Siklus Super Pemilu Dunia 2024
Dalam episode pemilu dunia kali ini, iklim geopolitik dunia cenderung tak berpihak pada stabilitas.
Tercatat sekitar 40 negara di dunia akan melaksanakan pemilihan umum pada tahun ini. Dimulai oleh Taiwan yang telah melaksanakan pemilu pada 13 Januari 2024, sejumlah negara di benua Asia hingga Amerika akan menyusul sepanjang tahun ini, termasuk Indonesia pada Februari, India pada Mei, hingga Amerika Serikat pada November.
Jika digabungkan, negara-negara ini memiliki populasi sekitar 3,2 miliar jiwa atau 41 persen dari total populasi dunia, dengan produk domestik bruto (PDB) sekitar 44 triliun dollar AS atau 44 persen dari PDB dunia. Besarnya perayaan demokrasi sepanjang tahun ini membuatnya cocok dijuluki sebagai ”siklus super” pemilu dunia 2024.
Pemilu tentu identik dengan pesta perayaan demokrasi yang mampu memberikan dorongan pada konsumsi domestik seiring dengan aktivitas kampanye, belanja partai politik, dan anggaran negara yang dialokasikan untuk pelaksanaan pemilu tersebut.
Namun, ketidakpastian juga menjadi variabel yang melekat pada kata pemilu. Hasil dari pemilu yang sangat menentukan arah kebijakan membuat pelaku ekonomi lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Dalam episode pemilu dunia kali ini, iklim geopolitik dunia cenderung tak berpihak pada stabilitas.
Eskalasi konflik di Timur Tengah pada awal 2024, perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan, hingga tensi geopolitik antara China dan Taiwan, membayangi ”siklus super” pemilu dunia kali ini. Kondisi itu berpotensi menimbulkan aksi berhati-hati di tahun ini yang lebih besar dari episode-episode sebelumnya.
Dalam episode pemilu dunia kali ini, iklim geopolitik dunia cenderung tak berpihak pada stabilitas.
Dampak ke perekonomian global
Indikasi bahwa pelaku ekonomi dunia lebih berhati-hati tecermin dari pergerakan aset keuangan dan pola belanja modal sektor swasta. Harga emas sebagai aset keuangan yang sifatnya lebih aman telah meningkat ke level yang lebih tinggi dari puncak harga saat pandemi dan menjadi yang tertinggi dalam 50 tahun terakhir.
Sementara itu, menurut survei dari Haver Analytics, rencana belanja modal institusi swasta AS yang tergabung dalam S&P 1.500 terlihat melambat. Pada 2022, belanja modal tumbuh 21 persen dari tahun sebelumnya, sementara pada 2023 diperkirakan tumbuh sekitar 7 persen, dan 2 persen pada tahun ini.
Dalam beberapa periode pemilu sebelumnya, AS, Inggris, dan beberapa negara di Eropa cenderung memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan rata-rata tiga tahun terakhir sebelum pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa dampak ekonomi dari perilaku kehati-hatian pelaku ekonomi lebih besar daripada dorongan aktivitas pemilu dalam satu tahun pemilu.
Terlebih lagi, dalam dua tahun terakhir, kenaikan bunga acuan yang agresif dari berbagai bank sentral dunia turut berkontribusi menekan permintaan global. Dengan demikian, perekonomian dunia pada 2024 mungkin sekali untuk kembali melemah. Hal ini mulai tecermin pada berbagai indikator, mulai dari ekspor China tahun lalu yang terkontraksi untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir hingga harga minyak dunia yang sempat bergerak di bawah 80 dollar AS per barel meski eskalasi konflik di Timur Tengah memanas.
Dari sudut pandang yang lain, pelemahan ekonomi global pada tahun ini justru akan memberikan angin segar bagi sektor keuangan. Ketatnya kondisi keuangan dunia akibat kenaikan bunga acuan yang masif kemungkinan akan segera berakhir. Pelemahan ekonomi dunia lebih lanjut akan membantu meredakan tekanan inflasi ke level yang diharapkan oleh bank sentral di dunia sehingga normalisasi kebijakan moneter dapat dilakukan pada tahun ini.
Dalam kasus The Fed, bank sentral AS, bunga acuan diperkirakan dapat turun sekitar 75 basis poin (bps) pada semester dua tahun ini. Jika normalisasi kebijakan moneter dunia terjadi dan berlanjut hingga beberapa tahun yang akan datang, pasca-”siklus super” pemilu, perekonomian dunia berpotensi untuk membaik.
Dampak pemilu di Indonesia
Lalu, bagaimana dengan pemilu di Indonesia? Apakah tren dunia itu juga berlaku? Sejauh ini, indikator-indikator ekonomi makro menunjukkan tren yang berbeda dengan kondisi global.
Bank Indonesia (BI) mencatatkan bahwa indeks keyakinan konsumen cenderung meningkat pada akhir 2023 menjelang pemilu. Indeks keyakinan konsumen berada di level 124 per Desember 2023, meningkat dari 122 per September 2023. Dari komponen indeks ini, ekspektasi konsumen terhadap kegiatan usaha enam bulan mendatang meningkat pada Desember 2023 ke level 132, dari 129 per September 2023.
Hal tersebut mencerminkan optimisme konsumen Indonesia yang menjadi pendorong utama PDB domestik, baik dalam rangka menyambut pemilu maupun pascapemilu.
Indikator kegiatan usaha juga turut memperkuat sinyal positif ini. Purchasing Managers’ Index (PMI), yang lazim digunakan sebagai indikator aktivitas manufaktur, mencatatkan ekspansi yang akseleratif pada Desember 2023 ke level 52, tertinggi dalam kuartal IV-2023.
Bank Indonesia (BI) mencatatkan bahwa indeks keyakinan konsumen cenderung meningkat pada akhir 2023 menjelang pemilu.
Selain itu, kontribusi investasi dalam PDB domestik juga konsisten mengalami peningkatan menjelang pemilu, dari kuartal I-2023 sebesar 0,7 persen poin (pcp) menjadi 1,8 pcp pada kuartal III-2023. Iklim makroekonomi yang solid memberikan awal yang baik dalam pesta demokrasi domestik kali ini.
Dalam dua pemilu terakhir, indikator konsumsi dan investasi juga menunjukkan arah yang positif. Konsumsi lembaga nonprofit cenderung tumbuh dua kali lipat dibandingkan tren tiga tahun terakhir sebelum tahun pemilu.
Sementara itu, investasi asing tercatat juga meningkat, baik secara langsung maupun pada aset portofolio. Investasi asing langsung meningkat ke 15 miliar dollar AS pada 2014 dari 12 miliar dollar AS pada tahun sebelumnya. Pada Pemilu 2019, investasi asing langsung meningkat menjadi 21 miliar dollar AS dari 13 miliar dollar AS pada tahun 2018.
Dari aset portofolio, total investasi asing yang masuk meningkat menjadi 22 miliar dollar AS pada 2019, naik dari 9 miliar dollar AS pada tahun sebelumnya. Begitu pula pada periode Pemilu 2014, investasi asing pada aset portofolio meningkat ke 26 miliar dollar AS dari 11 miliar dollar AS pada tahun 2013. Dalam episode pemilu kali ini, tren yang sama juga terulang dari realisasi data kuartal I sampai kuartal III-2023.
Mengantisipasi risiko
Terlepas dari indikator makroekonomi yang positif sejauh ini, tentu juga terdapat beberapa risiko. Jika pemilu memicu ketidakstabilan sosial ataupun politik, tentu akan berdampak negatif pada perekonomian secara keseluruhan. Namun, risiko ini terbilang kecil karena indeks demokrasi Indonesia yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) konsisten membaik sejak 2009.
Risiko lain yang perlu dicermati adalah serapan anggaran pemerintah yang cenderung lebih rendah dari tren pada tahun pemilu. Hal ini disebabkan perubahan tatanan dalam pemerintah yang membuat pencairan anggaran baru akan lebih terhambat. Lebih rendahnya serapan anggaran tentu akan mengurangi dorongan positif dari belanja pemerintah, baik dalam bentuk konsumsi barang maupun investasi barang modal.
Dari sisi kebijakan, perubahan arah kebijakan paling besar dalam tahun pemilu kemungkinan ada pada kebijakan moneter. Hal ini terkait dengan kebijakan fiskal yang akan lebih business as usual, menunggu kepastian perubahan tatanan pemerintahan.
Dengan dinamika global yang cenderung lebih melemah dan domestik yang cukup resilien dalam periode pemilu, respons kebijakan moneter cenderung akan mengarah kepada posisi akomodatif. Terlebih lagi, ruang pemangkasan suku bunga acuan domestik akan terbuka seiring dengan penurunan bunga acuan AS yang diperkirakan terjadi pada semester kedua tahun ini.
Dengan inflasi yang stabil rendah, BI memiliki ruang penurunan suku bunga pada tahun ini hingga 50 bps jika The Fed menurunkan suku bunganya 75 bps. Bauran kebijakan moneter yang akomodatif tetapi tetap menjaga imbal hasil aset domestik ini akan membuat rupiah cenderung mengalami penguatan pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya.
Baca juga : Mencoba Membaca Dunia
Irman Faiz,Ekonom Bank Danamon Indonesia