logo Kompas.id
OpiniKarhutla yang Hilang dari...
Iklan

Karhutla yang Hilang dari Debat Cawapres tentang Lingkungan

Karhutla rutin terjadi dan 99 persen disebabkan ulah manusia. Sayang, ini tak dipantik oleh cawapres dalam debat.

Oleh
DELLY FERDIAN
· 4 menit baca
Ilustrasi
SUPRIYANTO

Ilustrasi

Meskipun tidak dalam, banyak gagasan penting yang muncul ke permukaan dari para calon wakil presiden pada debat bertemakan Energi, Sumber Daya Alam, Sumber Daya Mineral, Pangan, Pajak Karbon, Lingkungan Hidup, Agraria, dan Masyarakat Adat pada 21 Januari 2024.

Gagasan penting itu tentu seputar lingkungan yang pada dasarnya menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti upaya transisi energi, deforestasi, pengurangan ketergantungan bahan bakar fosil, krisis iklim, green jobs, hilirisasi, pajak karbon, dan ekonomi hijau.

Tidak kalah penting dari itu, muncul juga istilah yang teramat penting, tetapi tidak umum didengar publik, yakni greenflation (inflasi hijau) atau kenaikan harga akibat peralihan menuju ekonomi hijau yang diutarakan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, sebagai pertanyaan kepada cawapres nomor urut 3, Mahfud MD.

Inflasi hijau merupakan persoalan yang sangat penting mengingat dampak yang akan terjadi dari upaya transisi energi yang akan dilakukan. Hemat saya, semua pihak yang mempunyai komitmen untuk melakukan transisi energi atau transisi ekonomi hijau yang dianggap lebih bersih harus memahami hal ini. Sederhananya, bicara transisi dari kotor ke bersih harus mempertimbangkan segala hal dari hulu ke hilir persoalan.

Baca juga: Ancaman ”Greenflation” yang Jauh dari Indonesia, tetapi Tetap Perlu Diantisipasi

Namun, dalam konteks politik seperti pada panggung debat kali ini, istilah seperti greenflation sengaja digunakan untuk membuat lawan debat kewalahan mengingat asingnya penggunaan dan pembahasannya di media massa atau juga di forum-forum publik. Apalagi, seorang yang ditanya benar-benar tidak memiliki kapasitas terkait dengan hal ini seperti halnya Mahfud MD yang pada dasarnya seorang pakar hukum tata negara yang amat jarang bersinggungan dengan persoalan hijau.

Kendati demikian, seharusnya ajang debat selevel pemilihan presiden dan wakil presiden tetap harus mempertontonkan etika yang dijunjung tinggi dibandingkan dengan adu pintar soal pengetahuan.

https://cdn-assetd.kompas.id/cXpKi4Mr9j8kY-zIjnAeqrIGkhc=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F27%2Fe785b6a8-e4f6-4346-b26a-6da630b56e7d_jpg.jpg

Urgensi persoalan karhutla

Selain pembahasan terkait inflasi hijau, menurut hemat saya, ada persoalan lingkungan yang teramat penting, tetapi sama sekali tidak tersentuh oleh satu pun cawapres pada sesi debat yang lalu. Persoalan itu adalah bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Indonesia adalah negara yang tidak pernah absen ”didatangi” karhutla tiap tahun. Ibarat kata, karhutla sudah menjadi kutukan di negeri ini. Terakhir, pada 2023 kasus karhutla di Indonesia mencapai 1.802 kejadian atau setara 36,5 persen dari total bencana alam (4.938 kejadian).

Bencana ini pun kemungkinan besar kembali terjadi pada 2024 mengingat fenomena El Nino yang disinyalir sebagai salah satu penyebab karhutla masih akan terjadi. Ditambah lagi tahun 2024 adalah tahun politik di mana akan terjadi tumpang tindih antara kerja pemerintahan dan pemenangan pemilihan sehingga kasus-kasus semacam karhutla bisa saja terabaikan.

Indonesia adalah negara yang tidak pernah absen ”didatangi ” karhutla tiap tahun. Ibarat kata, karhutla sudah menjadi kutukan di negeri ini.

Iklan

Ironi karhutla

Bagi saya, sungguh sangat disayangkan karhutla tidak dipantik oleh cawapres pada saat debat. Sebagai salah satu korban terpapar asap karhutla, peristiwa karhutla (2015) masih begitu jelas di ingatan saya. Tidak dapat dimungkiri, karhutla di 2015 menjadi kenangan pahit yang tidak bisa dilupakan oleh banyak orang.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap bahwa luas hutan dan lahan yang terbakar pada 2015 mencapai 2,61 juta hektar atau hampir setara dengan akumulasi luas karhutla sepanjang tahun 2016-2019, yakni 2,78 juta hektar.

Buruknya, 33 persen atau 869.754 hektar dari total cakupan karhutla terjadi di lahan gambut yang merupakan ekosistem terestrial paling efisien dalam menyimpan karbon dan mengelola sumber daya air tawar global. Sementara 67 persen kebakaran terjadi di 1.741.657 hektar tanah mineral.

Dari sisi ekonomi, World Bank dalam laporannya, ”The Cost of Fire: An Economic Analysis of Indonesia’s 2015 Fire Crisis” (2015), menyebut bahwa kerugian akibat karhutla pada sektor kesehatan disinyalir mencapai Rp 2,1 triliun. Angka ini digelontorkan pemerintah untuk menyediakan layanan kesehatan selama karhutla dan bencana kabut asap berlangsung.

Pada 2019, bencana karhutla kembali lagi dengan tidak kalah menyesakkan. Lebih dari 1,6 juta hektar hutan dan lahan dibuat hangus. Negara harus kembali menerima kerugian karhutla sebesar Rp 73 triliun. Pada 2022, karhutla tidak berhenti menyesakkan kita, tercatat 204.000 hektar hutan dan lahan pun terbakar. Pada 2023, karhutla malah naik lima kali lipatnya, yakni mencapai hampir 1 juta hektar (menurut SPONGI per Oktober 2023).

Situasi kebakaran lahan di area Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, di Lantari Jaya, Bombana, Sulawesi Tenggara, Senin (30/10/2023). Puluhan hektar lahan yang terbakar menambah catatan kebakaran yang mencapai lebih dar 1.600 hektar di TNRAW pada 2023.
DOK TNRAW

Situasi kebakaran lahan di area Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, di Lantari Jaya, Bombana, Sulawesi Tenggara, Senin (30/10/2023). Puluhan hektar lahan yang terbakar menambah catatan kebakaran yang mencapai lebih dar 1.600 hektar di TNRAW pada 2023.

Bersiap hadapi karhutla 2024

Tidak dapat dimungkiri, karhutla terjadi karena sifatnya yang sangat antropogenik. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut penyebab karhutla adalah 99 persen ulah manusia dan 1 persen karena faktor alam.

Artinya, sangat kecil kemungkinan jika El Nino yang terus dipersoalkan menjadi biang keladi karhutla karena hanya berkontribusi 1 persen dalam kejadian karhutla. Akan tetapi, tidak patut juga jika kita mengabaikan El Nino karena pada kenyataannya fenomena ini menyebabkan kebakaran yang sebenarnya sudah terjadi menjadi makin parah.

Jika fakta terkait karhutla, di Indonesia sudah seperti kutukan. Lantas mengapa hal penting dan krusial semacam ini bisa luput dari perdebatan cawapres kita pada debat cawapres di 21 Januari yang lalu?

Baca juga: Janji Iklim Pemimpin Indonesia di Tahun Politik

Benar jika pada dokumen visi-misi capres-cawapres, mereka menyinggung persoalan karhutla. Akan tetapi, menyinggungnya di debat akan memperlihatkan kepada publik keseriusan kandidat dalam mengatasi masalah menahun ini.

Mungkin benar kata banyak orang, jika euforia pemilu sudah tersebar ke penjuru negeri, isu-isu yang dianggap remeh-temeh seperti karhutla akan terpinggirkan dan diabaikan. Semua sibuk mencari cara untuk memenangi pertarungan perebutan suara tanpa melihat permasalahan mendasar yang sebenarnya sedang terjadi bahkan sudah cukup lama (menahun), tetapi tidak pernah terpadamkan, seperti api yang membakar hutan dan lahan di negeri ini.

Delly Ferdian, Peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan

Delly Ferdian
ARSIP PRIBADI

Delly Ferdian

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan