logo Kompas.id
Opini”Food Estate” dan Korporasi...
Iklan

”Food Estate” dan Korporasi Swadaya Petani

Melihat kondisi ”food estate” dan perkembangan korporasi swadaya petani, kebijakan pangan yang lebih terukur diperlukan.

Oleh
HENDRIYO WIDI
· 1 menit baca
Truk tangki mengisi bak untuk penyiraman jagung di Desa Fatuketi, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Rabu (16/8/2023). Tanaman jagung yang berumur 25 hari tersebut membutuhkan air untuk masa penyerbukan. Petani harus membayar Rp 120.000 untuk satu tangki air.
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Truk tangki mengisi bak untuk penyiraman jagung di Desa Fatuketi, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Rabu (16/8/2023). Tanaman jagung yang berumur 25 hari tersebut membutuhkan air untuk masa penyerbukan. Petani harus membayar Rp 120.000 untuk satu tangki air.

Polemik lumbung pangan baru atau food estate memanas selama sepekan pascadebat calon wakil presiden pada 21 Januari 2024. Sejumlah pihak mengecap program food estate gagal dan beberapa pihak lain mengklaim kesuksesan food estate. Sementara tanpa berkoar-koar, sejumlah korporasi swadaya petani terus tumbuh mandiri mengepakkan sayapnya.

Food estate merupakan bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 yang menyasar pencetakan kawasan pangan baru, terutama di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua. Awalnya, lumbung pangan baru yang tercipta ditargetkan bisa seluas 2,41 juta hektar (ha).

Editor:
ARIS PRASETYO
Bagikan