logo Kompas.id
OpiniAPK dan Pencemaran Lingkungan
Iklan

APK dan Pencemaran Lingkungan

Publik perlu mempertimbangkan serius untuk tak memilih politisi yang banyak memasang spanduk, baliho secara serampangan.

Oleh
DARWIN DARMAWAN
· 4 menit baca
Ilustrasi
ILUSTRASI

Ilustrasi

Alat peraga kampanye yang dipasang para politisi tanpa mengindahkan aturan telah menjadi sampah visual dan sumber polusi yang mencemaskan.

Pemasangan alat peraga kampanye (APK) secara sembarangan telah mereduksi kegiatan kampanye menjadi sekadar cara mendapatkan jabatan, bukan sosialisasi visi-misi dan cara mendapatkan dukungan rakyat.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 memberi ruang kepada peserta pemilu untuk memasang APK berupa baliho, spanduk, dan umbul-umbul dengan ukuran yang sudah ditetapkan. KPU juga mengatur agar peserta pemilu mencetak APK dengan mengutamakan penggunaan bahan yang bisa didaur ulang.

Emisi gas beracun dan sampah visual

APK yang memenuhi ruang publik saat ini sebagian besar memakai bahan plastik yang berbahaya bagi lingkungan. Menurut laman timeforchange.org, jejak karbon plastik bisa dihitung secara sederhana.

Untuk produksi 1 kilogram plastik/polyethylene (PET/ LDPE) dibutuhkan 2 kg minyak bumi dan bahan baku lain. Membakar 1 kg minyak bumi menghasilkan 3 kg karbon dioksida (CO2). Itu berarti, dengan membuat 1 kg bahan baku APK, seperti spanduk, baliho, atau umbul-umbul plastik, dihasilkan emisi 6 kg CO2.

Satu spanduk dengan panjang 110 sentimeter, lebar 100 cm, dan tinggi 50 cm beratnya mencapai 0,35 kg, tergantung dari ketebalan dan jenis plastik yang dipakai. Dengan demikian, untuk satu spanduk seberat 0,35 kg, para politisi menyumbang emisi karbon 1,05 kg CO2. Jika ia memasang 2.000 spanduk, berarti ia menyumbang emisi CO2 sebanyak 2.050 kg.

APK yang memenuhi ruang publik saat ini sebagian besar memakai bahan plastik yang berbahaya bagi lingkungan.

Pada Pemilu 2024, KPU merilis daftar calon tetap untuk DPR sebanyak 9.917 calon dan untuk DPD 686 calon. Jika tiap calon memasang 2.000 spanduk dengan berat 0,35 kg, berarti emisi yang dibuang para politisi sebanyak 21.736,15 ton CO2. Puluhan ribu ton CO2 sulit dibayangkan karena tak terlihat. Sebagai perbandingan, setiap penduduk Eropa rata-rata menghasilkan 7,2 juta ton CO2 per tahun.

Jumlah emisi CO2 yang dihasilkan para politisi di masa kampanye sebanyak 44.532,6 ton CO2 bisa ditambahkan dengan jumlah politisi yang mencalonkan diri sebagai capres-cawapres, calon kepala daerah dan calon anggota legislatif kota/kabupaten di seluruh Indonesia.

Jumlahnya jadi jauh lebih besar. Jumlah emisi CO2 yang sangat besar itu ikut meningkatkan emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil pada 2023 di Indonesia, yang diperkirakan mencapai 36,8 miliar ton (Kompas.com, 6/12/2023).

Bukan hanya menghasilkan emisi CO2 yang berbahaya bagi lingkungan hidup dan manusia, spanduk, umbul-umbul, dan baliho plastik juga jadi sampah visual yang sangat mengganggu sebab para peserta pemilu memasang baliho dan spanduk di tempat sembarangan.

Ada yang memasang di tiang listrik, di atas pohon, di trotoar, di pertigaan jalan menutupi rambu lalu lintas, bahkan ada yang memakunya di pohon-pohon. Padahal, pohon-pohon ini telah berkontribusi menjadi paru-paru lingkungan hidup.

Karena baliho yang dipasang sembarangan, fungsi trotoar untuk berjalan kaki tak bisa digunakan. Pengendara atau pengguna jalan raya kehilangan fokus berkendara atau ada yang kecelakaan karena rambu lalu lintas terhalang oleh APK.

Iklan

Di beberapa titik, publik tak jarang melihat APK yang dipasang serampangan jatuh di jalan. Kondisi ini tentu membahayakan pengguna jalan. Pascapemilu, APK ini akan menjadi sampah plastik yang sulit diurai dan didaur ulang.

Warga mendorong sepeda anaknya melintasi baliho calon legislatif di Sriamur, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (5/1/2024).
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga mendorong sepeda anaknya melintasi baliho calon legislatif di Sriamur, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (5/1/2024).

Padahal, peraturan KPU jelas, yaitu pemasangan APK dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 345:5).

Hampir bisa dipastikan, sebagian besar pemasang baliho dan spanduk itu juga tak berkoordinasi dengan pemerintah daerah, sementara aturan KPU menyatakan bahwa ”lokasi pemasangan APK ditetapkan setelah berkoordinasi dengan pemda (Pasal 34 Ayat 4).

Dengan kata lain, para politisi yang memasang spanduk, baliho, umbul-umbul secara sembarangan dan serampangan tak mengindahkan peraturan, etika lingkungan, estetika, kebersihan dan keindahan kota. Selain merusak alam karena menyumbang emisi CO2 dalam jumlah besar, tindakan itu juga mengganggu kenyamanan dan membahayakan masyarakat yang memakai jalan.

Berpolitik niretika

Idealnya, para politisi di negara demokrasi berpolitik dengan memperhatikan aturan dan mengedepankan etika, termasuk etika lingkungan. Sebab, rule of law dalam demokrasi dibuat dalam kerangka mengatur agar kehidupan bersama dan kedaulatan rakyat terjaga. Para politisi yang memasang APK secara sembarangan telah mereduksi praktik politik menjadi upaya meraih kekuasaan tanpa mengindahkan etika dan aturan.

Mereka melanggar aturan pemasangan APK dan tak memikirkan dampak kerusakan lingkungan dan emisi CO2 yang dihasilkan. Demi popularitas dan menaikkan elektabilitas, mereka berkampanye secara sembarangan tanpa memikirkan APK mereka jadi sampah fisik yang sulit didaur ulang.

Para politisi yang seperti itu sulit dipercaya akan bekerja demi kepentingan rakyat jika sudah terpilih menjadi presiden atau wakil presiden, kepala daerah, anggota DPR, DPD, atau DPRD kota/kabupaten.

Idealnya, para politisi di negara demokrasi berpolitik dengan memperhatikan aturan dan mengedepankan etika, termasuk etika lingkungan.

Jika sekarang sudah menabrak aturan, merusak lingkungan, dan mengabaikan kenyamanan rakyat demi popularitas dan elektabilitas, ketika terpilih, hampir pasti mereka akan mengedepankan ego dan kepentingan pribadi.

Dalam sebuah diskusi, ada teman politisi yang membela diri: ”Pemasangan APK adalah masalah teknis. Tak ada kaitan dengan egoisme diri dan ketidakpedulian terhadap rakyat.” Dalam pandangan penulis, jika untuk hal teknis tak bisa dipercaya, bagaimana bisa memiliki empati pada rakyat dalam hal lain. Namun, politisi itu berkelit: ”Yang memasang tim sukses, bukan saya.”

Rasanya publik perlu mempertimbangkan secara serius untuk tak memilih politisi yang banyak memasang spanduk, baliho, umbul-umbul secara sembarangan dan serampangan. Jangan memilih politisi niretika!

Baca juga: Kekerasan Verbal dalam Kampanye Pilpres

Darwin Darmawan,Rohaniawan; Wakil Sekretaris Umum Gereja Kristen Indonesia; Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Darwin Darmawan
YOVITA ARIKA

Darwin Darmawan

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan