Tanggung Jawab Pilihan
Pilihan rakyat dapat menentukan kualitas kepemimpinan dan kehidupan bernegara dalam satu periode pemerintahan ke depan.
Pilihan (lebih tepatnya menggunakan hak pilih) merupakan tanggung jawab, khususnya pilihan terkait pemimpin, baik di jajaran legislatif ataupun eksekutif, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Dalam sistem demokrasi yang meletakkan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat, level pilihan sebagai tanggung jawab berada di titik tertinggi karena pilihan rakyat dalam sebuah pemilu dapat menentukan kualitas kepemimpinan dan kondisi kehidupan bernegara dalam satu periode pemerintahan ke depan. Apabila pemimpin baik yang dipilih oleh rakyat, maka akan baik pula kehidupan berbangsa ke depan. Lebih kurang demikian pula sebaliknya.
Meminjam semangat hukum Islam, menggunakan hak pilih dalam pemilu bisa dimasukkan dalam kategori fardlu kifayah (atau kewajiban kolektif). Bahkan, ke-fardlu-an memilih (atau menggunakan hak pilih) dalam pemilu berada di level tertinggi yang sudah sangat mendekati kewajiban perorangan (fardlu āain).
Baca juga: Hak Pilih untuk Masa Depan Bangsa
Disebut demikian karena di satu sisi, ke-fardlu-an memilih dalam pemilu mengandung adanya dosa kolektif manakala tidak ada orang yang melaksanakan tanggung jawab ini. Namun demikian, di sisi lain, ke-fardlu-an memilih dalam pemilu tidak menjadi gugur hanya karena adanya pihak lain yang telah melaksanakan ke-fardlu-an ini (sebagaimana definisi klasik tentang fardlu kifayah dalam hukum Islam). Mengingat tingginya maslahat manakala tanggung jawab memilih dilakukan, ataupun sebaliknya; mengingat tingginya mudarat manakala tanggung jawab memilih tidak dilakukan.
Pilihan terbaik
Persoalannya adalah pemilu meniscayakan adanya kontestasi antarkandidat atau bahkan antarpartai yang kadang-kadang menggunakan kampanye negatif kepada pihak atau kandidat tertentu. Dalam keadaan tertentu, kampanye negatif bisa sampai pada tahap seakan-akan negara akan hancur apabila dipimpin oleh ācalon pemimpinā atau partai tertentu. Hingga sebagian pihak tak jarang memahami demokrasi dalam pemahaman yang sangat minimalis; demokrasi bukan untuk memilih calon pemimpin atau partai yang terbaik, melainkan untuk memilih yang terbaik dari yang buruk, atau justru agar yang terburuk tidak menang dan berkuasa.
Demokrasi sejatinya hendak menghadirkan pemimpin yang terbaik dari pilihan-pilihan baik yang ada. Dengan melibatkan masyarakat secara luas dan memberikan kedaulatan di tangan mereka, demokrasi mengharapkan hadirnya pemimpin rakyat yang diharapkan akan bekerja untuk kebaikan rakyat; dari rakyat untuk rakyat.
Dengan bahasa lain, demokrasi sesungguhnya memendam semangat kebaikan kolektif masyarakat; bahwa ada kebaikan bersama yang bisa dirasakan dan diketahui oleh masyarakat luas. Maka, apa pun yang disepakati oleh masyarakat luas sebagai kebaikan adalah kebaikan dalam senyatanya. Maka, pilihan kebanyakan masyarakat terhadap calon pemimpin menunjukkan calon tersebut sebagai calon yang terbaik.
Demokrasi mengharapkan hadirnya pemimpin rakyat yang diharapkan akan bekerja untuk kebaikan rakyat; dari rakyat untuk rakyat.
Dalam hukum Islam, sebagian ulama menjadikan ijmak atau konsensus sebagai salah satu sumber hukum, yaitu Al Quran, hadis, qiyas, dan ijmak. Keberadaan Ijmak sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memang masih menjadi perdebatan antara yang setuju dengan yang tidak. Namun, semangat dari ijmak lebih kurang sama dengan semangat kebaikan kolektif masyarakat; bahwa tidak mungkin masyarakat luas menyepakati kebaikan sebagai keburukan. Pun demikian sebaliknya.
Dengan kata lain, kesepakatan masyarakat luas menunjukkan adanya kebaikan di dalamnya. Minimal demikianlah pesan hadis yang kerap dijadikan sebagai dalil bagi mereka yang menjadikan Ijmak sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam, yaitu bahwa umatku (kata nabi) tidak akan bersepakat dalam kebatilan (la tajtamik ummatiy āala ad-dhalalah). Beberapa hadis senada lainnya.
Seleksi kepemimpinan
Dalam konteks seleksi kepemimpinan nasional, sejatinya semangat yang ada mengikuti mazhab ādemokrasi sempurnaā, bukan demokrasi minimalis sebagaimana di atas. Minimal apabila hal ini dibaca dari dua perundang-undangan yang terkait dengan kepemimpinan nasional, yaitu Undang-Undang Partai Politik dan UU terkait Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Mengikuti semangat demokrasi dan ketentuan perundang-undangan yang ada, maka daftar calon pemimpin yang diusulkan oleh partai politik dan daftar calon pemimpin yang ditetapkan oleh KPU harus dinyatakan sebagai calon-calon pemimpin terbaik yang ada. Dengan kata lain, daftar calon yang diusulkan oleh partai politik dan ditetapkan oleh KPU adalah putra-putri terbaik bangsa yang tidak ada masalah dengan komitmen kebangsaan, NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan seterusnya.
Peran dari lembaga-lembaga yang terkait dengan proses seleksi kepemimpinan harus lebih didorong untuk mewujudkan hal-hal substantif terkait kepemimpinan daripada fungsi-fungsi administratif.
Apabila tidak, berarti ada persoalan yang sangat serius terkait dengan partai politik yang ada. Pun demikian, apabila ternyata ada calon pemimpin yang bermasalah secara kebangsaan yang dicalonkan oleh partai politik dan ditetapkan oleh KPU, berarti ada persoalan yang sangat serius di tubuh partai politik dan KPU terkait dengan proses seleksi kepemimpinan.
Dalam hemat penulis, peran dari lembaga-lembaga yang terkait dengan proses seleksi kepemimpinan harus lebih didorong untuk mewujudkan hal-hal substantif terkait kepemimpinan daripada fungsi-fungsi administratif sehingga terlahir para calon pemimpin yang terbaik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ibarat daftar menu makanan, para calon pemimpin yang ada merupakan āmenu-menu sehatā yang bebas dipilih oleh masyarakat. Bukan justru ādaftar menuā yang juga mengandung āmakanan tidak sehatā, terlebih lagi āmakanan terlarangā ataupun haram.
Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi lagi penggunaan kampanye negatif terhadap calon atau pihak tertentu. Apabila masih terjadi, lembaga seperti KPU, Bawaslu, dan pihak-pihak terkait harus bisa memberikan tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang melakukan kampanye negatif ini sehingga proses kampanye dan pemilu yang ada berjalan kondusif.
Harus diakui bersama, kampanye negatif selama ini turut berkontribusi bagi terbentuknya polarisasi di kalangan masyarakat luas. Hingga polarisasi yang ada menciptakan keterbelahan yang tak langsung selesai bersamaan dengan selesainya masa kampanye atau masa pemilu. Bahkan, keterbelahan di tingkat masyarakat luas tak jarang masih bertahan walaupun calon-calon yang awalnya berseteru sudah melakukan rekonsiliasi.
Baca juga: Menimbang Figur Pemimpin Indonesia Pasca-2024
Inilah yang harus dipertimbangkan oleh semua pihak, mulai para calon pemimpin di semua tingkatan, tim sukses, hingga tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung calon tertentu. Khusus bagi para tokoh yang menjadi tim sukses dari calon tertentu, tanggung jawabnya tentu lebih berat lagi. Selain harus bertanggung jawab atas pilihannya sendiri, juga harus bertanggung jawab atas orang lain yang didorong untuk memilih calon yang dipilihnya.
Dalam salah satu hadisnya Nabi Muhammad SAW menegaskan, kullukum raāin wakullukum masāulun āan raāiyyatihi (setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban). Hadis ini hendak menegaskan betapa besarnya tanggung jawab sebuah pilihan, terutama pemilihan dalam konteks demokrasi yang menetapkan kedaulatan di tangan rakyat (sebagaimana telah dijelaskan di atas). Mari berkampanye secara positif dan mari memilih secara bertanggung jawab.
Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam