Beras dan Pilpres 2024
Bulan-bulan ”pesta”, seperti Ruwah, Ramadhan, Lebaran, termasuk pemilu tahun ini, berbarengan dengan paceklik beras.
Hari-hari menuju Pemilu Presiden, 14 Februari 2024, amat mencemaskan. Bukan soal kontestasi para calon presiden dan calon wakil presiden yang semakin memanas, tetapi sejauh mana pangan di negeri ini tersedia cukup dan tak jadi ”bahan bakar” tersulutnya situasi sosial-politik.
Urusan perut tidak bisa ditunda. Kalau urusan hakiki yang satu ini tak terurus, bahkan terlewatkan gara-gara para pemangku kebijakan sibuk menjaring suara, situasi sosial-politik bisa memanas. Bisa berujung huru-hara, kerusuhan.
Dari seluruh komoditas pangan, beras menduduki posisi terpenting. Ini karena partisipasi konsumsi beras di Indonesia (hampir) sempurna 100 persen: semua perut warga dari Sabang sampai Serui tergantung beras.
Mengapa? Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul dari pangan lain. Beras mudah dimasak, seluruh bagian bisa dimakan, kandungan energi 360 kalori per 100 gr, dan protein 6,8 gr per 100 gr. Pangsa beras pada konsumsi energi per kapita mencapai 54,3 persen dan 40 persen sumber protein dipasok dari beras.
Baca juga: Lebih Separuh Penduduk Indonesia Tak Mampu Makan Bergizi
Dari sisi produsen, usaha tani padi melibatkan 13,155 juta rumah tangga, tertinggi kedua di antara komoditas penting lain. Dalam struktur pengeluaran rumah tangga miskin, beras mendominasi: rerata 22 persen dari total pengeluaran. Jika harga beras naik, jumlah warga miskin pasti bakal meningkat.
Oleh karena itu, di Indonesia—dan sebagian besar negara di Asia—berkepentingan dengan beras, tidak saja sebagai komoditas upah (wage goods), tetapi juga komoditas politik (political goods). Pendek kata, beras merupakan komoditas strategis karena menjadi penopang tripel ketahanan: pangan, ekonomi, dan nasional.
Menjadi mencemaskan karena hari-hari ini harga beras kian tinggi, melampaui harga tertinggi tahun lalu (Kompas, 23/1/2024). Data Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), 29 Januari 2024, rerata harga beras medium Rp 13.430 per kilogram (kg) dan beras premium Rp 15.340 per kg.
Harga beras medium itu di rerata tertinggi tahun 2023 yang terjadi pada Oktober (Rp 13.210 per kg). Harga itu melampaui harga eceran tertinggi (HET) beras medium (Rp 10.900-Rp 11.800 per kg) dan beras premium (Rp 13.900-Rp 14.800 per kg). Guyuran beras operasi pasar bernama stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) dan bantuan pangan beras ke 21,35 juta keluarga belum mampu meredam kenaikan harga.
Menuju 14 Februari 2024, bahkan setelah itu, harga beras masih berpotensi terus naik. Ini karena, pertama, ”ekor” El Nino berdampak panjang. Merujuk data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), daerah sentra produksi padi, terutama di Jawa (Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah), sebagian besar baru melakukan penanaman di awal dan tengah Januari 2024.
Tahun 2024, karena dampak ”ekor” El Nino, produksi beras diperkirakan lebih rendah dari tahun 2022.
Hujan yang diharapkan turun merata dengan frekuensi hari hujan pendek pada Desember 2023 tak terjadi. Musim tanam serentak yang diharapkan pada Desember 2023 mundur. Ini membuat musim panen (raya) mundur. Bisa pada Mei 2024. Implikasinya, paceklik kian panjang. Padahal, setelah Pilpres 2024, pada Maret ada Ramadhan dan April ada Idul Fitri.
Kedua, produksi beras tahun 2023 dipastikan turun dari tahun 2022. Merujuk data Kerangka Sampel Area BPS, luas panen padi Januari-Desember 2023 diperkirakan lebih rendah sekitar 2,62 hektar dibandingkan pada periode yang sama pada 2022. Ini membuat produksi beras pada Januari-Desember 2023 hanya 30,89 juta ton, lebih rendah dari produksi pada periode yang sama 2022 sebesar 31,54 juta ton.
Sialnya, pada periode yang sama konsumsi naik dari 30,2 juta ton jadi 30,62 juta ton beras. Ini membuat surplus produksi beras tahun 2023 ditaksir hanya 0,27 juta ton, lebih rendah dari surplus produksi 2022 (1,34 juta ton).
Produksi lebih rendah
Tahun 2024, karena dampak ”ekor” El Nino, produksi beras diperkirakan lebih rendah dari tahun 2022. Ini tecermin dari perkiraan defisit produksi beras untuk memenuhi konsumsi Januari-Februari 2024 sebesar 2,83 juta ton, lebih tiga kali defisit pada Januari-Februari 2023 (0,89 juta ton). Karena itu, tekanan dalam bentuk harga gabah dan beras tinggi ditaksir masih terjadi.
Situasinya bisa lebih sulit dari tahun 2023. Untuk memastikan stok cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog memadai, pemerintah tidak mungkin mengandalkan penyerapan dari produksi domestik. Jurus impor kembali jadi jalan keluar. Buktinya, pemerintah sudah mengizinkan Bulog mengimpor 2 juta ton beras pada 2024.
Masalahnya, seperti galibnya komoditas politik, pasar beras di dunia bukan hanya tipis, tetapi juga bersifat stok sisa (residual stock) dan negara-negara eksportir (yang hanya segelintir negara) kian proteksionistik.
Perdagangan beras global jauh dari perdagangan yang sehat. Pertimbangan politik lebih menonjol. Dengan dalih memastikan pasokan domestik, Perdana Menteri India Narendra Modi melarang ekspor beras. Harga beras global langsung bergolak dan mencapai 630 dollar AS per ton. Dari sisi ekonomi, langkah Modi tidak masuk akal karena surplus beras India besar. Namun, dari sisi politik bisa dimaklumi.
Baca juga: Rapuhnya Cadangan Beras Pemerintah
Menipisnya stok beras di pasar global menekan negara-negara importir, termasuk Indonesia. Selain kian tak mudah membeli beras di pasar dunia, harganya pun berkejaran. Kalau pasokan dari impor ini tidak mampu diamankan Bulog, situasinya bisa rumit.
Sebab, ketiga, merujuk teori pasokan dan permintaan pangan Indonesia oleh Noer Soetrisno (Memahami Siklus Perekononian Indonesia, UB Surakarta Press, 2015), permintaan pangan signifikan terjadi pada bulan-bulan ”pesta”: Ruwah (Sya’ban), Puasa (Ramadhan), Lebaran (Syawal) yang siklusnya berbeda dengan bulan panen. Sya’ban, Ramadhan, dan Syawal bakal berturut-turut jatuh pada Februari, Maret, dan April 2024.
Ini krusial karena pada bulan-bulan ”pesta” itu persis berbarengan dengan musim paceklik beras. Kalau pasokan tak memadai, harga beras bisa tidak terkendali dan jadi masalah yang serius. Ini bakal berdampak panjang. Sebab, sampai saat ini beras masih ”menguras” belanja terbesar keluarga.
Untuk warga miskin, belanja beras saja mengambil porsi sekitar 22 persen. Karena itu, kalau harga beras naik, mereka mendadak jadi kaum paria. Bahkan, mereka yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan jadi kaum miskin baru.
Situasi sosial-politik bisa panas dan menggoyang rezim yang berkuasa jika tak bisa dikelola. Elite politik, pemangku kebijakan, dan capres-cawapres penting memahami ini.
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)