Sengkarut Jabatan dalam Kampanye
Pemilu harus diselenggarakan tanpa melibatkan pejabat sebab kewenangan jabatan yang melekat dapat disalahgunakan.
Diskursus soal kapan dan di mana tubuh biologis berpisah dengan tubuh birokratis adalah diskusi yang cukup lama dilakukan para ahli. Kapan seorang pejabat bertindak sebagai individu dan kapan bertindak sebagai pejabat jadi perhatian yang melebar jauh.
Intensitas perdebatan memuncak jelang kekuasaan hendak dialihkan, suksesi tengah bergulir, dan para penguasa sedang berebut kue kekuasaan. Tak sedikit orang yang memiliki jabatan merasa punya âkekebalanâ sehingga bisa melakukan banyak hal yang melanggar hukum dan moral jabatan.
Termasuk, dengan diam-diam menggunakan jabatan yang melekat di dalam dirinya untuk mendukung siapa yang dikehendaki. Dengan dalih bahwa dia âpemilik jabatanâ.
Dalam hukum administrasi, antara âindividuâ dan âjabatanâ adalah hal yang terpisah. Individu adalah setiap orang, bisa siapa saja. Ia terhitung sebagai privat, sebagai pribadi. Sementara jabatan bersifat limitatif. Hanya orang-orang tertentu yang memenuhi syarat dan ketentuan hukum yang bisa menduduki suatu jabatan.
Jabatan adalah milik publik. Oleh karena itu, individu atau setiap orang yang menduduki jabatan adalah mereka yang memegang amanah publik.
Orang sebagai pribadi tidak memiliki kewenangan publik. Misalnya, si A tidak boleh menerbitkan surat larangan berkumpul di tempat umum sebab dia tidak memiliki wewenang untuk menyuruh atau melarang orang.
Tak sedikit orang yang memiliki jabatan merasa punya âkekebalanâ sehingga bisa melakukan banyak hal yang melanggar hukum dan moral jabatan.
Namun, seorang anggota polisi dapat membubarkan orang yang berkumpul dengan alasan dan syarat tertentu. Kewenangan membubarkan itu merupakan kewenangan jabatan, bukan kewenangan pribadi.
Atau, seorang kepala dinas pendidikan memerintahkan kepada kepala sekolah untuk membunuh si X, maka perintah itu bukan perintah jabatan. Sebab, di dalam kewenangan kepala dinas tak ada frasa yang berbunyi dapat memerintahkan atau membunuh seseorang. Perintah itu jelas perintah individu, bukan perintah jabatan.
Jabatan dalam kampanye
Saat ini sedang viral pernyataan Presiden yang membolehkan presiden, menteri, dan pejabat lain untuk berkampanye. Presiden menyebutkan, mereka memiliki hak politik. Tentu ini pernyataan yang cukup mengejutkan sebab bisa membahayakan birokrasi dan demokrasi jika tak ditelaah mendalam.
Kalimat âpresiden berhak berkampanyeâ menjadi pemicunya. Sebab, di dalam Pasal 299 (1) UU Pemilu disebutkan, âPresiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanyeâ. Ada ketentuan yang multitafsir dalam pasal ini.
Ketentuan pasal ini diatur di bagian kedelapan yang berkaitan dengan kampanye pemilu oleh presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lain. Ada tujuh pasal, yakni Pasal 299 sampai Pasal 235. Secara umum, ketentuan ini mengatur tentang keterlibatan pejabat dalam kampanye.
Ada ahli yang tidak memperbolehkan sama sekali presiden berkampanye, seperti Bivitri Susanti, sebab dia melihat pasal ini hanya berlaku bagi presiden dan wakil yang maju kembali sebagai calon.
Namun, KPU memperbolehkan presiden berkampanye, dengan catatan dia harus mengambil cuti. Cuti dilakukan untuk memisahkan jabatan presiden dengan individu.
Ketentuan ini harus dihubungkan dengan Pasal 281 Ayat (1) UU Pemilu yang menyebutkan, âKampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan: a. tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; b. menjalani cuti di luar tanggungan negaraâ.
Pasal 299 menggunakan kata âmelaksanakanâ, sedangkan Pasal 281 menggunakan frasa âyang mengikutsertakanâ. Kata âmelaksanakanâ bersifat aktif. Sementara âyang mengikutsertakanâ bersifat pasif sehingga terkesan agak sumir, apakah Presiden boleh berkampanye atau tidak jika dia tidak maju kembali dalam pilpres.
Frase yang juga penting adalah âmenjalani cuti di luar tanggungan negaraâ. Frasa ini bermakna, jabatan dan kewenangan jabatan yang melekat padanya di-off-kan sementara, selama rentang waktu cuti. Jika jabatannya off, penggunaan fasilitas, tunjangan jabatan, dan sebagainya berhenti. Pejabat bersangkutan hidup sebagai warga negara biasa, bukan sebagai pejabat.
Dalam kasus ini, terlepas dari perdebatan apakah presiden bisa berkampanye atau tidak, yang paling penting dalam hukum administrasi adalah âpresiden sebagai jabatanâ tidak boleh melakukan kampanye. Sebab itu, ada cuti. Cuti itulah cara administratif untuk memisahkan orang dengan jabatannya.
Cuti itulah cara administratif untuk memisahkan orang dengan jabatannya.
Kalimat âpresiden dapat juga berkampanyeâ perlu ditelaah sebab ucapan ini bermasalah secara hukum. Pertanyaannya, (a) apakah Presiden saat mengucapkan itu memahami posisinya; (b) apakah dia mengucapkan itu maksudnya adalah sebagai presiden atau sebagai Joko Widodo (Jokowi).
Jika yang dia maksud âpresiden juga bisa berkampanyeâ adalah presiden dalam konteks jabatan, tentu ini ucapan yang keliru. Namun, jika yang dimaksud âJokowi juga bisa berkampanyeâ, pilihan diksinya tak tepat. Karena secara verbal, dia mengucapkan kata âpresidenâ.
Oleh karena itu, perlu ada klarifikasi langsung dari Presiden bahwa yang dia maksud âJokowiâ, bukan âPresidenâ.
Pertanyaannya, apakah berlaku juga untuk jabatan lain? Jelas jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota adalah jabatan politik.
Dia boleh berkampanye dengan dua syarat di atas. Pasal 280 Ayat (2) UU Pemilu lebih memerinci lagi jenis jabatan yang dilarang diikutsertakan dalam kampanye. Ada sepuluh jenis jabatan yang dilarang dalam ketentuan ini, seperti âhakim, anggota BPK, gubernur dan deputi gubernur BI, direksi, komisaris dan pengawas BUMN/BUMD, pimpinan lembaga negara nonstruktural, ASN, kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPDâ.
Jelas jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota adalah jabatan politik.
Jabatan-jabatan itu tak hanya dilarang berkampanye, tetapi pelaksana dan tim kampanye juga dilarang mengikutsertakan mereka. Jika ikut serta di dalamnya, mereka dikenai tindak pidana pemilu.
Hal ini menunjukkan bahwa pemilu ini harus diselenggarakan tanpa melibatkan pejabat sebab kewenangan jabatan yang melekat di dalam dirinya dapat disalahgunakan sehingga memengaruhi netralitas dan obyektivitas hasil pemilu.
Baca juga: Manipulasi Hukum dan Malapraktik Pemilu
Fajlurrahman Jurdi,Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin