logo Kompas.id
OpiniPemilu dan Pelukis Tempo...
Iklan

Pemilu dan Pelukis Tempo ”Doeloe”

Sejumlah pelukis tempo ”doeloe” mengabadikan Pemilu 1955, pemilu pertama RI, dalam lukisan. Ini merupakan dokumen politik yang penting.

Oleh
AGUS DERMAWAN T
· 3 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/BZBOBvElGRbRQtf_uczq50V0yrE=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F03%2F677f9f99-5155-4274-8dbc-1f02e89f97c8_jpg.jpg

Pada 1966, pelukis Sudjojono (1913-1986) mencipta lukisan ”Maka Lahirlah Angkatan 66”. Lukisan ini menggambarkan seorang pemuda sedang memegang kuas dan kaleng cat. Wajahnya tegang. Ujung celana panjangnya tampak tergulung sebelah, memberikan imaji kepada kita bahwa pemuda itu baru lepas dari kesibukan dan kehiruk-pikukan yang luar biasa. Ia berdiri di tengah Kota Jakarta yang berantakan, dengan becak, sepeda, serta mobil berserakan di jalan raya.

Lukisan Sudjojono ini merupakan dokumentasi politik penting. Adam Malik—wartawan, kolektor, wakil presiden—mengatakan bahwa ”Maka Lahirlah Angkatan 66” menyimpan narasi besar sejarah politik Indonesia. Dan narasi itu begini.

Syahdan pada medio Mei 1965 terdengar isu munculnya Dewan Jenderal yang beranggotakan sekelompok petinggi militer Angkatan Darat. Dewan ini dianggap kaki tangan nekolim (neokolonialisme dan imperalisme) Inggris dan Amerika. Didesas-desuskan bahwa Dewan Jenderal akan mengudeta Presiden Soekarno dan pemerintahannya.

Baca juga: Pesan Damai Sudjojono

Para petinggi militer dan petinggi politik resah. Terutama dari kalangan PKI (Partai Komunis Indonesia). Untuk mencegah kudeta Dewan Jenderal, PKI diam-diam membuat pelatihan militer bagi rakyat sipil, di bawah komando Letnan Kolonel Untung. Lalu pada Agustus 1965 tersiar kabar bahwa Presiden Soekarno sakit keras. Situasi ini konon membuat Letnan Kolonel Untung berkehendak membuat gerakan dengan menggunakan PKI sebagai pendukung utamanya.

Pada 30 September 1965 tengah malam terjadilah tragedi politik itu. Para jenderal yang dituduh sebagai petinggi Dewan Jenderal dibunuh oleh pelaku kudeta yang menamakan diri sebagai Dewan Revolusi. Namun, kudeta gagal karena unsur Angkatan Darat berhasil melumpuhkan.

Presiden Soekarno yang posisinya terjepit akhirnya mengeluarkan Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret 1966. Surat itu memberi mandat kepada Mayor Jenderal Soeharto untuk memulihkan keadaan. Mandat itu didukung oleh rakyat dan mahasiswa, yang dalam lukisan diwakili oleh pemuda pembawa kuas dan kaleng cat itu.

Foto lukisan Sudjojono yang berjudul “Maka Lahirlah Angkatan 66”. Lukisan ini beraspirasi penuntutan pemilu presiden.
ARSIP AGUS DERMAWAN T

Foto lukisan Sudjojono yang berjudul “Maka Lahirlah Angkatan 66”. Lukisan ini beraspirasi penuntutan pemilu presiden.

Aspirasi di balik lukisan

Lalu, apa aspirasi Sudjojono di balik lukisan tersebut? ”Sesungguhnya 'Lahirlah Angkatan 66' adalah gambaran tuntutan anak muda ihwal jalan politik yang lebih kontitusional. Tuntutan itu adalah agar pemerintah mengadakan pemilihan umum atau pemilu untuk menentukan presiden baru!” Ini karena Sudjojono menyimpul bahwa Supersemar adalah surat penunjukan Soeharto sebagai pejabat presiden, bukan sebagai pengganti presiden. Namun, pemilu presiden tidak pernah dilaksanakan karena Soeharto ujug-ujug diangkat sebagai presiden oleh Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1967.

Sudjojono, yang tercatat sebagai anggota DPR pada 1955, merupakan seniman demokratis yang menyukai pemilu. Karena itu, pada 1956 ia mencipta lukisan tentang sekumpulan rakyat jelata yang sedang menatap poster-poster partai yang ditempel di tembok. Lukisan itu adalah gambaran kenangannya kepada keramaian kampanye politik pada waktu Pemilu 1955 yang diikuti oleh 30 partai. Sayang, lukisan yang berjudul ”Menyimak-nyimak Poster” itu belum selesai sehingga citra tempelan jajaran poster yang disimak-simak itu tidak terpresentasi.

Sudjojono, yang tercatat sebagai anggota DPR pada 1955, merupakan seniman demokratis yang menyukai pemilu.

Iklan

Pada 1982, Orde Baru menyelenggarakan pemilu yang ketiga kali. Pada masa itu pemilu hanya diikuti tiga partai, yakni Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Masyarakat tahu bahwa dari pemilu ke pemilu, dua partai di luar Golkar selalu digembosi secara sistemik sehingga pada 1982 Golkar bisa mempunyai 232 kursi di DPR, sedangkan PPP mempunyai 94 kursi, dan PDI hanya 24 kursi.

Bagi pemerintah, PDI dianggap sudah takluk. Namun, PPP, yang merupakan kumpulan partai-partai Islam, dianggap masih membayakan. Dengan begitu, PPP harus dijinakkan. Maka, internal PPP pun digoyang. Situasi politik pun heboh. Dan PPP yang senantiasa bersemangat kampanye selalu diharu-biru.

Suasana kampanye PPP untuk Pemilu 1982 itu sempat direkam Sudjojono dalam lukisan berukuran mini. Dalam kanvasnya terlihat dua perempuan Muslim yang sedang berbisik-bisik gelisah mengenai nasib partainya. Dari balik kerudungnya mereka berucap rahasia dengan jari-jari tangan yang menunjukkan rasa waswas. Di kejauhan terlihat bendera PPP yang berlatar putih dengan gambar ka’bah, ditemani bendera merah putih sedang berkibar. Suasana kampanye itu terkesan sepi, tanpa seorang pun ada di jalanan.

Foto lukisan Sudjojono yang menceritakan dua wanita Muslim sedang menggunjingkan nasib kampanye PPP.
ARSIP AGUS DERMAWAN T

Foto lukisan Sudjojono yang menceritakan dua wanita Muslim sedang menggunjingkan nasib kampanye PPP.

Pelukis Affandi (1907-1990) juga melukis kampanye PPP ini. Di kanvasnya yang lebar, ia menggambarkan lambang tiga partai dalam bentuk realitas nonsimbolik. Ada banteng (lambang PDI) yang sedang melompat-lompat. Ada pohon beringin (lambang Partai Golkar) yang berukuran besar dan dominan. Sementara di kejauhan ada Kabah yang berdiri sendirian di bawah langit.

Lukisan berjudul ”Kampanye Pemilu Nasional” ini mengetengahkan kenyataan bahwa PPP memang sedang dipinggirkan. Penciptaan lukisan kabarnya didorong oleh KH Hamam Ja’far, pemimpin Pondok Pesantren Pabelan, Mungkid, Magelang. Di situ sang kiai bilang dengan prihatin bahwa penggembosan pemerintah atas PPP harus diabadikan. Maka, lukisan pun hadir unik. Apalagi, Affandi ternyata hanya sekali itu saja mencipta lukisan yang bertema pemilu.

Foto lukisan Affandi yang berjudul ”Kampanye Pemilu Nasional” (1982)
ARSIP AGUS DERMAWAN T

Foto lukisan Affandi yang berjudul ”Kampanye Pemilu Nasional” (1982)

Pemilu sangat penting untuk bangsa yang mencoba berdemokrasi. Begitu juga bagi Presiden Soekarno, yang pada akhirnya memiliki ”Demokrasi Terpimpin”.

Pada 1950-an, Pemerintah Indonesia mempunyai gagasan untuk menggelar pemilu partai politik. Untuk membuktikan kemampuan dalam berdemokrasi, pemilu harus terlaksana sebaik-baiknya, dan diikuti oleh masyarakat sebanyak-banyaknya. Untuk itu, diperlukan piranti publikasi untuk mengajak rakyat agar antusias terlibat. Salah satu medium untuk mengajak seluruh rakyat adalah film, dalam hal ini film animasi.

Soekarno lalu mencari seniman yang mampu membuat film animasi itu. Lalu ditemukanlah nama pelukis Dukut Hendronoto (1920-1978), alias Pak Ooq (saudara kandung pelukis Soerono, Sumitro, Sapto Hudoyo).

Foto lukisan Dukut Hendronoto yang berjudul “Antri Minyak Tanah” (1982).
ARSIP AGUS DERMAWAN T

Foto lukisan Dukut Hendronoto yang berjudul “Antri Minyak Tanah” (1982).

Untuk memaksimalisasi animasinya, Soekarno mengirim Dukut untuk belajar seni animasi ke Walt Disney. Untuk mendorong Disney agar mengajar dengan intens dan baik, Soekarno menemui kreator Mickey Mouse itu di Amerika Serikat. Sepulang dari sana Dukut lantas melahirkan film animasi mengenai pemilu, ”Si Doel Memilih”. Film produksi PPFN (Pusat Produksi Film Negara) ini diputar di pelosok Tanah Air untuk menyambut pemilu pertama RI, 1955.

Dalam pemilu sekarang kita tak banyak melihat keterlibatan para pelukis. Meski ada satu dua, seperti Nasirun dan Sujiwo Tejo yang menggelar pameran ”Presiden Alternatif: Doa Pemilu Damai dan Bahagia” di Bentara Budaya, Jakarta.

Agus Dermawan T, Kritikus Seni; Narasumber Ahli Koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia

Agus Dermawan T
ARSIP PRIBADI

Agus Dermawan T

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan