Efek Debat Calon Presiden
Debat punya peran penting dalam memengaruhi pilihan seseorang pada negara-negara dengan sistem kepartaian yang lemah.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024 akan memasuki masa krusial dan paling menentukan menjelang hari pemungutan suara 14 Februari 2024. Pendulum pilihan politik bisa saja bergerak stabil atau malah dinamis menjelang waktu tersebut.
Faktor pendorongnya bisa beragam, mulai dari performa calon di debat calon presiden (capres)/calon wakil presiden (cawapres) hingga kampanye akbar yang akan dilakukan pertengahan bulan ini.
Sepuluh tahun sebelumnya, pada Pilpres 2014, kampanye terbuka pasangan Joko Widodo (Jokowi)-M Jusuf Kalla (JK) ditutup oleh Konser Salam 2 Jari oleh Slank yang berhasil menghipnotis pemilih. Beberapa hari sebelumnya, jagat Twitter telah heboh oleh tagar #AkhirnyaMilihJokowi yang dicuit artis Sherina Munaf.
Dalam pilpres yang berlangsung panas tersebut, Jokowi-JK unggul dengan suara 53,15 persen dan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendapatkan suara 46,85 persen. Lima tahun setelahnya, sebagai petahana, Jokowi kembali menang dengan selisih 11 persen, dengan perolehan suara 55,5 persen melawan 44,5 persen (Prabowo-Sandiaga Uno).
Saat ini pertarungan kandidat dalam pilpres masih dinamis dan volatilitas suara masih terjadi. Potensi pilpres akan berlangsung dua atau satu putaran juga masih sama-sama terbuka. Survei tatap muka CSIS pada 13-18 Desember 2023 menunjukkan belum adanya calon yang berhasil tembus di atas 50 persen.
Survei yang dilakukan sehari setelah debat capres itu menunjukkan angka elektabilitas pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebesar 26,1 persen, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (43,7 persen), dan Ganjar Pranowo- M Mahfud MD (19,4 persen).
Saat ini pertarungan kandidat dalam pilpres masih dinamis dan volatilitas suara masih terjadi.
Dalam survei masih terdapat 6,4 persen pemilih yang merahasiakan dan belum menentukan pilihan, dan 4,5 persen pemilih yang mengatakan tidak tahu/tidak bersedia menjawab.
Belum adanya calon yang berhasil mendapatkan suara di atas 50 persen bisa jadi karena adanya tiga pasangan calon yang maju sehingga peluang untuk mendapatkan suara di atas 50 persen menjadi lebih berat.
Apalagi saat ini, baik pasangan Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud sama-sama berebut untuk mendapatkan satu tiket untuk putaran kedua. Sementara itu, pasangan Prabowo-Gibran sudah hampir dipastikan mengamankan satu tiket apabila terjadi dua putaran.
”Game changer”
Pertanyaannya, dalam sisa waktu sekitar enam minggu menjelang hari pemungutan suara, faktor apakah yang dapat menjadi game changer dan memengaruhi putusan akhir pemilih? Seberapa strategiskah peran debat dalam pilpres kali ini dan apakah akan menjadi game changer bagi calon?
Dalam pemilu di Indonesia, studi kuantitatif untuk melihat pengaruh debat dengan pilihan seseorang dalam pilpres memang masih terbatas. Kalangan akademik sejauh ini belum memberikan perhatian yang besar untuk mengukur peran debat terhadap perilaku seseorang dalam memilih.
Terkait efek debat, sejumlah literatur menemukan adanya batasan efek debat terhadap pilihan seseorang dalam pemilu.
Riset Geer (1988), misalnya, menunjukkan bahwa debat dapat memengaruhi seseorang yang belum menentukan pilihan (undecided voters) dan yang mempunyai ikatan yang lemah kepada kandidat. Sementara Holbert (2005) berargumen bahwa debat hanya mempunyai ”efek yang minimal” dalam mengubah pilihan seseorang dalam pemilu.
Cantu dan Carreras (2023) menunjukkan temuan lain: bahwa efek debat akan berpengaruh dan punya peran penting dalam memengaruhi pilihan seseorang pada negara-negara dengan sistem kepartaian yang lemah, seperti rendahnya kedekatan pemilih dengan partai dan tidak terlembaganya partai politik.
Kesimpulan tersebut diambil dari analisis pada level agregat 32 pemilu di 14 negara Amerika Latin dari tahun 2002 sampai tahun 2019.
Dalam kasus Indonesia, debat capres/cawapres 2024 berpotensi menjadi game changer yang akan memengaruhi putusan akhir pemilih menjelang hari pemungutan suara.
Setidaknya ada tiga argumen untuk menjelaskannya. Pertama, adanya kebutuhan pemilih untuk mendapatkan sumber informasi yang kredibel terkait dengan pandangan capres/cawapres apabila terpilih menjadi presiden/wakil presiden.
Saat ini, berdasarkan temuan survei CSIS, televisi masih dianggap sebagai sumber informasi kredibel untuk mendapatkan informasi terkait politik dan pemilu. Kebutuhan publik untuk mendapatkan informasi yang kredibel tersebut sejalan dengan cukup tingginya antusiasme publik untuk menyaksikan debat perdana capres.
Survei menunjukkan, setengah dari populasi pemilih (49,8 persen) mengaku menonton debat capres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 12 Desember 2023 (CSIS, 2023). Angka tersebut diperkirakan berpotensi membesar pada sisa putaran debat ke depan.
Dalam kasus Indonesia, debat capres/cawapres 2024 berpotensi menjadi game changer yang akan memengaruhi putusan akhir pemilih menjelang hari pemungutan suara.
Kedua, terjadinya perubahan kondisi politik dan perilaku masyarakat saat ini dibandingkan dua pemilu sebelumnya. Ketertarikan publik untuk mendiskusikan dan membandingkan program-program calon saat ini lebih meningkat ketimbang dua pemilu sebelumnya.
Pada Pemilu 2014 dan 2019, misalnya, terjadi keterbelahan politik di antara kedua pendukung pasangan calon dan pada saat yang sama disinformasi dan informasi hoaks juga menyebar dengan cepat. Kesiapan publik, media, dan platform teknologi untuk memitigasi penyebaran disinformasi juga belum sebaik saat ini.
Ketiga, menjelang akhir masa kampanye mulai terjadi kejenuhan kampanye pada sejumlah platform media sosial.
Dalam waktu yang terbatas ini, cukup sulit untuk memengaruhi perubahan pilihan pemilih di media sosial karena umumnya pengguna media sosial sudah memiliki kecenderungan dan afiliasi politik.
Debat kemudian menjadi pilihan utama untuk meyakinkan dan memengaruhi perubahan pilihan seseorang, apalagi exposure debat yang cukup tinggi. Debat ditayangkan secara langsung di televisi ataupun ditayangkan ulang di Youtube, atau platform lainnya.
Mengoreksi pilihan
Studi Brierley, Kramon, dan Ofosu (2019) menunjukkan, perdebatan kebijakan di antara calon menjadi faktor penting dalam memoderasi pilihan pemilih yang sudah partisan.
Dalam debat pertama capres lalu, perbedaan kebijakan dan pendekatan calon terkait dengan penyelesaian masalah hak asasi manusia (HAM) di Papua, isu penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, serta pelayanan publik tampak begitu kentara.
Secara umum, temuan survei CSIS (2023) menunjukkan, debat memang dapat mengkristalkan pilihan pemilih pada capres pada kisaran 78,4 persen dari pemilih yang menonton debat. Namun, 15,9 persen dari pemilih yang menonton debat juga mengaku jadi ragu dengan pilihannya setelah menonton debat. Sisanya, 3,1 persen pemilih, akan mengubah pilihannya setelah menonton debat.
Dalam kasus terkini di Indonesia, pada titik optimal, debat diperkirakan dapat berkontribusi memoderasi atau mengoreksi putusan akhir pilihan seseorang dalam pemilu di kisaran 5-10 persen.
Dengan sistem pemilu presiden dua putaran, apabila tak ada calon yang mendapatkan suara di atas 50 persen, efek debat yang minimal ini bisa menjadi strategis dan menentukan apakah pilpres akan berlangsung dua atau satu putaran.
Aspek strategis debat selanjutnya bisa memengaruhi pemilih yang masih belum yakin atau bimbang dengan pilihannya. Tipe pemilih seperti ini bisa jadi akan memilih calon yang sudah dia pilih sebelumnya atau memilih calon lain.
Dari temuan CSIS, sekitar 12,5 persen pemilih masih akan menunggu putaran debat sebelum benar-benar yakin dengan pilihannya. Dari sisi waktu, sekitar 5,8 persen pemilih akan benar-benar yakin dengan pilihannya setelah menyaksikan putaran debat capres/cawapres.
Dari temuan CSIS, sekitar 12,5 persen pemilih masih akan menunggu putaran debat sebelum benar-benar yakin dengan pilihannya.
Komisi debat
Tentu banyak catatan dari pelaksanaan setiap debat capres/cawapres, terutama dari sisi keterbatasan waktu calon menjawab pertanyaan dan banyaknya tema yang dibahas dalam debat tersebut.
Meskipun ada keterbatasan dari sisi formula dan waktu kandidat dalam berbicara, debat sudah menjadi salah satu referensi pemilih untuk mengomparasi gagasan, visi, dan program para capres/cawapres.
Membandingkan debat capres di Indonesia dan Amerika Serikat tentu kurang pas juga. Apalagi kita baru melaksanakan lima kali debat capres/cawapres sejak pemilu presiden secara langsung pada tahun 2004. Sebaliknya, di negeri Paman Sam, tradisi debat calon presiden sudah dilakukan sejak lama.
Catatan lain yang perlu menjadi perhatian bersama adalah terkait formula dan kualitas pelaksanaan debat pada pemilu berikutnya. Setelah Pemilu 2024 harus ada tim khusus yang secara serius mengkaji dan merumuskan formula pelaksanaan debat.
Ke depan, perlu dibentuk satu lembaga khusus yang memang secara serius mempersiapkan debat calon presiden, baik materi, substansi, pelaksanaan, maupun panelisnya.
Atau juga perlu dipikirkan bahwa pelaksanaan debat calon presiden tidak harus dilakukan oleh KPU, tetapi berada di bawah badan khusus yang independen dan nonpartisan, seperti Commission on Presidential Debate (CPD) yang sudah mengorganisasi pelaksanaan debat presiden di Amerika Serikat sejak tahun 1988.
Dengan exposure yang tinggi dan antusiasme publik, debat calon presiden dapat menjadi tren baru politik Indonesia ke depan. Melalui debat, kandidat dapat beradu argumen dan data untuk meyakinkan pemilih.
Bagi pemilih, debat juga penting karena dapat mengetahui secara lebih jernih visi dan program pasangan secara komprehensif. Debat juga dapat meminimalkan berkembangnya gimik-gimik politik yang tidak relevan bagi publik.
Baca juga: Debat dan Demokrasi
Arya Fernandes, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS