logo Kompas.id
OpiniMemperkuat Demokrasi Kita
Iklan

Memperkuat Demokrasi Kita

Perilaku antidemokrasi yang bisa membuat demokrasi mati ditemukan di Indonesia. Masyarakat sipil perlu diperkuat.

Oleh
WIJAYANTO
· 7 menit baca
Ilustrasi
KOMPAS/HERYUNANTO

Ilustrasi

Tajuk Rencana Kompas berjudul ”Menyelamatkan Demokrasi” (5/1/2024) menyampaikan satu peringatan yang layak untuk direnungkan. Di sana, redaksi menyoroti dugaan pelanggaran aparatur negara untuk menjaga netralitas dalam pemilu. Sebagai salah satu penanda penting negara demokrasi, pemilu berkualitas merupakan satu hal yang perlu kita ikhtiarkan bersama, antara lain, dengan menegakkan netralitas aparat pemerintahan.

Tajuk rencana tersebut seakan menguatkan peringatan yang sehari sebelumnya telah disampaikan oleh Sukidi dalam kolomnya berjudul ”Demokrasi di Ujung Kematian” (Kompas, 4/1/2024). Selain menyoroti rangkaian politik menuju pemilu, kontestasi yang menghadirkan polarisasi antara mereka yang bersama penguasa dan melawan penguasa menjadi keprihatinannya.

Dua kolom yang terbit di awal tahun itu mestinya membuat kita terjaga. Berbagai literatur menunjukkan, sebagai suatu sistem politik, demokrasi tidak terjadi karena jatuh dari langit (Dahl, 2000). Ia membutuhkan ikhtiar terus-menerus dari kita untuk menjaga dan memperkuatnya. Tak lain karena seperti semua bentuk pemerintahan lainnya, demokrasi bisa mati. Lantas bagaimana itu bisa terjadi?

Baca juga: Menggerogoti Demokrasi

Lima tahun lalu, Steven Levitsky dan Daniel Ziblat (2018) merumuskan ciri-cirinya dengan sistematis dalam satu karya yang segera menjadi klasik: How Democracies Dies. Menurut dua profesor Universitas Harvard itu, demokrasi bisa mati, antara lain, karena faktor agensi yang termanifestasi dalam diri seorang pemimpin yang menunjukkan perilaku antidemokrasi.

Lebih jauh, secara rinci mereka menyebutkan bahwa perilaku antidemokrasi itu terwujud dalam sekurangnya empat hal berikut ini: pengingkaran atau komitmen lemah atas aturan main demokratis, menyangkal legitimasi lawan politik, toleransi atau anjuran terhadap kekerasan, dan kesediaan memberangus kebebasan sipil, termasuk media.

https://cdn-assetd.kompas.id/_adMv5l9-OOxQN589CDFj2RV05g=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F09%2F394f00eb-1747-4820-8b45-8f6813010e7f_jpg.jpg

Pengingkaran aturan main demokratis

Memang benar bahwa kedua penulis itu menuliskan buku mereka untuk menjelaskan situasi kematian demokrasi di Amerika yang saat itu berada di bawah kepimpinan Donald Trump. Namun, situasi itu bisa terjadi di mana saja, termasuk Indonesia.

Dalam hal ini, penulis bersama sekumpulan tim peneliti di Pusat Media dan Demokrasi LP3ES selama lima tahun terakhir melakukan penelitian tentang situasi demokrasi di Indonesia. Kami menemukan bahwa dari tahun ke tahun, ciri-ciri yang dirumuskan oleh Levitsky dan Ziblat semakin terwujud nyata sekurangnya dalam satu indikator pertama: pengingkaran atau komitmen lemah terhadap aturan main demokratis.

Segera setelah Presiden Joko Widodo dilantik untuk kedua kalinya pada 20 Oktober 2019, santer kita dengar satu wacana tentang perlunya amendemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Wacana itu terus digulirkan dari tahun ke tahun oleh sejumlah kalangan elite politik yang jejak digital pernyataan mereka dapat kita simak bersama dalam pemberitaan media.

Wacana tersebut kemudian mendapat tentangan keras dari sejumlah elemen masyarakat sipil yang menyuarakan catatan kritis melalui forum diskusi publik baik di dalam maupun luar negeri. Untungnya, penolakan ini juga disampaikan oleh kalangan politisi yang terus bersetia untuk menjaga demokrasi.

Seperti halnya wacana pemilihan presiden tiga periode, penundaan pemilu pada dasarnya memiliki esensi yang sama: menggunakan jalur nonkonstitusional untuk memperpanjang kekuasaan.

Namun, kita cermati wacana perpanjangan kekuasaan yang mengingkari konsitusi itu tak berhenti di sana. Ketika perpanjangan masa jabatan menjadi tiga periode mendapat tentangan luas, digulirkan ide baru berupa penundaan pemilu.

Di sini, pandemi Covid-19 yang menimpa Indonesia dari awal 2020 hingga pengujung 2021 dijadikan dalih. Argumen yang coba dibangun oleh kelompok ini adalah bahwa pandemi membuat pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik dan sebagian target-target pemerintahan belum berhasil dirampungkan. Karena itu, menjadi wajar jika penundaan pemilu dilakukan demi mewujudkan program-program pembangunan.

Seperti halnya wacana pemilihan presiden tiga periode, penundaan pemilu pada dasarnya memiliki esensi yang sama: menggunakan jalur nonkonstitusional untuk memperpanjang kekuasaan. Namun, lagi-lagi, masyarakat sipil dan kalangan politisi yang berpikiran maju menolak gagasan ini.

https://cdn-assetd.kompas.id/I1W2Xanh0HSug9y7NaALPi6-7zU=/1024x1471/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F14%2F795818e7-ce68-4194-b7d4-7837190f2e81_png.png

Dalam satu momen dramatik yang kini sudah menjadi sejarah, upaya pengingkaran terhadap aturan main demokratis ternyata tidak berhenti di sana. Pada 16 Oktober 2023, atau hanya kurang dari tiga hari dari batas pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan bahwa seorang kepala daerah berusia di bawah 40 tahun bisa maju sebagai calon presiden-calon wakil presiden. Keputusan ini mengubah ketentuan sebelumnya dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa calon presiden dan wakil presiden harus berusia paling rendah 40 tahun.

Sesungguhnya, menurunkan batas usia calon presiden dan wakil presiden bisa jadi merupakan satu pikiran yang maju. Ada banyak pemimpin di dunia yang dilantik di bawah usia 40 tahun dan menunjukkan kinerja membanggakan. Kita bisa mengambil satu contoh Emmanuel Macron di Perancis yang dilantik pada usia 39 dan berhasil mengalahkan Marine Le Pen yang berhaluan kanan dan dianggap mengancam keberlangsungan demokrasi.

Di Georgia, kita menyaksikan kemunculan Irakli Garibashvili yang menjadi pemimpin pemerintahan termuda di Eropa pada 2013 ketika terpilih sebagai Perdana Menteri Georgia pada usia 31 tahun. Ia hadir dengan satu gagasan maju dengan apa yang ia sebut sebagai kebijakan yang ”seimbang” terhadap Rusia. Ia mengambil sikap netral terhadap perang di Ukraina sambil mengupayakan hubungan yang lebih erat dengan Uni Eropa dan NATO.

Iklan

Baca juga: Orang Muda dan Meritokrasi

Di Finlandia, kita menemukan nama Sanna Marin yang diangkat menjadi perdana menteri pada usia 34 tahun pada 2019. Marin terpilih karena kinerjanya terbukti saat ia menjabat sebagai Menteri Transportasi dan Komunikasi Finlandia. Pendeknya, pemimpin muda bisa menghasilkan gagasan progresif dan memajukan demokrasi.

Namun, menjadi persoalan manakala perubahan atas aturan main itu disahkan oleh MK dengan begitu tiba-tiba menjelang hari-hari terakhir pendaftaran di KPU. Sulit untuk menolak kesan bahwa hal itu sengaja dilakukan untuk melapangkan jalan bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta berusia 36 tahun, yang kebetulan putra Presiden Joko Widodo, untuk maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Kesan itu menjadi semakin kuat manakala Ketua MK saat itu adalah Anwar Usman, yang tak lain merupakan paman ipar Gibran. Di sini kecurigaan adanya konflik kepentingan mengemuka.

Pada gilirannya, untuk menyelidiki kemungkinan ini dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Sejarah kemudian mencatat bahwa pada 7 November 2023, atau setelah Gibran resmi didaftarkan sebagai cawapres, Anwar Usman kemudian diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK oleh MKMK karena terbukti melanggar etik. Dalam debat pertama yang disiarkan secara nasional pada 12 Desember 2023, capres Prabowo Subianto menyatakan bahwa betapa pun keputusan MKMK menyebutkan ada persoalan etik dalam proses lolosnya Gibran sebagai cawapres, keputusan itu sudah tidak bisa diubah.

Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam sidang putusan dugaan pelanggaran etik hakim MK di Gedung MK, Jakarta, Selasa (7/11/2023). Dalam sidang itu, Jimly didampingi dua anggota MKMK lainnya, yakni Wahiduddin Adams dan Bintan Saragih.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam sidang putusan dugaan pelanggaran etik hakim MK di Gedung MK, Jakarta, Selasa (7/11/2023). Dalam sidang itu, Jimly didampingi dua anggota MKMK lainnya, yakni Wahiduddin Adams dan Bintan Saragih.

Memperkuat masyarakat sipil

Dalam paparan di atas tampak jelas bahwa salah satu perilaku antidemokrasi yang bisa menghantarkan demokrasi pada kematiannya juga kita temukan di Indonesia dalam wujud pengingkaran atas aturan main demokratis. Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk memperkuat demokrasi agar proses demokratisasi yang telah bergulir sejak reformasi politik 1998 ini dapat terus kita lanjutkan? Jika mencermati paparan di atas, maka jawaban atas pertanyaan itu cukup jelas.

Dalam berbagai upaya untuk mengingkari aturan main demokratis, masyarakat sipil selalu hadir dan menyuarakan penolakan mereka. Dalam karya yang termasyhur, The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty, dua ilmuwan penerima banyak penghargaan, Daron Acemoglu dan James Robinson (2019), menuliskan bahwa ikhtiar merawat kebebasan dan demokrasi adalah laksana merawat satu lorong sempit yang lahir dari keseimbangan antara kekuatan negara dan masyarakat sipil.

Bagi mereka, negara tidak boleh terlalu kuat dan masyarakat sipil terlalu lemah karena ia bisa melahirkan otokrasi, bahkan totaliterisme. Sebaliknya, manakala masyarakat terlalu kuat dan negara terlalu lemah, akan lahir anarki dan mobokrasi.

Pada situasi Indonesia saat ini, ilmuwan politik menyepakati bahwa negara yang dikendalikan oleh segelintir elite oligarki telah menjadi terlalu kuat (Winters, 2021; Hadiz dan Robison, 2013). Dengan demikian, memperkuat masyarakat sipil adalah satu keniscayaan demi memperkuat demokrasi. Dalam hal ini, menjamin kebebasan berekspresi dalam satu ruang publik yang juga bebas untuk munculnya suara kritis dari masyarakat sipil adalah hal esensial lain yang perlu kita dorong.

Ikhtiar merawat kebebasan dan demokrasi adalah laksana merawat satu laksana lorong sempit yang lahir dari keseimbangan antara kekuatan negara dan masyarakat sipil.

Generasi politisi negarawan

Kita patut bersyukur masih memiliki politisi yang berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi dan bersama masyarakat sipil bersinergi melawan setiap upaya pelanggaran konstitusi yang bisa meruntuhkan demokrasi. Di sini kita perlu belajar untuk berlaku adil bahwa tidak selalu politik itu kotor dan tidak semua politisi itu korup.

Kita menyaksikan, masih banyak politisi yang tidak hanya berpikir untuk memenangi pemilu yang akan datang, tetapi memiliki jiwa negarawan untuk berpikir demi generasi yang akan datang. Mereka bersetia dalam menjaga konstitusi dan mentaati aturan main demokratis yang telah disepakati bersama demi satu warisan baik untuk generasi berikutnya.

Di sini, memperbanyak generasi politisi yang memiliki karakter sebagai negarawan dan berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi perlu kita lakukan. Sekolah kepemimpinan sebagaimana diselenggarakan oleh sejumlah lembaga perlu terus kita dorong. Esensi dari sekolah itu adalah kaderisasi generasi pemimpin berpikiran maju dan berkomitmen untuk menjaga dan merawat demokrasi, seperti, untuk menyebut beberapa di antaranya, Sekolah Demokrasi LP3ES, Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa Megawati Institute, Sekolah Politik Akbar Tandjung Institute, dan tentu sekolah kaderisasi milik partai politik.

Baca juga: Dilema Pendidikan Politik di Indonesia

Akhirnya, pengingkaran atas aturan main demokratis, sebagai salah satu tanda kematian demokrasi, telah kita saksikan bersama hari ini. Kita tak perlu menunggu hadirnya tanda-tanda lain untuk menyadari bahwa demokrasi bisa saja sepenuhnya mati. Udara kebebasan yang kita nikmati dalam alam demokrasi bukanlah nikmat yang datang tanpa ikhtiar.

Dari masa lalu kita belajar bahwa demokratisasi di Indonesia berjalan melalui perjuangan anak-anak bangsa, yang beberapa di antaranya wafat dalam protes politik pada 1998 untuk menjatuhkan rezim otoriter Orde Baru. Sejak itu, Indonesia mengalami proses transisi politik dari otoriterisme menuju demokrasi.

Ilmuwan politik Samuel Huntington (1991) telah jauh-jauh hari memperingatkan bahwa tidak ada jaminan transisi politik pasti berjalan mulus. Sebaliknya, dalam studinya atas gelombang demokratisasi di 60 negara di Eropa, Amerika Latin, Asia, dan Afrika, proses demokrasi bisa mengalami kemandekan, kemunduran bahkan, bukan tidak mungkin, mengalami putar balik ke arah otoriterisme.

Semoga kita bisa belajar dari ilmu pengetahuan dan sejarah kita sendiri. Demokrasi di Indonesia telah mengalami kemunduran yang serius, tetapi belum sepenuhnya mati. Segenap ikhtiar harus kita kerahkan untuk menyelamatkan demokrasi kita.

Wijayanto, Pengajar Media dan Demokrasi Universitas Diponegoro; Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES; Terafiliasi pada Center for Information Resilience (CIR) dan International Panel on Information Environment (IPIE); Ketua Presidium Koalisi Masyarakat Sipil Nasional untuk Demokratisasi dan Moderasi Ranah Digital Indonesia (Koalisi Damai)

Wijayanto
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR

Wijayanto

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan