logo Kompas.id
OpiniJangan Tinggalkan Isu...
Iklan

Jangan Tinggalkan Isu Perempuan dan Anak dalam Pilpres 2024

Untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak, struktur sosial yang melanggengkan patriarki harus dirombak.

Oleh
ASHILLY ACHIDSTI
· 3 menit baca
Ilustrasi
SUPRIYANTO

Ilustrasi

Isu perempuan dan anak setidaknya dalam dua kali debat Pemilu 2024 tidak spesifik dibahas secara mendalam. Hanya ada satu pertanyaan ketika debat pertama untuk calon presiden yang menyinggung pelayanan publik inklusif, termasuk kepada perempuan dan anak.

Saat itu pun ketiga calon presiden hanya mengulik permukaan, seperti memastikan keterlibatan kelompok perempuan dan pemerhati anak dalam proses musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) serta super apps yang dapat merespons kebutuhan pelayanan publik, termasuk perempuan dan anak. Namun, tidak dibahas secara mendalam sebenarnya apa masalah yang dialami perempuan dan anak Indonesia saat ini serta tawaran pemecahannya.

Kekerasan menghantui

Kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2023 menjadi catatan merah bagi Indonesia. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada Januari hingga November 2023 tercatat pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 sebanyak 1.290 kasus. Dari total kasus tersebut, jenis kekerasan paling banyak adalah kekerasan fisik di area domestik (kekerasan dalam rumah tangga/KDRT), kekerasan berbasis jender online, dan kekerasan seksual.

Data tersebut tentu bukan angka final. Catatan lain dari Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk DKI Jakarta terdapat 1.089 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam periode Januari hingga Agustus 2023. Lingkup kejadian kekerasan yang terbanyak masih sama, yakni KDRT, diikuti kekerasan seksual.

Baca juga: Tangani Serius Kekerasan pada Perempuan

Aduan-aduan kekerasan terhadap perempuan dan anak terpecah juga pada masing-masing lembaga aduan tiap wilayah. Tentu, angka tersebut dipercaya bukan sebagai angka kasus yang sesungguhnya karena kasus kekerasan merupakan kasus yang tercatat berdasarkan aduan. Apabila ada korban kekerasan yang tidak mengadukan, maka tidak akan tercatat.

Layaknya fenomena gunung es, kasus ini hanya tercatat di permukaannya. Mungkin kita masih ingat dengan kasus pemerkosaan yang terjadi di Purwakarta oleh guru ngaji berinisial ON. Kasus yang terlapor ada 10 korban dan aksi tersebut dilakukan sejak korban kelas 4 SD hingga saat ini kelas 3 SMP. Sudah lima tahun dan baru terungkap pada Desember 2023.

Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi permasalahan mendesak yang perlu diselesaikan oleh ketiga pasangan calon presiden (capres) serta calon wakil presiden (cawapres).

https://cdn-assetd.kompas.id/O5vEMzfhG13OhQrdTrt3ZTt6fyk=/1024x2371/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F12%2F27%2F20211227-HKT-Kekerasan-PerempuanAnak-mumed-01_1640621822_jpg.jpg
Iklan

Relasi kuasa

Selayaknya semua manusia memiliki kedudukan yang sama untuk dijamin hidup dengan aman. Tidak ada yang lebih tinggi satu sama lain. Perempuan setara dengan laki-laki. Anak setara dengan orang dewasa. Seperti dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ”Setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin”. Namun, kekerasan yang terus terjadi pada perempuan dan anak berakar dari adanya relasi kuasa yang begitu runcing dalam struktur masyarakat patriarki.

Dalam struktur masyarakat patriarki terdapat ketimpangan kuasa antara kelompok yang kuat dan kelompok yang secara sosial dianggap lemah. Dalam sistem masyarakat patriarki, laki-laki dianggap lebih memiliki kontrol daripada yang lain. Seperti perkataan Walby (1990) bahwa sistem patriarki terdiri dari praktik sosial di mana laki-laki mengeksploitasi dan mengontrol perempuan. Selaras pula dengan perkataan Parker dan Reckdenwald (2008) bahwa laki-laki memegang tanggung jawab keluarga sehingga ia memiliki otoritas untuk mengendalikan keluarga.

Apa pun otoritas tidak terkontrol memiliki peluang bertindak sewenang-wenang yang salah satunya berujung kepada kekerasan. Meskipun tidak dimungkiri laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan, tetapi secara struktur sosial patriarki yang menempatkan laki-laki memiliki hak mutlak mengatur perempuan dan anak memberikan peluang lebih besar sebagai pelaku kekerasan.

Kekerasan yang terus terjadi pada perempuan dan anak berakar dari adanya relasi kuasa yang begitu runcing dalam struktur masyarakat patriarki.

Konstruksi sosial ini memberikan dampak buruk terhadap otoritas laki-laki yang disalahgunakan seperti dalam istilah maskulinitas toksik. Istilah yang diperkenalkan oleh Shepherd Bliss pada 1990 ini mendefinisikan seorang laki-laki harus memiliki kekuatan fisik, cenderung tidak memakai perasaan, dan memiliki perilaku agresif.

Maka tidak heran apabila kita refleksikan dalam suatu rumah tangga, misalkan dipicu oleh masalah ketidakstabilan ekonomi yang oleh masyarakat dibebankan tanggung jawab mencari nafkahnya oleh laki-laki. Ketika ekonomi keluarga tidak stabil sangat mudah menjadi pemicu konflik rumah tangga antara suami dan istri. Maskulinitas toksik yang menggambarkan laki-laki cenderung lebih agresif, menonjolkan kekuatan fisik, dan tidak memiliki perasaan tadi melampiaskannya dengan melakukan kekerasan terhadap istri.

Bisa juga dibayangkan dalam relasi kuasa guru ngaji di Purwakarta tadi yang merasa berhak atas tubuh murid ngajinya. Selama lima tahun korban diam hingga korban terus bertambah menjadi 10 orang.

https://cdn-assetd.kompas.id/ssE3xAR8NZUF1g-awwGM6qm1NPM=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F07%2Fc97f62e9-5978-4268-9de3-ffa3ecbf1b93_jpg.jpg

Eksplorasi program tawaran tiga kandidat

Ketiga pasangan capres-cawapres sebenarnya sudah menawarkan masing-masing program yang memihak kepada perempuan dan anak dalam dokumen visi-misinya. Seperti pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dengan janji perempuan aman dari kekerasan, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dengan tawaran program Jaga Teman, serta janji Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan program penguatan kesetaraan jender dan pelindungan hak perempuan dan anak.

Janji-janji ketiga pasangan capres-cawapres tersebut perlu dieksplorasi lebih lanjut karena tantangan mereka adalah merombak struktur sosial yang sudah turun-temurun melanggengkan patriarki dengan relasi kuasa yang timpang. Apabila ingin merombak struktur relasi kuasa, tawaran program ketiga pasangan capres-cawapres seharusnya bukan lagi ada di tataran penanganan kasus, melainkan mencegah kasus tersebut dapat terjadi.

Ashilly Achidsti, Dosen Administrasi Publik Universitas Negeri Yogyakarta

Ashilly Achidsti
ARSIP LINKEDIN

Ashilly Achidsti

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan