logo Kompas.id
OpiniCawan Rapuh Demokrasi
Iklan

Cawan Rapuh Demokrasi

Semoga cawan berharga yang sedang diperebutkan itu tidak jatuh ke tangan yang sibuk memburu kepentingan sendiri.

Oleh
KARLINA SUPELLI
· 4 menit baca
Darja (60) mengais sisa-sisa besi dari puing-puing bekas permukiman warga yang kembali muncul ke permukaan akibat penyusutan Waduk Jatigede di Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Sabtu (14/10/2023). Sawah dan ladang Darja ikut ditenggelamkan untuk proyek waduk.
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Darja (60) mengais sisa-sisa besi dari puing-puing bekas permukiman warga yang kembali muncul ke permukaan akibat penyusutan Waduk Jatigede di Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Sabtu (14/10/2023). Sawah dan ladang Darja ikut ditenggelamkan untuk proyek waduk.

”Tergusur di Tanah Leluhur, Terusir di Tanah Musafir”. Judul berita ini merangkum kisah Imas, perempuan berusia 43 tahun, warga Desa Cipaku (Ayo Bandung, 23/10/2023).

Desa tempat ia bahagia hidup bertani lenyap, hilang dari peta bersama puluhan desa lainnya, tenggelam di bawah berlimpah air Waduk Jatigede. Terbenam pula cagar budaya dan situs keramat peninggalan Kerajaan Tembong Agung dan Sumedang Larang.

Tahun 2015, Imas ikut kepala desa yang mengajak warga tergusur mencari lahan agar tidak terpencar-pencar.

Imas mengangkut kayu-kayu bekas dan membangun rumah di Desa Cibaban. Jerih payahnya seperti sia-sia dua tahun kemudian. Jalur Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan menerobos lahannya. Lagi-lagi ia terusir.

Baca juga: Merana di Jatigede, Merana di Tanah Sendiri

Perahu yang terempas

Imas hanyalah satu di antara begitu banyak potret buram warga yang kualitas hidupnya merosot akibat proyek nasional atau perusahaan berskala raksasa.

Tersingkir dari ruang hidup dan sumber pencarian, ada petani yang menjadi pemulung atau buruh serabutan. Ada yang meninggal atau bunuh diri karena depresi, terjerat utang akibat ganti rugi tak layak atau tertunda-tunda. Ada yang mengalami penganiayaan, kriminalisasi, dan tertembak saat memperjuangkan haknya (KPA, 2023).

Sudut gelap di bawah panji-panji pembangunan kerap tidak kelihatan. Cerita keberhasilan selalu lebih memikat, membuat orang mudah tersilau. Angka kemiskinan menurun, tetapi kesenjangan ekonomi melebar. Warga tergusur pun bertanya-tanya. Siapa yang disejahterakan proyek-proyek raksasa itu? (Institute for Ecosoc Rights, 2023).

Pertanyaan itu menyingkap kekeliruan berpikir bahwa pertumbuhan ekonomi serta-merta meningkatkan kesejahteraan bersama.

Dalam kalimat ekonom Joseph Stiglitz, ”Tidaklah benar gelombang pasang mengangkat semua perahu. Yang lebih sering terjadi, terutama ketika badai, gelombang pasang mengempas perahu-perahu kecil ke pantai, luluh lantak hingga berkeping-keping” (2002).

Sudut gelap di bawah panji- panji pembangunan kerap tidak kelihatan. Cerita keberhasilan selalu lebih memikat, membuat orang mudah tersilau.

Pertanyaan menusuk itu dapat menjadi catatan bagi pengukuran kinerja demokrasi yang hanya memakai indikator hak sipil dan politik. Ada yang lolos, yakni bagaimana proses demokrasi memberi persetujuan kepada penumpuk laba yang memangsa kesejahteraan rakyat.

Kesejahteraan tercakup dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). Hak ini mau melindungi kebutuhan dasar manusia untuk hidup selayaknya manusia. Di dalamnya tercakup hak atas pembangunan yang manusiawi.

Dengan status hak asasi, hak ekosob melekat pada martabat manusia. Hak ini tak terpisahkan dari hak sipil-politik. Tidak sedikit pelanggaran hak sipil-politik bersumber dari perjuangan membela hak ekosob.

https://cdn-assetd.kompas.id/ztfcdsk_qx_4lK8j81AmisMuX0g=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F03%2F55b303e5-b2da-4631-adee-0dd34383b5ad_jpg.jpg

Cawan rapuh

Demokrasi bukan obat mujarab yang otomatis membuahkan kesejahteraan. Para ahli berdebat tajam tentang hubungan demokrasi-kesejahteraan tanpa membuahkan kesimpulan tegas.

Iklan

Sedikitnya, dengan akal sehat, kita bisa menimbang-nimbang. Ketika kebijakan publik dan hubungan kekuasaan telah memungkinkan aset publik bertumpuk di tangan segelintir orang, tuntutan kesejahteraan dan keadilan sosial sulit diceraikan dari demokratisasi.

Demokrasi memberi kesempatan setara kepada semua warga untuk ambil bagian dalam memperjuangkan kebaikan bersama. Ke mana demokrasi akan bergerak kalau bukan menuju kemaslahatan umum?

Perjuangan itu masuk ke momen kritis ketika warga memilih pemimpin dan wakil rakyat. Di situlah warga dapat menuntut pertanggungjawaban para calon dengan mencermati rekam jejaknya.

Sudahkah mereka menyuarakan aspirasi kaum paling terpinggirkan? Apakah mereka melindungi rakyat dari terjangan ganas pembangunan? Sejauh mana mereka mengutamakan kebijakan yang mementingkan hajat hidup rakyat kebanyakan?

Baca juga: Negara Kesejahteraan

Demokrasi tidak lahir demi demokrasi itu sendiri. Di jantungnya terletak paham kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Dengan segala kelemahannya, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paling dapat mengungkap ciri asali pribadi manusia, rakyat orang per orang.

Ia lahir bebas dalam kesetaraan martabat dengan semua bangsa manusia. Martabat itu tidak dapat dihilangkan atau dicabut, ia ada sebelum ada negara.

Dengan martabat manusia sebagai sari patinya, demokrasi, meminjam filsuf Jacques Maritain, membawa cawan rapuh berisi harapan akan kemanusiaan. Rapuh bukan hanya karena manusia itu rapuh, melainkan juga karena demokrasi senyatanya bukan wujud selesai.

Demokrasi adalah proses, barangkali tanpa kita pernah mengalami wujud utuhnya. Gejala pelemahan demokrasi di banyak negara agaknya tanda. Proses dapat dikoyak sembunyi-sembunyi.

https://cdn-assetd.kompas.id/MQdjb_kJMZfQFFa7LeULlCyy4dA=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F27%2F5e090938-7f44-4f0b-a7a1-bb7f343afaee_jpg.jpg

Kisah leluhur

Di kalangan leluhur Sunda dikenal ajaran Tritangtu di Buana (Tiga Ketentuan Dunia). Isinya konsep tata negara berdasarkan fungsi tiga lembaga.

Sang Prebu adalah kekuatan (bayu) yang menjalankan roda pemerintahan. Sifatnya menggurat batu, teguh tanpa pandang bulu. Sang Rama (sabda) menoreh tanah, memberi petunjuk berdasarkan suara hati rakyat demi kesejahteraan.

Sang Resi adalah budi (hedap). Sifatnya menggores air, menjaga keadilan tanpa menimbulkan perpecahan. Dalam bertugas, Prebu meminta pertimbangan Rama dan Resi (Sumarsono, 2021).

Baca juga: Demokrasi Luhur dari Leluhur

Dalam Fragmen Carita Parahyangan (abad XVI) ada pengingat. Prebu harus selalu menyadari kekuasaannya, baik kuasa besar memimpin rakyat maupun kuasa kecil mengendalikan diri. Rama adalah penaung rakyat yang kegerahan, pijakan di bumi, kepercayaan setiap orang. Resi menjaga kedamaian.

Bagi mereka, ketentuan bayu-sabda-hedap itu suci. Ia menyembur dari Sang Hyang Manon, Zat Mahamelihat. Mereka percaya kekacauan timbul jika mereka melanggar rambu yang disepakati.

Ke tangan siapa cawan akan jatuh? Di bawah langit, tidak ada pilihan yang tersedia dalam keadaan ideal. Cawan terjaga hanya jika kita terus menjalankan, mengawal, dan memperjuangkan demokrasi.

Di belakang tangan-tangan yang kini sedang memperebutkan cawan, bergiat kekuatan yang telah ikut melemahkan demokrasi. Semoga cawan berharga itu tidak jatuh ke tangan yang sibuk memburu kepentingan sendiri. Dalam cawan itu terbaring asa mereka yang papa dan terempas.

Baca juga: Jangan Merusak Demokrasi

Karlina Supelli, Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Karlina Supelli
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Karlina Supelli

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOVITA ARIKA
Bagikan