biasa, bukan sebagai pejabat.

Dalam kasus ini, terlepas dari perdebatan apakah presiden bisa berkampanye atau tidak, yang paling penting dalam hukum administrasi adalah ”presiden sebagai jabatan” tidak boleh melakukan kampanye. Sebab itu, ada cuti. Cuti itulah cara administratif untuk memisahkan orang dengan jabatannya.

Cuti itulah cara administratif untuk memisahkan orang dengan jabatannya.

Kalimat ”presiden dapat juga berkampanye” perlu ditelaah sebab ucapan ini bermasalah secara hukum. Pertanyaannya, (a) apakah Presiden saat mengucapkan itu memahami posisinya; (b) apakah dia mengucapkan itu maksudnya adalah sebagai presiden atau sebagai Joko Widodo (Jokowi).

Jika yang dia maksud ”presiden juga bisa berkampanye” adalah presiden dalam konteks jabatan, tentu ini ucapan yang keliru. Namun, jika yang dimaksud ”Jokowi juga bisa berkampanye”, pilihan diksinya tak tepat. Karena secara verbal, dia mengucapkan kata ”presiden”.

Oleh karena itu, perlu ada klarifikasi langsung dari Presiden bahwa yang dia maksud ”Jokowi”, bukan ”Presiden”.

Pertanyaannya, apakah berlaku juga untuk jabatan lain? Jelas jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota adalah jabatan politik.

Dia boleh berkampanye dengan dua syarat di atas. Pasal 280 Ayat (2) UU Pemilu lebih memerinci lagi jenis jabatan yang dilarang diikutsertakan dalam kampanye. Ada sepuluh jenis jabatan yang dilarang dalam ketentuan ini, seperti ”hakim, anggota BPK, gubernur dan deputi gubernur BI, direksi, komisaris dan pengawas BUMN/BUMD, pimpinan lembaga negara nonstruktural, ASN, kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD”.

Jelas jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota adalah jabatan politik.

Jabatan-jabatan itu tak hanya dilarang berkampanye, tetapi pelaksana dan tim kampanye juga dilarang mengikutsertakan mereka. Jika ikut serta di dalamnya, mereka dikenai tindak pidana pemilu.

Hal ini menunjukkan bahwa pemilu ini harus diselenggarakan tanpa melibatkan pejabat sebab kewenangan jabatan yang melekat di dalam dirinya dapat disalahgunakan sehingga memengaruhi netralitas dan obyektivitas hasil pemilu.

Baca juga: Manipulasi Hukum dan Malapraktik Pemilu

Fajlurrahman Jurdi,Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan