logo Kompas.id
â€ș
Opiniâ€șIndonesia Cemas 2045
Iklan

Indonesia Cemas 2045

Di tengah krisis iklim, kita butuh pemimpin yang mampu menjawab kecemasan iklim dengan komitmen yang ambisius.

Oleh
MARLISTYA CITRANINGRUM
· 4 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/9Ri1lkKECAlNDEwBuYw1RlW5IMw=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F17%2Fadf51d0e-d094-4df9-b049-30edd5b887af_jpg.jpg

Terlahir di keluarga petani, hingga kini keluarga saya tidak pernah membeli beras. Nasi yang tersedia di meja makan merupakan olahan dari hasil sawah keluarga besar kami. Karena produksinya cukup banyak, selain disimpan dan dimasak, juga dijual.

Sayangnya, pertanian 20 tahun lalu dan sekarang tidak lagi sama. Sumber air jauh berkurang, musim tidak lagi teratur, hama makin banyak. Setiap musim tanam padi, keluarga kami (dan para petani lain) selalu resah soal air. Jika dahulu irigasi yang asal airnya dari mata air dan sungai kecil mencukupi, kini para petani harus memompa air dari sungai dalam atau menggali sumur. Jika tidak, niscaya gagal panen.

Dan ya, anomali iklim menurunkan produksi beras (dan pangan lain) di Indonesia. Dalam Januari-September 2023, Indonesia mengimpor beras tiga kali lebih banyak dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya (Kompas, 2023).

Baca juga: Kenapa Anomali Iklim Pantik Prahara Beras?

Kecemasan iklim

Tanpa menyebut frasa ”krisis iklim”, masyarakat Indonesia sebenarnya tidak hanya familiar, tetapi juga banyak mengalami gejala dan dampaknya. Suhu udara yang makin panas, kekeringan panjang, bencana hidrometeorologi, polusi udara, hingga masalah kesehatan dan berkurangnya keanekaragaman hayati.

Dalam survei penjaringan isu Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang dilakukan pada 2023, Bappenas mendapatkan masukan isu teratas untuk tiga kategori (perubahan iklim, polusi dan kerusakan lingkungan, serta keanekaragaman hayati). Lima isu teratas untuk perubahan iklim adalah peningkatan intensitas bencana hidrometeorologi, deforestasi dan degradasi hutan, dan peningkatan emisi gas rumah kaca (penyebab utama krisis iklim), kelangkaan air, dan kerawanan pangan.

Tak bisa dipungkiri, sepanjang 2023 saja, bencana hidrometeorologi yang terjadi semakin intens dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. BNPB mencatat 99 persen dari kejadian dalam kurun waktu Januari-Mei 2023 merupakan bencana hidrometeorologi (basah dan kering). Tahun 2024 baru dimulai, banjir terjadi di Kerinci, membuat ribuan warga harus mengungsi. Soal pangan? Jangan kita lupa bahwa pada Oktober-November 2023, Yahukimo berstatus tanggap darurat bencana kelaparan—peristiwa yang terus berulang.

Generasi muda, atau setidaknya yang berusia di bawah 45 tahun, memiliki tingkat kekhawatiran tinggi akan krisis iklim.

Ada yang salah jika kita tidak cemas, resah, khawatir.

Pada Juni 2022, Tim Litbang Kompas melakukan jajak pendapat isu krisis iklim, di mana kelompok usia 24-39 tahun memiliki persentase terbesar yang merasa ’sangat khawatir’ (64,4 persen). Di rentang usia di atas 56 tahun, 43,9 persen merasa sangat khawatir dan 12,7 persen tidak khawatir (persentase tertinggi dibanding kelompok usia lainnya).

Iklan

Generasi muda, atau setidaknya yang berusia di bawah 45 tahun, memiliki tingkat kekhawatiran tinggi akan krisis iklim. Dalam survei global yang dilakukan sekelompok peneliti dari Inggris, Finlandia, dan Amerika Serikat (2021), mereka yang berusia 16-25 tahun juga merasa ’sangat cemas’ dan resah akan krisis iklim. Lebih dari 75 persen merasa bahwa ’masa depan terlihat menakutkan’.

Meski demikian, apakah pengambil kebijakan krusial yang cenderung berada di kategori usia di atas 45 tahun, bahkan di atas 55 tahun—di tataran negara, perusahaan, organisasi; juga punya kecemasan yang sama atau bisa membaca kecemasan iklim ini?

Ratusan anak muda mengikuti pawai "Youth20ccupy : Voice of The Future" di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, menuju kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Kamis (21/7/2022). Mereka adalah kaum muda yang memiliki cita-cita Indonesia terbebas dari ancaman krisis iklim dan ekologi berdasarkan prinsip hak asasi manusia.
KOMPAS/RIZA FATHONI

Ratusan anak muda mengikuti pawai "Youth20ccupy : Voice of The Future" di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, menuju kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Kamis (21/7/2022). Mereka adalah kaum muda yang memiliki cita-cita Indonesia terbebas dari ancaman krisis iklim dan ekologi berdasarkan prinsip hak asasi manusia.

Indonesia (C)Emas 2045

Pada 4 Januari 2024, saya membuat poling sederhana di platform X (Twitter). Pertanyaannya hanya satu: isu atau kondisi (terkait iklim, energi, lingkungan) apa yang membuat responden khawatir. Suhu bumi menjadi makin tinggi (panas) menduduki posisi teratas—fenomena ini terbilang yang paling mudah dan luas dirasakan masyarakat. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga mencatat anomali positif suhu 0,7 derajat (lebih panas) di bulan Oktober 2023 dibanding pencatatan 30 tahun terakhir (Kompas, 2023).

Lebih jauh dari pengalaman individual, yaitu merasakan panas, semakin meningkatnya suhu bumi merembet kepada banyak persoalan lain. Laporan asesmen ke-6 (AR6) Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) pada 2023 menggarisbawahi dampak pemanasan global di seluruh dunia: termasuk gelombang panas dan kekeringan ekstrem yang makin sering, badai dan siklon yang lebih kuat, dan kenaikan permukaan air laut yang ekstrem.

Dalam laporan khusus 1,5oC (SR15) tahun 2021, IPCC mendetailkan model iklim dengan memasukkan variabel kenaikan suhu global pada berbagai kondisi, termasuk untuk lahan, keanekaragaman hayati, biota laut, hingga dampak kesehatan, kemiskinan, dan kerawanan pangan.

Baca juga: Proyeksi Pendidihan Global dan Cuaca Lebih Ekstrem pada 2024

Indonesia tidak terkecuali, dan sudah mengalaminya.

Visi Indonesia Emas 2045 yang tertuang dalam RPJPN 2020-2045 dengan 5 sasaran visi, 8 agenda pembangunan, dan 17 arah pembangunan terus-menerus didengungkan oleh pemerintah. Di dalamnya juga tertuang ketahanan ekologis, memastikan bahwa pembangunan yang berlangsung dan akan terus digenjot tidak boleh melupakan daya dukung lingkungan dan kelestarian alam.

Menilik dokumen visi dan misi resmi ketiga calon presiden dan wakil presiden, untungnya isu krisis iklim menjadi tantangan mendasar yang disebut ketiganya—dengan kedalaman pembahasan dan strategi yang berbeda. Namun, apakah dokumen tersebut mampu menjawab kecemasan yang ada? Apakah strategi yang mereka paparkan, yang kebanyakan ’berumur’ lima tahun cukup untuk mengantisipasi dampak krisis iklim yang terus meluas? Apakah rekam jejak, pernyataan, komitmen, dan perilaku mereka selama ini sudah mampu meyakinkan masyarakat bahwa mereka tidak membawa kita ke Indonesia Cemas 2045?

Dengan sekian banyak risiko dan dampak krisis iklim yang sudah kentara terlihat, yang akan terus teramplifikasi di masa-masa mendatang; kita tidak bisa memilih pemimpin yang biasa-biasa saja, yang memandang jangka pendek—melainkan mereka yang mampu menjawab kecemasan iklim itu dengan komitmen yang ambisius, strategi yang jelas, dan langkah-langkah panjang yang mampu melampaui lima tahun periode pemerintahan.

Marlistya Citraningrum, Analis Senior Institute for Essential Services Reform (IESR)

Twitter: mcitraningrum

Marlistya Citraningrum
ARSIP IESR

Marlistya Citraningrum

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan