logo Kompas.id
Opini”Slepet”, Joget, atau...
Iklan

”Slepet”, Joget, atau ”Sat-set” Otonomi Daerah

Sayang sekali bila pada masa kampanye, segudang persoalan otda yang melanda negeri ini tidak diperdebatkan para capres.

Oleh
DJOHERMANSJAH DJOHAN
· 8 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/FgRsHz40vAlRHsYbRpYLeqfk4sE=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F15%2F4be8a986-e0ba-4f37-9322-d15bbca5feb1_jpg.jpg

Otonomi daerah adalah tugas pemerintahan yang luas untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan demokrasi di seluruh pelosok negeri.

Ia tidak hanya perkara Ibu Kota Nusantara (IKN) baru dan IKN lama, atau menata kota-kota yang tahun 2035 bakal dihuni oleh dua pertiga penduduk Indonesia. Atau menyelesaikan konflik pusat vs daerah yang berlarut-larut di Papua. Bahkan, juga bukan sekadar menaikkan gaji kepala desa dan meningkatkan jumlah dana desa dari Rp 1 miliar menjadi Rp 5 miliar per desa.

Otonomi daerah (otda) spektrumnya terbentang mulai dari pembentukan daerah otonom, transfer kewenangan dari pusat kepada daerah, pembentukan kelembagaan pemda, manajemen birokrasi lokal, pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah, pengelolaan keuangan daerah, hubungan antarpemerintahan, hingga pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dan pemerintah desa.

Selain tugasnya yang amat luas, otda merupakan big business. Jika pemerintah bisa mengurusnya dengan baik, separuh urusan negara akan selesai. Presiden bisa fokus ke separuh urusan lainnya, yaitu memimpin kementerian/lembaga yang menangani urusan pembangunan sektoral, menjalin hubungan baik dengan lembaga tinggi negara, dan tampil di panggung regional dan global.

Ia tak perlu lagi marah-marah kepada kepala daerah atau berlelah-lelah mengumpulkan ribuan kepala desa.

Betapa tidak? Tengok saja jumlah daerah otonom yang menembus angka 500, tepatnya 546; terdiri dari 38 provinsi, 93 kota, dan 415 kabupaten. Kewenangan yang dimiliki juga bukan ”kaleng-kaleng”.

Mulai dari urusan pendidikan dasar dan menengah, kesehatan, jalan dan jembatan, perumahan, tenaga kerja, perindustrian dan perdagangan, pertanian, kelautan dan perikanan, hingga kepariwisataan. Tak kurang dari 32 urusan pemerintahan dilimpahkan ke daerah.

Selain tugasnya yang amat luas, otda merupakan big business. Jika pemerintah bisa mengurusnya dengan baik, separuh urusan negara akan selesai.

Ditilik dari segi birokrasi, dari 4,28 juta aparatur sipil negara (ASN) kita, 3,33 juta bekerja untuk pemda (78 persen). Belum lagi uang yang dikelolanya. Rata-rata sepertiga dari APBN ditransfer ke daerah.

Pada tahun 2023, jumlahnya Rp 825 triliun. Jika ditambahkan dengan pendapatan asli daerah (PAD) provinsi, kabupaten, dan kota se-Indonesia yang Rp 361 triliun pada 2023, sekitar Rp 1.186 triliun dibelanjakan oleh pemda. Jumlah yang sangat besar dan jika dibelanjakan secara berkualitas, akan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Secara legal-konstitusional, UUD 1945 sendiri mengatur cukup detail, sampai membuat bab khusus soal pemerintahan daerah, seperti pada Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Turunannya mencakup UU Pemda, UU Pilkada, dan UU Desa, plus UU khusus/istimewa untuk Papua, Aceh, Yogyakarta, DKI Jakarta, dan IKN.

Masalah otonomi daerah

Kondisi otda kita kini terus terang sedang tidak baik-baik saja. Beberapa di antara isu yang menonjol adalah masalah resentralisasi, korupsi kepala daerah, politik dinasti, pecah kongsi kepala daerah-wakil kepala daerah, dan tidak efektifnya peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Sayang sekali bila pada masa kampanye sekarang, segudang persoalan otda yang melanda negeri ini tidak diperdebatkan oleh para capres dalam kampanyenya. Masyarakat di 546 daerah otonom itu tentu akan suka memilih capres yang paham dan pro-otonomi daerah, bukannya pro-sentralisasi.

https://cdn-assetd.kompas.id/Rw_L7p7ft_hDpHGULPGN6ljYtuk=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F10%2F35a19178-1bd8-4e78-9bbc-9b782d2d909c_jpg.jpg

Resentralisasi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo makin menjadi-jadi. Tak hanya di bidang administrasi dan ekonomi, seperti penarikan berbagai perizinan dan kewenangan berskala lokal ke pusat, tetapi juga sudah merambah ke ranah politik. UU Cipta Kerja yang menarik izin IMB dan UU No 3/2020 tentang Minerba yang mengambil tambang galian C (pasir dan kerikil) ke pusat adalah contoh nyata resentralisasi administrasi dan ekonomi.

Sementara contoh resentralisasi politik adalah pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah bila terjadi kekosongan (vacuum of power) jabatan dalam tempo lama, yang dilakukan langsung oleh Presiden, bukan lewat pemilihan di DPRD atau perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang notabene dipilih langsung oleh rakyat.

Dalam Pasal 10 RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ), gubernur/wakil gubernur bahkan diangkat oleh Presiden, tak lagi dipilih langsung oleh rakyat, menyusul pola pengangkatan kepala/wakil kepala IKN. Demokrasi lokal lewat pilkada langsung yang sejak 2004 telah ditancapkan (deepening democracy) kini dipereteli.

Korupsi kepala daerah tak kunjung reda. Terakhir, gubernur Maluku Utara dua periode yang sudah mau habis masa jabatannya dioperasi tangkap tangan (OTT) KPK. Modus operandinya hampir sama dengan kepala daerah yang lain: terlibat kasus jual beli jabatan, gratifikasi, dan suap pengadaan barang dan jasa.

Saya mencatat, sejak pilkada langsung berbiaya tinggi digelar tahun 2005, hingga 2024 ini terdapat 404 kepala daerah/wakil kepala daerah kena kasus hukum. Rinciannya: gubernur 37, wakil gubernur 7, bupati 227, wakil bupati 48, wali kota 70, wakil wali kota 15.

Resentralisasi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo makin menjadi-jadi. Tak hanya di bidang administrasi dan ekonomi, seperti penarikan berbagai perizinan dan kewenangan berskala lokal ke pusat, tetapi juga sudah merambah ke ranah politik.

Korupsi yang dilakukan ratusan pimpinan pemda ini juga menyeret ribuan pejabat birokrasi, berdampak pada rusaknya tata kelola pemda yang baik dan terhalangnya upaya perangi kemiskinan.

Iklan

Rentetan lainnya tumbuh subur politik dinasti di daerah, di mana anak atau istri kepala daerah/wakil kepala daerah naik menggantikan sang bapak/suami. Bahkan, fenomena itu kini menjalar ke tingkat pemerintahan nasional. Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo yang baru menjabat Wali Kota Solo dua tahun, diorbitkan menjadi cawapres. Sirkulasi kepemimpinan pemda jadi mandek karena jabatan hanya beredar di lingkaran ”trah” tertentu saja.

Perkara serius lainnya adalah politisasi birokrasi pemda pada waktu pilkada, yang menyebabkan promosi jabatan juga penuh dengan afiliasi politik (Prasojo, 2023). Belum lagi kalau ditelisik soal maraknya pecah kongsi kepala daerah dan wakilnya yang, menurut catatan saya, terjadi di lebih dari 90 persen daerah. Tentu ini pendidikan politik yang buruk bagi rakyat, dan membuat repot birokrasi di bawah dua pimpinan yang tidak akur.

Pemekaran daerah telah sepuluh tahun dimoratorium, kecuali untuk Papua yang tahun lalu diizinkan memekarkan provinsinya dari dua jadi enam karena alasan untuk mengendalikan konflik. Sementara usulan pemekaran daerah tak pernah berhenti. Pemerintah menerima tak kurang dari 329 usulan pembentukan daerah otonom baru (DOB), terdiri atas 55 provinsi, 237 kabupaten, dan 37 kota (Ditjen Otda Kemendagri, Mei 2022). Terlepas dari terpenuhinya atau tidak persyaratan, fenomena ini menunjukkan aspirasi untuk membentuk DOB belum padam.

Sejak awal reformasi 1999 sampai moratorium 2014, Indonesia telah menambah daerah otonom sebanyak 223 (8 provinsi, 181 kabupaten, 34 kota). Banyak masyarakat meyakini pemekaran daerah merupakan pintu masuk guna meraih kesejahteraan. Tak elok jika dibiarkan mengambang tak ada kepastian.

https://cdn-assetd.kompas.id/GoTx6XkT9XbDUUfOloTM3Y79U3g=/1024x1536/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F17%2F5c8dd78d-f25f-4b5d-ac33-429f16e0b798_jpg.jpg

Gubernur selaku wakil pemerintah pusat (GWPP) tak efektif. Pembinaan dan pengawasannya ”diacuhkan” oleh bupati/wali kota. Tak jarang bupati/wali kota berani melawan gubernur secara terbuka, menolak dikoordinasikan dan disupervisi, dan mengusirnya jika berkunjung ke wilayahnya.

Pihak kementerian/lembaga pun kerap mem-by pass gubernur dengan terjun langsung ke kabupaten/kota. Anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah yang terdiri atas unsur kepala kepolisian, kepala kejaksaan, komandan TNI, dan ketua DPRD tak banyak lagi yang segan kepada gubernur, padahal ia menjadi ketua forumnya.

Pemerintah pusat tak pula menyediakan perangkat dan pembiayaan kepada gubernur untuk melaksanakan tugas perpanjangan tangan (verlengstuk) itu. Masalah ini diperparah lagi dengan tak adanya peran gubernur dalam menjadikan seseorang bupati/wali kota. Mereka sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Bahkan, ada bupati/wali kota yang jadi penantang gubernur petahana di pilkada.

Pola relasi ala integrated-prefectoral system ini, di mana gubernur berperan ganda sebagai kepala daerah sekaligus wakil pemerintah pusat, tidak menyambung dengan perkembangan demokrasi lokal kita kini. Dari bentangan beberapa masalah utama otda di atas, publik tentu ingin tahu bagaimana capres dan cawapres memandang atau menjawabnya di dalam visi dan misi mereka.

Janji para kandidat

Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam visinya, ”Indonesia Adil dan Makmur untuk Semua”, pada misi ke delapan mengagendakan pembenahan otda. Dijanjikan akan diakhiri tarik-menarik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, diberi ruang bagi daerah mengelola potensi kekayaan, perbaikan pembiayaan pilkada agar tak mahal.

Juga dijanjikan pencegahan politisasi birokrasi, memfasilitasi pembentukan daerah otonom secara selektif, penguatan pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap pemda terkait kewenangan yang dilimpahkan. Selain itu, sistem pelayanan publik yang cepat, mudah, dan murah dalam pemenuhan urusan konkuren wajib pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan, akan dihadirkan.

Baca juga: Menjamin Netralitas Presiden

Banyak masyarakat meyakini pemekaran daerah merupakan pintu masuk guna meraih kesejahteraan. Tak elok jika dibiarkan mengambang tak ada kepastian.

Slepetan pasangan ini cukup mengena, hanya kelemahannya publik tak tahu bagaimana cara mereka mewujudkannya.

Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mengusung visi ”Bersama Indonesia Maju, Menuju Indonesia Emas 2045”. Pasangan ini menjanjikan akan membangun dari desa dan dari bawah untuk pemberantasan kemiskinan, seperti membangun atau merenovasi rumah penduduk desa, membuat desa terakses internet, dan memperbaiki tata kelola dana desa.

Selain itu, juga memperbaiki jalan daerah yang tidak mampu ditangani pemda, menata desentralisasi dan otda untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemda, memperbaiki manajemen pelaksanaan pilkada, revitalisasi pengawasan melalui pembangunan inspektorat independen, dan membahas kembali pemekaran daerah. Misi penanganan otda lewat ”joget kebijakan” pasangan ini bisa membuai orang desa dan daerah bila tersosialisasi secara luas.

Visi Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, ”Menuju Indonesia Unggul Gerak Cepat, Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari”. Pasangan ini menjanjikan melipatgandakan dana desa, satu desa satu fasilitas kesehatan, menjanjikan kota sebagai sentra pertumbuhan, ekonomi yang dapat mendorong desa tumbuh bersama, memperluas ketersediaan mal pelayanan publik, memastikan pelayanan pemerintahan sat-set dengan digitalisasi.

Kendati tak terlalu telak menyentuh persoalan aktual otda karena lebih fokus ke perkara desa, misi mereka menunjukkan keinginan mempercepat pembangunan desa dan kota.

Dalam agenda ketiga pasangan capres dan cawapres tampak ada sentuhan untuk menyelepet, menjoget. dan men-sat-set persoalan otda meskipun kadarnya berbeda-beda. Artinya, mereka cukup menyadari bahwa diperlukan penataan desentralisasi di Indonesia ke depan.

Guna menggali bagaimana detail mewujudkannya dan pasangan mana yang paling perhatian terhadap otda, sangat urgen jika dalam tema debat capres atau cawapres yang akan datang ditambahkan isu otda.

Jangan sampai terulang kasus IKN yang tidak muncul dalam visi dan misi ataupun debat pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin tahun 2019, tiba-tiba lahir menjadi kebijakan yang membebani keuangan negara.

Djohermansyah Djohan,Guru Besar IPDN, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (2010-2014), Pendiri i-OTDA

Djohermansyah Djohan.
KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO

Djohermansyah Djohan.

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan