Kualitas Pemilu, Kuncinya di Partai Politik
Permasalahan dalam proses pencalonan pasangan capres dan cawapres muncul karena parpol belum melaksanakan fungsinya.
Proses penyelenggaraan pemilihan umum serentak 2024 dihadang oleh sejumlah masalah.
Proses penentuan peserta pemilu, pemenuhan persyaratan dan mekanisme pencalonan, pendaftaran pemilih untuk pemilih pemula, alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan (dapil), serta kemandirian dan kompetensi penyelenggara pemilu, adalah beberapa dari masalah yang dimaksud.
Apakah masalah yang menghadang Pemilu 2024 tersebut menunjukkan peningkatan ataukah kemunduran kualitas pemilu di Tanah Air? Mari kita simak pelaksanaan tahapan pemilu berikut ini.
Dinasti politik
Melarang seseorang menjadi calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) hanya karena seseorang tersebut putra seorang presiden sama buruknya dengan menetapkan seseorang menjadi capres atau cawapres karena seseorang tersebut merupakan putra seorang presiden.
Disebut sama buruknya karena keduanya merupakan pelanggaran prinsip kesetaraan antarwarga negara yang dijamin dalam konstitusi, yakni Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.
Jabatan presiden dan wakil presiden, jabatan anggota DPR dan DPRD, serta jabatan kepala dan wakil kepala daerah merupakan jabatan politik.
Pemegang jabatan politik berbeda dengan pemegang jabatan ekonomi. Jabatan politik sangat menyangkut kepercayaan rakyat karena pemegang jabatan politik dipilih oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Jabatan ekonomi berorientasi pada mencari keuntungan sebanyak-banyaknya (profit oriented). Pemegang kedaulatan dalam sebuah perusahaan adalah mereka yang memiliki saham terbesar. Pemegang saham inilah yang menentukan pemegang jabatan di perusahaan.
UUD 1945 menetapkan pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol, dan daftar calon anggota DPR dan DPRD ditetapkan oleh partai politik sebagai peserta pemilu.
Oleh karena itu, persyaratan dan mekanisme menjadi calon untuk jabatan politik tersebut harus menggambarkan kepercayaan publik.
Kemudian, UU tentang Pilkada menetapkan pasangan calon kepala daerah, dan calon wakil kepala daerah diusulkan antara lain oleh parpol peserta pemilu. Oleh karena itu, persyaratan dan mekanisme menjadi calon untuk jabatan politik tersebut harus menggambarkan kepercayaan publik.
UUD 1945 menetapkan parpol sebagai pilar demokrasi perwakilan. Sebagai pilar demokrasi perwakilan, parpol antara lain berfungsi mempersiapkan calon pemegang jabatan politik.
Partai merekrut warga negara, pria dan perempuan, jadi anggota; melaksanakan orientasi politik kepada anggota baru sehingga memiliki wawasan kenegaraan; melaksanakan kaderisasi berkelanjutan terhadap anggota yang telah melewati orientasi politik; mewajibkan lulusan kaderisasi ikut program magang jabatan politik.
Jadi, tak mungkin seseorang dipilih menjadi ketua umum suatu partai jika baru tiga hari menjadi anggota partai. Karena jabatan politik menyangkut kepercayaan publik, seseorang akan dapat menjadi calon untuk suatu jabatan politik apabila telah memenuhi persyaratan dan prosedur berikut.
Pertama, telah menjadi anggota partai dalam kurun waktu tertentu yang menunjukkan ia telah mengikuti orientasi dan kaderisasi, dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan partai, mulai dari tingkat anak ranting sampai pada tingkat daerah.
Kedua, proses penentuan calon untuk suatu jabatan dilakukan secara terbuka, melalui persaingan secara bebas dan adil antarkader (persaingan di antara dua atau lebih calon).
Ketiga, penentuan calon tidak ditentukan oleh ketua atau pengurus partai, tetapi oleh anggota partai melalui pemilihan pendahuluan.
Apabila seseorang terpilih menjadi calon melalui persyaratan dan mekanisme seperti ini, yang bersangkutan dinyatakan sah dan berlegitimasi menjadi calon walau ia putra seorang presiden.
Karena calon untuk memegang jabatan politik diusulkan oleh parpol, maka hanya seseorang yang telah mendapat kepercayaan dari partai yang dapat berkompetisi di panggung pemilu. Permasalahan dalam proses pencalonan pasangan capres dan cawapres 2024 muncul karena parpol belum melaksanakan fungsinya sebagai pilar demokrasi.
Ironisnya, sejumlah partai memiliki kader sendiri yang punya kompetensi dan pengalaman yang memadai, tetapi justru mengusulkan orang lain yang tak memenuhi persyaratan.
Keterwakilan perempuan
Masalah lain, penyelenggaraan tahapan pemilu tak hanya tidak sepenuhnya berdasarkan UU Pemilu, tetapi juga terjadi pembangkangan secara telanjang terhadap UU Pemilu. Salah satunya dalam pencalonan perempuan.
Sebanyak 30 persen dapil anggota DPR dan DPRD untuk Pemilu 2024 menyimpang dari ketentuan Pasal 245 UU No 7/2017 mengenai keterwakilan perempuan. Hal ini berarti hilangnya kesempatan bagi ribuan perempuan untuk jadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu mengetahui dengan jelas apa yang dilakukannya menyalahi undang-undang. Koalisi sejumlah ormas sipil sudah menyampaikan keberatan atas peraturan KPU (PKPU) yang melanggar undang-undang itu, tetapi KPU mengabaikan keberatan tersebut.
KPU juga mengabaikan amar putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan KPU mengubah pasal yang dibatalkan di PKPU. Agar tak kelihatan membangkang, KPU mengirim surat edaran kepada pengurus setiap parpol agar mengikuti amar putusan MA. Ternyata hanya satu partai yang memenuhi ketentuan Pasal 245.
Permasalahan dalam proses pencalonan pasangan capres dan cawapres 2024 muncul karena parpol belum melaksanakan fungsinya sebagai pilar demokrasi.
Dua masalah lain yang menghadang Pemilu 2024 adalah sebagai berikut. Pertama, sebagian amar putusan MK, khususnya soal alokasi kursi dan penentuan dapil DPR, tak dilaksanakan KPU karena permintaan Komisi II DPR.
Kedua, pemilih pemula seperti pada pemilu sebelumnya masih menghadapi hambatan menjadi pemilih terdaftar karena belum memiliki KTP. Ini jadi masalah karena persyaratan umur untuk memiliki KTP—berdasarkan UU Administrasi Kependudukan sekurang-kurangnya 17 tahun—tak sejalan dengan UU Pemilu yang menetapkan persyaratan menjadi pemilih terdaftar pada hari pemungutan suara sekurang-kurangnya berusia 17 tahun atau lebih.
Pemilu berkualitas
Pemilu demokratis adalah pemilu berkualitas. Salah satu parameternya, proses pemilu diselenggarakan berdasarkan hukum pemilu yang tak hanya demokratis dalam proses pembuatan dan substansinya, tetapi juga menjamin kepastian hukum.
Ini penting untuk mencegah kekerasan akibat persaingan tajam antarpeserta pemilu untuk memperebutkan kursi jabatan politik.
Substansi UU Pemilu yang demokratis merupakan penjabaran tujuh asas pemilu, empat prinsip pemilu berintegritas, enam hak politik yang berkaitan dengan pemilu, dan enam aspek keadilan pemilu. Substansi UU Pemilu juga harus menjamin kepastian hukum.
Peraturan pelaksanaan UU Pemilu ditetapkan KPU setelah berkonsultasi dengan Komisi II DPR dan Mendagri. Permasalahan hukum yang menghadang Pemilu 2024 justru bersumber pada penyusunan peraturan pelaksanaan dan penerapannya di lapangan karena KPU membuat peraturan pelaksanaan tahapan tidak sesuai dengan undang-undang.
Bahkan, KPU tak melaksanakan amar putusan MK yang membatalkan sejumlah pasal UU Pemilu dan amar putusan MA yang membatalkan sejumlah pasal dalam peraturan KPU.
Baik kualitas peraturan pelaksanaan UU Pemilu maupun kualitas KPU yang melaksanakan peraturan KPU mengalami kemunduran. Hal ini patut dipertanyakan karena seharusnya kualitas peraturan pelaksanaan ataupun kualitas penyelenggara pemilu mengalami peningkatan ke derajat lebih tinggi karena pemilu telah diselenggarakan empat kali sejak Pemilu 2004.
Kontribusi partai politik
Parpol sebagai pilar demokrasi perwakilan telah disimpulkan sebagai penyebab kekacauan dalam proses pencalonan pasangan calon di pilpres. Parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di Komisi II DPR berkontribusi besar dalam kemunduran pemilu dari segi hukum pemilu.
Pertama, kader parpol di DPR merupakan pembuat UU Pemilu. Seharusnya mereka berada di garis depan melaksanakan undang-undang ini, dan mengawasi pelaksanaannya oleh KPU. Kenyataan menunjukkan sebaliknya.
Dalam UU Pemilu disebutkan bahwa peraturan pelaksanaan semua tahapan pemilu dibentuk dan dilaksanakan oleh KPU. Namun, alokasi kursi dan pembentukan dapil anggota DPR dan DPRD provinsi sebagai salah satu tahapan pemilu justru diambil alih oleh Komisi II DPR dan Kemendagri.
Ini karena tahapan tersebut menyangkut alokasi kursi dan dapil anggota DPR. Alokasi kursi dan dapil anggota DPR yang dibuat Komisi II dan Kemendagri itu bertentangan dengan Pasal 185 dan Pasal 187 Ayat (3) UU Pemilu. Atas permohonan Perludem, MK kemudian mengembalikan kewenangan itu ke KPU, dan meminta KPU mengubah apa yang sudah diatur dalam UU (Lampiran III dan Lampiran IV) melalui PKPU.
Akan tetapi, Komisi II DPR meminta KPU untuk tak mengubah alokasi kursi dan dapil anggota DPR. Karena itu, KPU hanya mengubah alokasi kursi dan dapil anggota DPRD provinsi. Sebagai pembuat UU Pemilu, seharusnya Komisi II DPR menuntut KPU melaksanakan UU Pemilu, tapi dalam praktiknya justru meminta KPU tak melaksanakan undang-undang ini.
Tindakan KPU yang memanipulasi pelaksanaan ketentuan Pasal 245 UU Pemilu, dan dengan kukuh tak melaksanakan ketentuan itu—walau MA telah memerintahkan KPU untuk mengubah pasal yang menyimpang di PKPU—juga ironis.
Parpol sebagai pilar demokrasi perwakilan telah disimpulkan sebagai penyebab kekacauan dalam proses pencalonan pasangan calon di pilpres.
Mengapa KPU begitu berani membangkang, padahal semua anggota KPU diambil sumpah/janji untuk melaksanakan pemilu berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan? Ternyata pelanggaran itu merupakan permintaan Komisi II DPR. Konon karena partai kesulitan mencari calon perempuan yang berkualitas. Padahal, rekrutmen dan kaderisasi merupakan tugas partai.
Konsekuensi dari kepatuhan mengikuti kepentingan parpol di DPR tersebut tak lain adalah tidak mandirinya KPU. Ini melanggar Pasal 7 Ayat (3) yang mengatur KPU harus bebas dari pengaruh pihak mana pun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya dalam menyelenggarakan pemilu.
Kualitas pemilu
Hampir semua masalah pemilu kita bersumber pada parpol sebagai peserta pemilu. Mereka penyumbang terbesar mundurnya demokrasi Indonesia. Demokrasi mengalami kemunduran karena dihambat dan ”dibunuh” dari dalam oleh pilar demokrasi itu sendiri.
Pemilu memang tidak sama dengan demokrasi karena pemilu demokratis hanyalah salah satu aspek demokrasi. Akan tetapi, jika proses penyelenggaraan pemilu tidak demokratis, hal itu akan menodai aspek demokrasi lainnya.
Presiden dan DPR sebagai hasil pemilu akan melengkapi roda organisasi negara—mengisi keanggotaan MA, MK, Komisi Yudisial, BPK, direksi Bank Indonesia, dan komisi negara—dan menggerakkan roda organisasi negara melalui undang-undang dan APBN dalam mewujudkan tujuan negara.
Baca juga: Jangan Merusak Demokrasi
Ramlan Surbakti, Guru Besar Universitas Airlangga, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia