logo Kompas.id
OpiniOntologi Janji
Iklan

Ontologi Janji

Ketiadaan sanksi hukum dan keleluasaan orang untuk berbohong inilah yang membuat janji kehilangan nilai pentingnya.

Oleh
MARDIAN WIBOWO
· 5 menit baca
Ilustrasi/Supriyanto
SUPRIYANTO

Ilustrasi/Supriyanto

Perhelatan pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota legislatif semakin mendekati puncak. Musim kampanye pun bergulir, ditandai dengan maraknya wicara berbagai tawaran dari para peserta pemilu.

Dalam keseharian, kita menyebut tawaran demikian sebagai janji, sementara dalam rezim pemilu, hal demikian lazim disebut visi dan misi.

Janji itu sendiri atau promise dalam bahasa Inggris pada dasarnya adalah suatu pernyataan dari seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan janji, antara lain, sebagai ”ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat (seperti hendak memberi, menolong, datang, bertemu)”.

Dari perspektif ontologis, janji berbeda dengan perjanjian. Janji adalah peranti atau perkakas dalam suatu relasi sosial yang mengikatkan kesepakatan dua pihak atau lebih, tanpa ancaman sanksi tertentu.

Letak pentingnya janji adalah, menurut Charles Fried, janji memungkinkan para partisipan menggunakan sarana sosial yang adiluhung, yaitu trust atau rasa saling percaya (Kimel, 2003: 10). Dengan kata lain, suatu janji diucapkan karena partisipan atau para pihak dalam relasi itu memiliki rasa saling percaya dan janji akan ditepati karena pihak yang berjanji masih mempunyai tanggung jawab dan integritas moral.

Sementara perjanjian adalah peranti hukum, yaitu janji yang dimodifikasi dengan menambahkan sarana pemaksa supaya ditepati. Sarana pemaksa tersebut adalah sanksi hukum, baik perdata maupun pidana.

Penambahan kelengkapan sanksi hukum demikian itu menunjukkan dua hal secara berturutan, yakni mulai lunturnya tanggung jawab dan integritas moral dalam keseharian dan karena itu diperlukan campur tangan dari pihak ketiga agar janji yang diucapkan/dinyatakan kelak akan ditepati.

Pihak ketiga ini tidak lain adalah negara dengan kekuatan pemaksanya, yaitu hukum.

Ironisnya, janji-janji para peserta pemilu pada masa kampanye sering kali gimik belaka.

Janji yang sudah dikonstruksikan secara hukum kemudian disebut sebagai perjanjian atau kontrak, antara lain, diatur dalam Pasal 1320 juncto Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 1338 mengatur dengan tegas bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah akan berlaku sebagai undang- undang bagi para pembuat perjanjian. Pacta sunt servanda.

Janji dalam pemilu

Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur kewajiban para peserta pemilu untuk berjanji kepada pemilih. Kewajiban berjanji ini, dalam bentuk visi, misi, dan program, diatur oleh Pasal 1 Huruf 35, Pasal 169 Huruf t, dan Pasal 274 UU Pemilu.

Visi, misi, dan program kerja harus dipaparkan oleh peserta pemilu kepada masyarakat melalui kegiatan kampanye. Versi ringkasnya dapat dengan mudah dilihat pada berbagai poster dan baliho yang terpasang di jalanan. Dapat pula diakses melalui berbagai tayangan iklan di media massa, kampanye terbuka, rekaman media sosial, dan lain-lain.

Pengucapan visi, misi, dan program kerja merupakan momentum terciptanya relasi antara peserta pemilu sebagai pihak yang menjanjikan sesuatu dan masyarakat yang diberi janji. Pembuat janji terikat untuk memenuhi apa yang telah dijanjikannya, tentu saja nanti manakala usahanya untuk memenangi pemilu telah berhasil.

Di sisi lain, ucapan janji kampanye dari peserta pemilu tidak menimbulkan kewajiban apa pun bagi masyarakat, misalnya kewajiban memilih calon tertentu. Hal ini disebabkan janji kampanye tidak berasal dari kesepakatan bersama, seperti halnya perjanjian/kontrak hukum.

Janji kampanye adalah janji sepihak, semacam promosi produk barang/jasa, di mana seseorang tidak wajib membeli. Namun, manakala pembeli sudah melakukan pembelian, penjual/ produsen wajib memastikan semua manfaat yang dipromosikan bisa dinikmati pembeli.

Iklan
https://cdn-assetd.kompas.id/WAd-tfhKrJQe2p2oz1MOkQmeOn8=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F10%2F5608a606-a4ce-44d3-95cb-4d52aa40823d_jpg.jpg

Pelanggaran janji

Ironisnya, janji-janji para peserta pemilu pada masa kampanye sering kali gimik belaka. Banyak janji yang jauh dari rasional, tidak berpijak pada realitas, mengandung kontradiksi, klaim berlebihan, atau dengan kata lain dalam batas penalaran wajar sulit diwujudkan.

Misalnya, janji pembangunan infrastruktur, tetapi tak disertai penjelasan sumber pendanaan; janji bekas koruptor untuk menjadikan Indonesia bebas kolusi, korupsi, dan nepotisme; atau janji gratis biaya pendidikan yang ternyata hanya untuk sebagian kelompok.

Bahkan, banyak peserta pemilu yang percaya diri menyematkan predikat atau sifat tertentu pada diri mereka tanpa dapat diverifikasi kebenarannya. Misalnya, mengaku tegas, gesit, andal, jujur, merakyat, dan lain-lain.

Potensi terpenuhinya janji-janji demikian sangat kecil, setidaknya jika berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya. Biasanya ketika dihadapkan pada kegagalan memenuhi janji, di ujung masa jabatannya para pemenang pemilu selalu saja punya beragam argumentasi untuk mengelak. Para pengingkar janji lantas memunculkan dan menggemakan fakta-kebenaran versi mereka sendiri, lalu keras mendakunya sebagai bukti telah memenuhi janji.

Terlepas dari berbagai argumentasi pembenaran demikian, yang sebagian di antaranya harus diakui memang benar dan faktual, tetap saja pelanggaran janji adalah suatu kesalahan, setidaknya secara moral.

Sayangnya, kesalahan berupa pelanggaran janji kampanye tidak dapat dikenai sanksi hukum, kecuali jika janji demikian dikonstruksikan sejak awal sebagai suatu kontrak hukum. Ketiadaan sanksi hukum dan keleluasaan orang untuk berbohong inilah yang membuat janji kehilangan nilai pentingnya.

Bahkan, mulai muncul anggapan bahwa pemilu adalah semata kontestasi mengemas dan menyajikan janji dan sama sekali bukan kontestasi untuk memenuhi janji. Namun, ketiadaan sanksi atas pelanggaran demikian tak serta-merta boleh dijadikan alasan oleh penyelenggara pemilu untuk tak lagi mewajibkan peserta berjanji.

Di sisi berseberangan, peserta pemilu pun tidak seharusnya menyepelekan janji, baik dalam bentuk tidak bersedia sama sekali berjanji maupun dalam rupa mengumbar janji yang tidak realistis.

Ketiadaan sanksi hukum dan keleluasaan orang untuk berbohong inilah yang membuat janji kehilangan nilai pentingnya.

Janji masih dibutuhkan

Masyarakat tetap membutuhkan janji. Bagaimanapun janji para peserta pemilu memiliki minimal dua kegunaan praktis bagi para pemilih.

Pertama, janji akan menjadi tolok ukur rasionalitas pihak yang mengucapkan janji. Artinya, dengan mencermati janji-janji dimaksud, pemilih dapat melakukan seleksi untuk menemukan (sedikit) peserta pemilu yang layak dipilih. Penilaian atas janji-janji yang baik, dalam arti memiliki kemungkinan terwujud, dapat dilandaskan pada rasionalitas umum yang wajar.

Kedua, janji akan berperan sebagai penanda atau memori kolektif untuk suatu saat dapat ditagihkan. Apabila janji tetap tidak dipenuhi, memori kolektif dapat dijadikan landasan moral untuk menjatuhkan sanksi sosial. Atau setidaknya rakyat pemilih mempunyai dasar untuk ”membubuhkan” cap pembohong kepada peserta pemilu bersangkutan dengan harapan yang bersangkutan tidak lagi mudah melenggang pada pemilu berikutnya.

Rasa saling percaya merupakan naluri mendasar yang memampukan sekelompok orang bersatu menjadi masyarakat. Manakala praktik pemilu hendak menghancurkan naluri tersebut, masyarakat tak boleh berputus asa atau latah meniru praktik-praktik ingkar janji demikian.

Masyarakat tetap harus menjadi penjaga moral yang senantiasa mengingatkan bahwa kegiatan politik yang bernama pemilu pun tetaplah bagian dari aktivitas sosial yang dilandaskan pada rasa saling percaya.

Baca juga: Senyuman dan Janji-janji di Sepanjang Jalan Raya

Mardian Wibowo Pengajar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan