Jangan Merusak Demokrasi
Serentetan tindakan antidemokratis terus terjadi. Alarm sudah didengungkan oleh sejumlah tokoh prodemokrasi.
Dalam waktu dekat, perhatian dunia akan tertuju kepada Indonesia dengan dilangsungkannya pesta demokrasi Pemilu 2024, Februari mendatang. Ke mana demokrasi Indonesia menuju?
Apa yang terjadi pada Indonesia hari-hari ini adalah seperti yang digambarkan oleh beberapa pakar dalam buku Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression? (Thomas Power dan Eve Warburton, ISEAS, Singapura, 2020).
Setelah mengalami stagnasi selama dua periode pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sejak akhir masa jabatan pertamanya, melalui beberapa manuver politiknya, Presiden Jokowi dinilai telah merusakkan secara sistematis sendi-sendi demokrasi Indonesia. Menurut Power, ”Tren ini terlihat terutama dalam persenjataan pelaksanaan hukum oleh eksekutif, yang pada awal masa jabatan Jokowi kedua telah mencapai tingkat seburuk Orde Baru.”
Baca juga: Kemunduran Demokrasi
Setelah dilantik kembali pada 2019, Presiden Jokowi langsung mengambil alih kekuasaan atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sejak 2003 menjadi lembaga tepercaya masyarakat.
Ia (KPK) merupakan bintang cemerlang dalam konstelasi lembaga-lembaga reformasi. Kebebasannya terjamin undang-undang. Oleh karena itu, KPK berhasil menangkap serta mengadili lebih dari 500 politisi dan pebisnis yang korup. Setelah 2019, legitimasi itu lenyap sama sekali.
Serentetan tindakan antidemokratis menyusul. Misalnya, ada sinyalemen usaha bertahun-tahun untuk memaksakan penggantian kepemimpinan Partai Demokrat, partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, mantan Panglima TNI, yang kini Kepala Staf Kepresidenan.
Tindakan mirip dapat dilancarkan pada September 2023 tatkala Kaesang Pangarep, anak ketiga Jokowi, ditunjuk selaku pemimpin Partai Solidaritas Indonesia (PSI), partai kecil yang sejak 2014 terkenal menjunjung partisipasi perempuan dalam politik.
Jokowi disinyalir juga memaksakan revisi undang-undang pemilu yang dimaksudkan agar gubernur dan bupati/wali kota di sejumlah daerah bisa diturunkan sebelum masa jabatan mereka berakhir. Mereka diganti dengan pejabat yang diangkat pemerintah, sejenis cawe-cawe Jokowi sebelum istilah itu memicu kontroversi.
Selaku presiden, Megawati dan SBY tidak pernah mengguncangkan stabilitas negara lewat tindakannya yang kemudian menimbulkan keraguan terhadap legitimasi lembaga-lembaga elektoral.
Selama masa jabatan kedua Jokowi, semakin banyak perwira TNI diberi tugas dalam pemerintahan sipil tanpa diharuskan pensiun dulu—suatu pantangan selama masa reformasi. Hal itu mengacaukan peran sipil dan militer. Ini mengingatkan kita pada dwifungsi ABRI dalam praktiknya meski belum dalam doktrinnya.
Pada awal Januari 2024, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) direvisi.
Menurut Muhamad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, ”Revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah, seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi dan hak kebebasan berekspresi di Indonesia.”
Langkah berbahaya
Tindakan paling berbahaya bagi demokrasi di Indonesia terjadi pada 16 Oktober 2023.
Mahkamah Konstitusi (MK), yang diketuai oleh Anwar Usman, mengabulkan gugatan yang membuat Gibran Rakabuming Raka (36), anak sulung Jokowi, sah dicalonkan sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Sebelum itu, UU Pemilu yang berlaku tidak memperbolehkan orang di bawah umur 40 tahun menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.
Tangan Jokowi terlihat jelas di belakang keputusan itu karena Anwar Usman adalah ipar Jokowi, yang menikahi adik Jokowi pada 26 Mei 2022. Konflik kepentingannya sudah mulai dipersoalkan waktu itu.
Mengapa tindakan nepotis ini membahayakan kelangsungan demokrasi di Indonesia? Nepotisme dalam politik Indonesia sebenarnya sudah lama menjadi barang yang sangat umum, di setiap tingkat pemerintahan, di Indonesia.
Contoh terkini, pengangkatan anak Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, sebagai Ketua DPR dan pengangkatan putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Perbedaannya: selaku presiden, Megawati ataupun SBY tidak pernah mengguncangkan stabilitas negara lewat tindakannya yang kemudian menimbulkan keraguan terhadap legitimasi lembaga-lembaga elektoral.
Baca juga: Negeri Penuh Kontradiksi
Di Indonesia, sejak 1998, stabilitas bergantung pada kepercayaan publik pada sejumlah lembaga, termasuk Komisi Pemilihan Umum dan undang-undang yang menjamin kebebasan pers.
Namun, peran utama dimainkan oleh MK sebagai pemilik hak putus akhir menurut Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Korupsi Jokowi terhadap MK bisa berakhir dengan tumbangnya demokrasi.
Alarm sudah mulai didengungkan sejumlah tokoh prodemokrasi di dalam negeri, bukan hanya oleh pakar asing.
Mahfud MD, dalam kapasitasnya selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, mengaku menerima laporan mengenai kecurangan pemilu di Jakarta, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.
”Laporan yang saya terima, antara lain, dugaan pemasangan baliho parpol oleh oknum tertentu. Sebaliknya, terjadi penurunan baliho parpol tertentu yang diduga dilakukan oleh aparat,” ujarnya (Kompas, 15/11/2023).
Legitimasi hasil pemilu
Kemungkinan berikutnya yang bisa muncul adalah potensi penolakan hasil pemilu. Hal itu diungkapkan, antara lain, oleh pengamat politik dari Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah.
Diungkapkannya, ”Kalau Prabowo dan Gibran menang, semua kubu bisa saja beranggapan itu kemenangan yang diperoleh secara tidak jujur, maka mereka akan menolak hasil pemilu. Begitu hasil pemilu ditolak, itu kan tidak legitimate (Kompas, 15/11/2023).”
Baca juga: Menyelamatkan Demokrasi Kita
Akhirul kata, keprihatinan saya dipertajam oleh Philips Vermonte, pengamat senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, yang kini Dekan Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Islam Internasional Indonesia.
Vermonte mengungkapkan kekhawatirannya mengenai semakin meningkatnya potensi untuk terjadi konflik pasca-Pemilu 2024.
”Entah siapa yang menang pada putaran pertama pasti akan ada yang menuntut pada MK. Badan itu kini menjadi laga pertempuran publik dengan perdebatan seru,” ujarnya di Carnegie Endowment for International Peace, sebuah lembaga think tank ternama di Washington, Amerika Serikat, 17 Januari 2024.
Baca juga: Demokrasi Bisa Bunuh Diri: Pelajaran dari Pemilu Dunia
R William Liddle, Profesor Emeritus Ilmu Politik Ohio State University; Pemenang Bakrie Award 2022 dan Anugerah Kebudayaan Republik Indonesia 2018