Partai dan Kompetisi Legislatif
Pemilu serentak membuat partai tak hanya mengampanyekan capresnya, tetapi juga berkompetisi meraih kursi parlemen.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merilis daftar calon tetap untuk Pemilihan Legislatif 2024. Sebanyak 9.917 calon anggota legislatif dari 18 partai politik peserta pemilu akan memperebutkan 580 kursi DPR di 84 daerah pemilihan.
Jumlah itu lebih banyak dibandingkan dengan Pemilu 2019. Pada Pemilu 2019, calon anggota legislatif (caleg) yang bersaing sejumlah 7.968, dengan jumlah kursi DPR yang diperebutkan sebanyak 575 (Kompas.com, 6/11/2023).
Dengan jumlah tersebut, persaingan partai untuk meraih kursi parlemen akan bertambah ketat. Skema pemilu serentak, dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden digelar dalam waktu yang bersamaan, membuat partai tidak hanya mengampanyekan calon presidennya, tetapi juga berkompetisi meraih kursi parlemen. Bagaimana partai bersaing untuk kompetisi legislatif level nasional?
Persiapan partai dalam menghadapi pemilu legislatif sudah dimulai ketika partai melakukan penjaringan sampai penetapan caleg. Sebagian partai telah mendaftarkan calonnya sesuai dengan kuota maksimal. Partai berusaha untuk mendapatkan calon yang dapat memberikan potensi menarik suara.
Baca juga: Saatnya Mencermati Caleg
Calon yang diajukan partai datang dari beragam latar belakang. Dari tokoh populer, pejabat atau pemimpin partai, menteri atau wakil menteri, dan para petahana anggota legislatif (Kompas, 15/5/2023; Rahayu, 2023).
Pertimbangan elektoral menjadi salah satu acuan partai untuk menempatkan figur-figur tersebut dalam surat suara pemilu legislatif. Dengan harapan partai bisa mempertahankan atau meningkatkan kursi di parlemen.
Seperti pemilu periode sebelumnya, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen. Persyaratan tersebut tidak mudah untuk diraih partai.
Merujuk elektabilitas partai dari sejumlah hasil survei, antara lain oleh Indikator Politik, Poltracking Indonesia, Populi Center, yang dirilis pada November 2023, sebagian besar partai yang saat ini duduk di Senayan memiliki peluang untuk lolos kembali. Sementara partai lain berpotensi gagal bersaing karena elektabilitas mereka berada di bawah 4 persen. Hasil survei tersebut bisa menjadi tantangan dan bahan evaluasi bagi partai-partai, yang saat ini sudah memasuki masa kampanye pemilu.
Tantangan tersebut terkait dengan pendekatan atau strategi yang digunakan partai dalam merebut suara pemilih. Partai merupakan organisasi yang adaptif dan bisa menginvestasikan sumber dayanya dalam melihat perubahan cara kampanye melalui transformasi teknologi (Farrell dan Webb, 2000).
Sebelumnya, partai bisa melakukan kampanye dengan cara seperti tatap muka, menggunakan selebaran, poster, dan televisi. Namun, saat ini, selain memakai cara itu, mereka juga bisa menjangkau pemilih lebih luas melalui internet. Hal ini memberikan peluang bagi adanya interaksi kandidat-pemilih (Ufen, 2010).
Di Indonesia, adaptasi atas perubahan kondisi seperti itu memberikan kesempatan penggunaan media sosial pada aktor politik dan warga negara dalam proses politik (Johansson, 2016).
Penggunaan berbagai sarana komunikasi kampanye membantu sosialisasi partai untuk memperkuat pengenalan kepada pemilih, terutama partai-partai yang baru mengikuti pemilu. Mereka akan bersaing dengan partai-partai lama yang relatif sudah dikenali publik. Intensitas partai dalam melakukan sosialisasi akan memberikan dampak kepada pemilih untuk menentukan pilihan.
Selain sosialisasi oleh mesin partai, persaingan partai juga bisa dipengaruhi kerja para caleg di lapangan.
Dengan merujuk survei Indikator (27 Oktober–1 November 2023), dukungan partai akan cenderung lebih besar jika pemilih terekspose sosialisasi partai. Karena itu, pada musim kampanye ini bagaimana sosialisasi yang dilakukan partai difokuskan pada upaya mengonversi pengenalan menjadi bentuk dukungan elektoral.
Selain sosialisasi oleh mesin partai, persaingan partai juga bisa dipengaruhi kerja para caleg di lapangan. Para caleg adalah orang yang akan menjadi perwakilan wajah partai di depan pemilih. Mereka yang akan menghubungkan partai dengan pemilih. Para pemilih akan mengenali partai dan calonnya melalui interaksi di antara pemilih dan caleg.
Organisasi partai dengan para kader yang mengakar sampai pada level bawah akan memberi peluang dukungan pada kerja pemenangan. Kerja sama antara mesin partai dan caleg akan membuka peluang interaksi yang intens antara kandidat dan pemilih.
Intensitas interaksi akan berkaitan dengan pilihan strategi atau cara kampanye caleg. Mereka yang terpilih tidak mesti karena faktor dukungan sumber daya, terutama finansial yang cukup besar, tetapi juga bisa karena cara kerja lapangan dan strategi pemenangannya.
Pada masa kampanye, kandidat bisa membangun koneksi dengan pemilih melalui kampanye dari pintu ke pintu (door to door canvasing) dan kampanye terprogram di media sosial untuk memobilisasi pemilih (Rohman dan Holilah, 2021).
Cara ini memang juga bisa memakan waktu, tetapi dengan menjangkau masyarakat lebih dekat, caleg akan memperoleh keuntungan untuk lebih mengenal masyarakat, minat pemilih, preferensi partai, dan kebijakannya (Keschmann, 2013).
Setiap partai memiliki program atau gagasan untuk dijual kepada pemilih. Agar hal tersebut sampai ke ingatan pemilih, kandidat memiliki peran untuk menjelaskan kepada pemilih mengenai agenda atau program partai, seperti tentang keuntungan program apa yang didapatkan pemilih ketika akan mendukung partai tertentu.
Dengan kecenderungan diferensiasi terbatas di antara program-program partai di Indonesia saat ini, pilihan narasi atas program yang bisa menarik pemilih menjadi pertimbangan dalam mengampanyekan partai. Misalnya, antara partai yang berada dalam pemerintahan dan partai yang berada di luar pemerintahan bisa berbeda narasi kampanye yang diperjuangkan.
Baca juga: Arah Kuasa Elektoral
Berdasarkan survei Litbang Kompas, publik mengharapkan pilihan materi kampanye dari caleg pada beberapa isu yang dianggap penting saat ini, yakni ketersediaan lapangan pekerjaan, harga bahan pokok terjangkau, dan bantuan sosial dari pemerintah (Kompas, 27/11/2023).
Dari beberapa isu utama yang diinginkan publik itu, partai dan kandidat legislator bisa memetakan pilihan isu dan basis pemilih yang akan disasar untuk mengefektifkan kerja pemenangan setiap calon dari partai yang sama. Karena melalui sistem pemilu proporsional terbuka, persaingan internal antarcaleg untuk memperebutkan suara pemilih bisa terjadi.
Meski partai dan caleg akan bekerja untuk pemenangan legislatif, tetapi dengan skema pemilu serentak, mereka juga tidak bisa melepaskan perhatiannya dari pemilihan presiden. Kampanye partai, caleg, juga akan menghubungkan dengan kerja pemenangan untuk calon presiden yang diusung partai.
Diharapkan, dengan ini, popularitas setiap kandidat presiden akan memberikan potensi keterpilihan pada partai dan kandidat yang mengampanyekan. Untuk itu, perhatian partai untuk kerja pemenangan pemilu legislatif dan presiden juga saling berhubungan.
Ridho Imawan Hanafi, Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)