logo Kompas.id
OpiniDebat Capres, Panggung...
Iklan

Debat Capres, Panggung Klarifikasi

Jika di forum debat itu diungkit soal keluarga atau rumah tangga, itu layak disebut urusan pribadi.

Oleh
RENVILLE ALMATSIER
· 3 menit baca
Meskipun penyelenggaraan debat dikomentari Presiden Joko Widodo, Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari menegaskan tidak akan mengubah format untuk sisa dua debat berikutnya.
KOMPAS

Meskipun penyelenggaraan debat dikomentari Presiden Joko Widodo, Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari menegaskan tidak akan mengubah format untuk sisa dua debat berikutnya.

Debat ketiga Pemilihan Presiden 2024 hari Minggu lalu mengundang kontroversi di antara para penonton, baik pengamat maupun orang awam. Tidak saja soal substansi utang dan data rahasia negara, tetapi lebih pada situasi di atas panggung yang disebut saling menyerang secara personal. Bahkan, Presiden Jokowi menilai ”telah saling menjatuhkan dengan motif-motif personal” (Kompas, 9 Januari 2024).

Sebagai orang awam, dengan menggunakan ”kacamata” netral, saya berbeda pendapat dengan penilaian Presiden. Jika di forum itu diungkit soal keluarga atau rumah tangga, itu layak disebut urusan pribadi. Namun, jika menyentuh soal kedinasan ataupun personal dalam diri pejabat publik, memang saling berkelindan.

Ketika calon presiden (capres) nomor urut 1 mengangkat isu soal penguasaan tanah seluas 340.000 hektar dikaitkan dengan data penyediaan rumah bagi prajurit, tidak ada yang melanggar etika. Sebab, selama ini kita sudah sering mendengar dan membaca isu atau wacana yang berkembang di media sosial soal kepemilikan tanah, pembelian pesawat bekas, isu manipulasi, dan lain-lain.

Wajar jika capres nomor urut 1 bertanya kepada capres nomor urut 2 yang juga adalah Menteri Pertahanan. Betapa pun pernah tersiar santer isu itu, tidak pernah ada klarifikasi atau informasi yang benar, bagi publik semua tetap remang-remang. Akibatnya yang berkembang malah hoaks. Bukankah kalaupun itu rahasia negara, tetap bisa dijelaskan baik-baik bahwa itu menyangkut keamanan bersama.

Sama halnya dengan isu-isu negatif terkait kebijakan Gubernur DKI yang waktu itu dijabat oleh capres nomor urut 1. Hal itu sebenarnya juga bisa ditanyakan. Di forum inilah kita ingin membuat jelas semua yang remang-remang tadi. Semua baru bisa diklarifikasi ketika ada kesempatan berhadapan dengan tokoh yang bersangkutan.

Saya kira itulah makna debat yang ideal menjadikan panggung arena untuk saling mengadu argumentasi dan menjelaskan apa saja menyangkut kebijakan atau diri sebagai pejabat publik. Setiap peserta debat, apalagi politisi yang maju untuk jadi presiden, harus bisa dan berani menghadapi cecaran pertanyaan.

Bukan apa-apa, bukan juga bermaksud ”menelanjangi” para elite politik. Kita ingin memilih pemimpin yang terbaik, luar-dalam. Karena itu, menjadi pelajaran bagi para pemimpin, apabila menjadi pejabat, jadilah pejabat yang tidak ada cela. Hanya pemimpin yang bersih, jujur, dan punya rekam jejak tak bercela yang pantas memimpin kita. Kita ingin yang the best!

Iklan

Renville Almatsier

Ciputat, Tangerang Selatan

Merit

Di babaran/edisinya yang perdana tahun 2024 ini Kompas memindah rubrik/kolom Bahasa dari halaman 5 ke halaman 8, dan menyuguhkan artikel Kasijanto Sastrodinomo yang berjudul ”Merit dan Meritokrasi” (Selasa, 2/1/2024).

Kasijanto memberikan kepada kita, penggemar kolom Bahasa, arti harfiah dari kata merit. Melalui kutipan kata, frasa, dan kalimat dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Italia, ia juga menjelaskan arti kata merit itu secara kias (figuratif) dan ungkapan (idiomatis). Namun, ia tidak menyarankan kata dari bahasa Indonesia atau bahasa daerah sebagai terjemahan atau padanan merit.

Dalam bahasa Jawa, kata merit menghadirkan gambaran bilah kulit bambu (welat, Jw) yang tipis, tajam, dan ujungnya runcing. Merit (Jw) juga mengiangkan suara soprano yang melengking tinggi dan merdu.

Kesan ini berbeda jauh dari makna merit yang dijelaskan Kasijanto. Karena itu, tak akan ada masalah kalau kata merit (Ing) kita pungut saja, lalu kita masukkan ke dalam kosakata bahasa Indonesia. Perbendaharaan kata kita akan diperkaya dengan masuknya kata yang—menurut Kasijanto—”elok makna” ini.

Asal tahu saja, elok dalam pasangan kata elok makna itu, meskipun kalau berdiri sendiri merupakan adjektiva, selaku pasangan kata makna berfungsi sebagai bentuk penggabung (bentuk terikat). Karena itu, seharusnya elok dan makna dalam pasangan kata tersebut ditulis serangkaian (elokmakna) atau dihubungkan dengan sempang (hyphen): elok- makna.

L Wilardjo

Klaseman, Salatiga

Editor:
YOHANES KRISNAWAN
Bagikan