Warga Negara Kompeten Versus Oligarki
Pemilu 2024 ini momen menentukan untuk bisa memilih secara bijaksana agar bisa keluar dari cengkeraman oligarki.
Bagaimana merumuskan kriteria calon presiden? Mencermati program dan visi-misi calon dengan memahami rencana dan tujuannya untuk masa depan Indonesia, sejauh mana calon merancang program untuk menangani masalah riil yang dihadapi masyarakat?
Masalah riil itu seperti pengangguran, kesenjangan ekonomi, oligarki, pemberantasan korupsi kartel-elite, pendidikan, dan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan)?
Apakah calon peduli untuk membangun institusi-institusi lebih adil, terutama perluasan partisipasi dalam pengambilan keputusan kebijakan publik agar tidak didominasi oleh oligarki (pimpinan partai politik, pengusaha, penegak hukum, dan birokrat)?
Lingkaran setan oligarki
Masalahnya, yang sedang terjadi di Indonesia adalah lingkaran setan: lemahnya partisipasi masyarakat karena kedaulatan rakyat disita dan pimpinan partai lebih berpengaruh terhadap wakil rakyat dalam menentukan agenda partai.
Lalu, bersama pengusaha dan penegak hukum, mereka membentuk oligarki. Oligarki mengakibatkan merebaknya korupsi kartel-elite. Korupsi semakin memperlemah partisipasi karena korupsi memberi imbalan kepada tiadanya efisiensi, yang kemudian melemahkan institusi-institusi demokrasi. Akibatnya, oligarki semakin merajalela.
Baca juga: Buah Pahit Pemilu yang Oligarkis
Dari rumor yang beredarājika itu benarādalam kunjungan pertama ke China, Presiden Joko Widodo mendapat bisikan dari Presiden Xi Jinping tiga resep membangun negara: ābangunlah infrastruktur, pendidikan, dan kuasai parlemen!ā
Dua program pertama dilaksanakan. Program ketiga juga terwujud sehingga tiada oposisi kuat. Mungkin karena ini harga yang harus dibayar āoligarkiā.
Sangat mendesak memperluas partisipasi melalui pemberdayaan masyarakat agar terwujud warga negara kompeten yang mampu meningkatkan daya tawar politik menghadapi oligarki. Maka, Pemilu 2024 ini momen menentukan untuk bisa memilih secara bijaksana agar bisa keluar dari cengkeraman oligarki dengan menjadi warga negara kompeten.
Warga negara kompeten
Warga negara kompeten (Mezey, 2010) terbentuk ketika warga sadar akan hak-haknya dan hak-hak sesamanya untuk dapat merumuskan dengan jelas dan memperjuangkan dengan mengorganisasi diri.
Tocqueville dalam Democracy in America menekankan pentingnya partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan publik. Dia percaya bahwa masyarakat sipil yang dinamis sangat menentukan keberhasilan demokrasi.
Agar demokrasi berkembang, masyarakat sipil harus memperjuangkan tiga hal berikut.
Pertama, supremasi hukum dan peradilan yang independen. Kerangka hukum yang kuat dan peradilan yang tidak memihak membantu melindungi hak-hak individu dan mencegah penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang.
Kedua, pentingnya pendidikan agar warga negara terinformasi dan tercerahkan. Pendidikan harus mendorong pemikiran kritis, kebajikan kewarganegaraan, dan rasa tanggung jawab.
Ketiga, pentingnya asosiasi sipil dan lembaga perantara (Tocqueville, dalam Strauss&Cropsey, 1987), seperti lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi-organisasi keagamaan (Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah) agar berkontribusi pada kohesi sosial dan berperan sebagai penyeimbang untuk mencegah pemusatan kekuasaan. Warga negara harus terlibat dalam komunitas lokal, asosiasi, dan organisasi sipil.
Pilihlah calon anggota legislatif dan pimpinan yang berasal dari partai politik yang serius memperjuangkan masalah riil rakyat dengan penuh realisme dan kelayakan.
Bentuk keterlibatan konkret yang sekaligus pendidikan politik bagi masyarakat adalah mengorganisasi kartu pelaporan warga negara (KPW) dengan membuat questioner berisi masukan masyarakat terhadap pelayanan publik.
Tujuannya: (i) mendorong umpan balik dari warga negara tentang tingkat kepuasan terhadap pelayanan publik sehingga bisa memberi indikasi prakiraan adanya korupsi; (ii) memberdayakan warga negara untuk membangun sikap proaktif dengan menuntut akuntabilitas pejabat publik.
Selain itu, (iii) mendorong pelayan publik mendesain standar kinerja untuk mempermudah pelaksanaan transparansi; dan (iv) KPW berguna sebagai alat diagnosis bagi pelayanan publik untuk memudahkan perencanaan dan pemecahan masalah (Sampford, 2006).
KPW menumbuhkan kesadaran kritis sehingga akan mendorong untuk menuntut perbaikan institusi-institusi ekonomi dan politik. Maka, isu-isu yang diusung dalam pemilu harus mengacu ke perbaikan itu.
Tujuan perbaikan terwujud apabila partai politik tidak hanya fokus ke pemilihan umum, tetapi juga terlibat dalam perdebatan serius tentang masalah-masalah riil rakyat dalam bingkai etika politik.
Etika politik, yang membidik perluasan lingkup kebebasan dan pembangunan institusi-institusi yang lebih adil, mengandaikan ada partai politik yang serius mengusungnya dan menyelesaikan secara politik.
Syaratnya, ada transparansi partai politik, baik secara finansial, perekrutan calon anggota legislatif, maupun kaderisasi kepemimpinan. Maka, pilihlah calon anggota legislatif dan pimpinan yang berasal dari partai politik yang serius memperjuangkan masalah riil rakyat dengan penuh realisme dan kelayakan.
Realisme program dan integritas
Realisme tecermin dari kelayakan program-program yang secara konkret dan detail dirumuskan dengan rencana implementasi yang jelas, bahkan mampu memberi batas waktu realisasi dan menerima sanksinya apabila tidak terlaksana.
Maka, teliti rekam jejak masing-masing calon, termasuk pengalaman politik, kebijakan yang sudah pernah diimplementasikan, sumbangan positif yang telah diberikan, dan komitmennya terhadap kasus-kasus HAM.
Hindari membuat keputusan berdasarkan emosi atau isu SARA. Perlu kritis terhadap calon yang memiliki rekam jejak memecah belah menggunakan isu SARA.
Baca juga: Memperjuangkan Pemilu Berkualitas
Maka, waspadalah terhadap filter bubble (hanya terpapar pada konten yang sesuai dengan preferensi dan keyakinan diri) dan pastikan untuk mendapatkan informasi memadai dari berbagai sumber. Verifikasi informasi dengan sumber yang dapat dipercaya sebelum membuat keputusan.
Gunakan hak suara dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab terhadap masa depan bangsa. Pilih calon yang terbukti telah memberikan kontribusi positif dan membawa perubahan yang baik untuk Indonesia.
Pertimbangkan kualitas calon dari sisi integritas, ketegasan, kematangan emosi, dan kemampuan dalam mengelola krisis. Perhatikan bagaimana calon berinteraksi dengan masyarakat dan reaksinya terhadap kritik.
Baca juga: Pemilu dan Jalan Kebudayaan bagi Indonesia
Haryatmoko, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Komisi Kebudayaan dan Dosen Universitas Sanata Dharma